BAK duduk di atas panggangan bernyala, Tony Blair seperti tak kuasa menahan panasnya sengatan dari sekitar 50 anggota parlemen partainya sendiri. Sengatan itu berwujud sebuah mosi yang diteken para anggota parlemen Partai Buruh pada Selasa pekan silam. Isinya memaksa Blair segera mengumumkan bukti bahwa Irak betul-betul punya senjata pemusnah massal. Rupanya ada tuduhan Blair telah menekuk data intelijen untuk melegitimasi serangan Inggris ke Irak.
Para anggota parlemen Partai Buruh yang menentang perang menilai tindakan Blair sebagai kasus yang jauh lebih serius tinimbang skandal Watergate di Amerika yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon. Tuduhan terhadap Blair kian panas setelah Radio BBC mengutip pernyataan seorang sumber intelijen Inggris. Informasi itu menyebutkan, kantor Blair di Downing Street telah memelintir laporan intelijen dengan mengatakan Irak mampu mengaktifkan senjata pemusnah massal dalam waktu 45 menit.
Laporan itulah yang diumumkan Blair pada September tahun silam untuk memperoleh dukungan penyerangan terhadap Irak. Padahal data itu baru berupa rangkaian indikasi—belum berbentuk fakta. Dinas Rahasia Inggris sendiri masih meragukan akurasi laporan dari sumber mereka yang identitasnya serba simpang-siur. Maka hebohlah parlemen Inggris.
Maklumlah. Sebab, jika tuduhan terhadap Blair itu benar, artinya Inggris telah mengerahkan armada militer paling besar—setelah Perang Falkland pada 1982—untuk menyerang Irak berdasarkan sebuah kebohongan belaka: 26 ribu anggota pasukan darat, 18 kapal perang, 100 pesawat tempur, dan 27 helikopter. Kontroversi keterlibatan Inggris dalam invasi terhadap Irak yang sempat muncul sebelum perang kini merekah kembali.
Bak memperoleh amunisi baru, Charles Kennedy, Ketua Partai Liberal Demokrat (DLP), yang beroposisi dengan Blair, langsung mematuk. Dia menyatakan, tindakan culas Blair merupakan kejahatan serius terhadap kedudukan dan kepercayaan publik kepada pemerintah. Kennedy mengusulkan agar dibentuk komite independen parlemen guna menyelidiki skandal yang ia sebut politisasi intelijen itu. Celaka bagi Blair, kelompok di Partai Buruh yang dulu menyokongnya kini berbalik menyerangnya dan ganti mendukung Kennedy.
Posisi Blair kian tersudut karena AS dan Inggris hingga saat ini tak kunjung menemukan senjata pemusnah massal yang tadinya menjadi alasan mereka menyerang Irak. Di Amerika, Bush menghadapi tuduhan serupa. Tapi anak buah Pak Bush lebih lincah membela bosnya. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, misalnya, belum lama ini melansir sebuah pernyataan yang menggelikan banyak orang: Irak mungkin sudah menghancurkan senjata pemusnah massalnya sebelum AS dan Inggris menyerang.
Jengkel dengan perilaku pemimpinnya, sebuah koran di Inggris menurunkan karikatur Perdana Menteri Blair dengan hidung Pinokio yang bertuliskan ”Blair harus membayar kebohongan ini.” Apa jawabnya? Dia menyangkal semuanya. Blair menolak tudingan yang mengatakan pemerintah mengutak-atik laporan intelijen. ”Senjata pemusnah massal Irak akan ditemukan,” katanya. Dia juga berjanji menyodorkan dokumen lain untuk membuktikan kebenaran kata-katanya.
Toh, Blair tak sanggup menolak desakan anggota parlemen membentuk komisi independen untuk menyelidiki tuduhan terhadap dirinya. Keputusan Blair ini mengecewakan pendukung fanatik kebijakan perang, yakni Partai Konservatif, yang sejatinya beroposisi terhadap pemerintah. ”Kini tak seorang pun yang percaya kepada ucapan Perdana Menteri,” kata Iain Duncan Smith, Ketua Partai Konservatif.
Alhasil, pemerintah Blair sekarang telah berada di ambang kebangkrutan. Dia kehilangan dukungan politik, baik dari partainya maupun dari partai oposisi. Sebuah jajak pendapat yang dilaksanakan di 20 negara menyebutkan Blair lebih populer ketimbang Presiden AS George W. Bush. Tapi jajak pendapat yang sama menunjukkan popularitas Blair justru anjlok di Inggris. ”Saya kira dia (Blair) akan bertahan. Tapi apakah reputasinya mampu mempertahankan jabatannya?” ujar Anthony King, guru besar politik dari Universitas Essex.
Nun di Washington, kehebohan yang sama sedang mengguncang Badan Intelijen Amerika (CIA) dan Departemen Pertahanan AS. Dua lembaga ini dituduh menyesuaikan data intelijen tentang senjata pemusnah massal dengan keinginan George Bush menyerang Irak.
Alhasil, senjata Blair dan Bush tampaknya mulai memakan tuannya.
Raihul Fadjri (The Guardian, Reuters, BBC, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini