Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Harga Dukungan Negara Tetangga

Negara-negara Arab tak akan punya peran berarti dalam Peta Damai Palestina-Israel sebelum AS benar-benar membuktikan tidak memihak Israel.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan wajah serius, Presiden Amerika Serikat George Walker Bush menatap Perdana Menteri Palestina Mahmoud Abbas dan utusan Israel. Ia berbicara dengan kalimat-kalimat penuh tekanan, terbungkus logat Texas yang kuat. Ia meminta mereka agar segera membereskan urusan ”rumah tangga” masing-masing. ”Tidak peduli sesulit apa, Anda mendapat komitmen saya bahwa saya akan menyediakan energi dan upaya agar skema perdamaian terus maju,” tuturnya. Pernyataan Bush itu mencuat dalam pertemuan tingkat tinggi pemimpin negara-negara Arab dengan AS di Sharm el-Sheik, Mesir, Selasa pekan silam. Acara di resor tepi Laut Merah itu dihadiri Presiden Mesir Husni Mubarak, Pangeran Abdullah dari Arab Saudi, Raja Abdullah II dari Yordania, Raja Hamad dari Bahrain, serta Mahmoud Abbas. Negara-negara Arab itu bersama AS membahas kelangsungan Peta Damai bagi Palestina-Israel, yang bermuara pada terbentuknya negara Palestina pada 2005. Menurut Bush, keikutsertaan negara-negara Arab membuat proses perdamaian Palestina-Israel berjalan baik, dan hal itu sangat penting. Dia dengan tegas meminta Perdana Menteri Israel Ariel Sharon agar benar-benar menghargai Peta Damai dengan tak memperluas daerah permukiman di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur. Pesan keras Bush tak sia-sia. Para pemimpin Mesir, Saudi, Yordania, dan Bahrain langsung menggodok pernyataan untuk disampaikan di akhir pertemuan Sharm el-Sheikh. Pernyataan yang dibacakan oleh Mubarak itu mengandung tiga poin: mendukung Peta Damai, mendukung Mahmoud Abbas, dan mengimbau pihak-pihak di Arab agar tak memberikan sumbangan, meskipun secara tak langsung, kepada berbagai kelompok militan di Palestina. Mubarak menyatakan, negara-negara Arab berusaha ikut mengakhiri kekerasan antara Israel dan Palestina yang selama 32 tahun ini menewaskan tak kurang dari 2.000 warga Palestina dan 780 warga Israel. ”Kami akan memerangi terorisme terhadap kemanusiaan,” kata Mubarak, ”Kami juga menentang budaya ekstremis dan kekerasan dalam bentuk apa pun yang berasal dari tempat mana pun dan dengan pembenar apa pun.” Ini memang pertama kali dalam sejarah beberapa pemimpin negara Arab memberikan pernyataan tegas mendukung perdamaian Palestina-Israel. Dalam skema perdamaian sebelumnya, negara-negara Arab menyatakan tak mendukung atau memang tak diikutsertakan. Lihat saja, pada kesepakatan pertama, Camp David 1979, negara-negara Arab hanya menerima satu poin, yaitu penghentian permusuhan antara Mesir dan Israel. Mereka menolak poin kedua, yaitu memberi otonomi kepada Palestina. Alasannya, dengan hanya memberikan status otonom pada Palestina, tak ada jaminan tentara Israel mundur dari daerah pendudukan. Dalam skema perdamaian Oslo 1993 dan Camp David II (2000), negara-negara Arab juga tak dilibatkan aktif. Mampukah negara-negara Arab melakukan peran yang berarti dalam kesepakatan damai kali ini? Peluang sangat terbuka. Sebab, di dalam Peta Damai yang digodok oleh empat pihak—dikenal dengan sebutan Kuartet, yaitu AS, Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)— negara-negara Arab lebih dilibatkan. Dalam salah satu poin Peta Damai disebutkan bahwa Palestina harus mempersiapkan berbagai persyaratan untuk menjadi negara merdeka, seperti membuat undang-undang, melakukan pemilihan umum, dan mempersiapkan aparat negara. Sebagai tetangga, negara-negara Arab bisa ikut serta dalam membantu persiapan itu. Dengan kesempatan bisa masuk dalam proses perdamaian sejak awal, negara-negara Arab punya andil dalam ”pembentukan” negara Palestina merdeka. Lebih jauh, negara-negara Arab—melalui organisasi seperti Liga Arab—bisa menjadi kelompok penekan yang menjamin Peta Damai berjalan adil, tidak menguntungkan Israel yang selama ini selalu didukung AS. Tekad untuk terlibat lebih aktif dalam Peta Damai memang bisa dilihat dari pertemuan di Sharm el-Sheikh. Pemimpin Mesir, Saudi, Yordania, dan Bahrain tampaknya bisa berjalan seirama dengan nakhoda Palestina favorit Bush, Abbas alias Abu Mazen. Namun, seberapa dalam dan langgeng peran negara-negara Arab dalam proses perdamaian selanjutnya masih belum jelas. Pertemuan di resor tepi Laut Merah itu justru tak membicarakan masalah mendasar konflik Arab-Israel: rasa terancam bangsa Arab sejak Deklarasi Balfour (1917) diterapkan, yang menjamin bangsa Yahudi kembali ke Palestina. Permusuhan antara bangsa Arab dan Yahudi di Timur Tengah tak pernah pupus sejak itu. Perang dan kekerasan selalu terjadi di tanah Palestina, yang melibatkan berbagai kekuatan dari negara-negara tetangga. Tidaklah mengherankan jika negara-negara Arab sebenarnya sangat skeptis terhadap Peta Damai. Pertemuan di Mesir hanya menghimpun negara-negara Arab moderat dan yang ”berteman” dengan AS. Suriah dan Libanon, dua negara yang punya peran penting dalam perdamaian Palestina-Israel (karena kedua negara itu pernah berselisih langsung dengan Israel), absen. Suriah bahkan menyebut pertemuan di Sharm el-Sheikh dan Aqaba, Yordania, hanyalah cara AS memanipulasi dunia Arab. AS memang mencoba memainkan orkestra Palestina-Israel dengan negara-negara Arab seharmonis mungkin dengan instrumen Peta Damai. Tapi, sebenarnya masih banyak nada sumbang. Sejak pendudukan Israel di tanah Palestina pada 1967, negara-negara gurun pasir itu tak pernah mengakui eksistensi negara Israel (sempat ada perdamaian antara Mesir dan Israel pada 1979, Camp David I, tapi tidak langgeng). Mesir dan Yordania—dua negara Arab moderat—menutup kantor kedutaan dan memutus hubungan diplomasi dengan Israel selama dua setengah tahun ini dan belum ada rencana membukanya kembali. Negara-negara di Timur Tengah juga punya pandangan yang berbeda dengan AS tentang kekerasan yang terjadi antara Palestina dan Israel. Menurut kacamata Arab, justru tentara Israel-lah yang melakukan aksi terorisme dengan menyerang penduduk sipil Palestina. Menurut pihak Arab, selama AS masih melihat tindakan tentara Israel itu sebagai upaya mempertahankan diri, titik temu antara AS dan Arab sulit tercapai. Selain itu, negara-negara Arab tak menunjukkan pengakuan terbuka terhadap Abu Mazen sebagai pengganti Arafat. Tidak adanya pengakuan itu karena Arafat masih ”dikurung” di Kota Ramallah (sudah berlangsung 17 bulan). Menurut pendapat pihak Arab, terutama Libanon dan Suriah, penahanan Arafat oleh Israel justru membuat kelompok-kelompok militan makin berani beraksi. Abu Mazen pun makin sulit mendapat legitimasi dari berbagai kelompok militan Palestina. Hal terpenting yang membuat negara-negara Arab sulit mendukung proses perdamaian Palestina-Israel adalah kondisi di dalam negeri Israel sendiri. Peta Damai mensyaratkan agar Israel mundur dari daerah-daerah yang diduduki dan menghentikan pengembangan permukiman. Yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Sebelum pertemuan di Mesir dan Yordania, Menteri Perumahan Israel Effi Eitam diam-diam merencanakan membangun 11 ribu unit rumah di Tepi Barat. Sharon pun membiarkannya. ”Tidak ada batasan. Kalian boleh membangun untuk anak, cucu, dan saya harap juga untuk cicit-cicit,” kata Sharon. Jika begitu keadaannya, AS harus lebih dulu bisa memahami trauma bangsa Arab terhadap Israel sebelum mengharapkan dukungan penuh dari negara-negara padang pasir. Demikian juga sebaliknya, kawasan Arab akan berperan aktif dalam menyukseskan Peta Damai jika mereka percaya pada niat baik AS. Mungkin pernyataan Presiden Bush ini bisa dipegang. ”Saya adalah tipe orang yang jika menyatakan sesuatu artinya memang benar-benar yang saya maksudkan,” katanya. Jadi, Bush mestinya tak hanya berani berbicara keras terhadap Sharon, tapi juga bertindak. Jika hal itu tak dilakukan, negara-negara Arab pun sulit tergerak untuk berperan agar Peta Damai berjalan. Bina Bektiati (The Economist, The Washington Post, The Guardian, Gulf News, Newsweek)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus