Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Qanun Baru, Sasaran Baru

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh mengesahkan Qanun Jinayat. Hukum pidana Islam itu juga berlaku untuk warga nonmuslim.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwa lima tahun lalu itu terulang lagi di ruang rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Sabtu dinihari pekan lalu. Rapat paripurna yang hanya dihadiri separuh anggota DPRA kembali mengesahkan Rancangan Qanun tentang Hukum Jinayat.

Qanun alias peraturan daerah ini bila kelak diteken Gubernur Aceh akan menjadi "kitab induk" hukum pidana khusus di wilayah Serambi Mekah. Sebelumnya, pada 14 September 2009, sidang paripurna DPRA mengesahkan Rancangan Qanun Jinayat. Namun rancangan itu tidak jadi berlaku lantaran tak kunjung diteken Gubernur Aceh—kala itu—Irwandi Yusuf.

Ketua Komisi G Bidang Agama DPRA Tengku Ramli Sulaiman menyatakan Qanun Jinayat "versi" terbaru ini tak hanya berlaku bagi warga Aceh yang beragama Islam. Orang nonmuslim di wilayah Aceh juga harus tunduk pada peraturan itu. "Sepanjang jarimah (perbuatan terlarang) itu tak diatur KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," kata Ramli pekan lalu.

Sebelum Qanun Jinayat disahkan, aturan tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh menyebar dalam sejumlah qanun. Misalnya Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar (Minuman Keras) dan Sejenisnya, Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum).

Semua qanun dengan hukuman cambuk itu, menurut Ramli, dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan Aceh dipertegas lagi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang terakhir ini merupakan pelaksanaan kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.

Untuk menggabungkan semua qanun syariat itu, Rancangan Qanun Jinayat pun disusun pada masa DPRA periode 2004-2009. Namun qanun yang disahkan pada pengujung masa tugas DPRA itu terganjal perdebatan seputar hukuman rajam.

Pasal 24 Qanun Jinayat lama menyebutkan orang yang sengaja melakukan zina dihukum 100 kali cambuk bila mereka belum pernah menikah atau dihukum rajam (dilempari batu sampai mati) bila pernah menikah.

Isyarat keberatan Gubernur Irwandi saat itu sebenarnya sudah disampaikan dalam sidang menjelang pengesahan qanun. Sekretaris Daerah Aceh Husni Bahri Tob waktu itu mengatakan hukuman rajam dalam Qanun Jinayat harus dikaji lebih saksama lagi. "Kami belum sependapat soal itu," ucap Husni dalam sidang. Walhasil, meski sudah disahkan DPRA, qanun tersebut dianggap "kurang syarat" karena tak mendapatkan persetujuan bersama legislatif dan eksekutif.

Pada Oktober 2009, DPRA periode 2009-2014 dilantik. Kali ini mayoritas kursi DPRA diisi anggota Partai Aceh. Partai lokal itu memenangi 33 kursi dari 69 kursi legislatif. Tiga bulan setelah dilantik, Ketua DPRA Hasbi Abdullah menyebutkan rencana merevisi Qanun Jinayat, termasuk lima prioritas kerja DPRA baru. "Itu salah satu kewajiban kami," ujarnya.

Rancangan Qanun Jinayat mulai digodok lagi pada masa Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Tarmizi Karim, mulai Februari sampai awal Juni 2012. Jalan untuk menggulirkan lagi Qanun Jinayat kian lapang ketika Zaini Abdullah menjadi Gubernur Aceh pada 25 Juni 2012. Kebetulan wakil gubernurnya, Muzakir Manaf, juga berasal dari Partai Aceh.

Belajar dari pengalaman pada 2009, DPRA lantas melibatkan pemerintah sejak awal pembahasan. "Legislatif, eksekutif, dan tokoh masyarakat kami ajak terlibat aktif," kata Sekretaris Komisi G DPRA Moharriadi.

Pada pertengahan September lalu, Rancangan Qanun Jinayat juga dipaparkan di Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Mahkamah Agung. "Jakarta tak keberatan sepanjang qanun tidak bertentangan dengan undang-undang di atasnya," ujar Moharriadi.

Dari segi isinya, Qanun Jinayat terbaru tak banyak berbeda dari Qanun Jinayat yang disahkan lima tahun lalu. Perbuatan jarimah yang diatur dalam "qanun baru" berkaitan dengan khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (perbuatan di tempat sunyi pasangan bukan suami-istri), dan ikhtilath (aksi bermesraan pasangan bukan suami-istri). Qanun juga melarang zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh orang berzina tanpa mengajukan empat saksi), liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian).

Hukuman bagi pelanggar Qanun Jinayat adalah dicambuk, didenda dengan emas, atau dipenjara. Sanksi paling ringan berupa 10 kali cambuk, denda 100 gram emas, atau penjara 10 bulan. Sedangkan hukuman paling berat adalah 150 kali cambuk, denda 1.500 gram emas, atau penjara 150 bulan. "Berat-ringannya hukuman bergantung pada jenis jarimah," kata Ramli Sulaiman.

Pada Qanun Jinayat terbaru, ketentuan soal rajam akhirnya dihapuskan. Hukuman bagi penzina, menurut pasal 33, hanya dicambuk 100 kali. Pelaku yang mengulang perbuatan zina diancam hukuman 120 kali cambuk dan bisa ditambah denda 120 gram emas atau 12 bulan penjara.

Karena "kerikil" rajam telah dihapuskan, sejumlah anggota DPRA optimistis Qanun Jinayat akan melenggang mulus. "Kami berharap gubernur segera meneken, agar berlaku setahun setelah disahkan," ucap Moharriadi.

Namun pihak eksekutif ternyata masih punya catatan khusus. Menurut Sekretaris Daerah Aceh Dermawan, pemerintah mempertanyakan satu hal dalam Qanun Jinayat: pemberlakuan qanun untuk orang nonmuslim. Demi menjaga kerukunan hidup beragama, kata Dermawan, "Rumusannya perlu dipertimbangkan lagi."

Pasal 5 huruf c Qanun Jinayat menyebutkan ketentuan dalam qanun juga berlaku untuk orang beragama bukan Islam. Dengan catatan, perbuatan itu tidak diatur KUHP atau ketentuan pidana lain di luar KUHP. Bila perbuatan yang sama diatur dalam KUHP atau undang-undang lain, menurut Ketua Komisi Agama DPRA Ramli Sulaiman, orang nonmuslim bisa memilih Qanun Jinayat atau KUHP dan undang-undang lain itu.

Meski opsi memilih KUHP dibuka, pilihan untuk orang nonmuslim tampaknya tetap terbatas. Soalnya, Qanun Jinayat mengatur lebih banyak dan lebih detail perbuatan yang tak dilarang KUHP. Soal hubungan seks di luar nikah, misalnya, KUHP hanya melarang hubungan dengan pasangan di bawah umur atau hubungan yang disertai pemaksaan. KUHP juga hanya melarang hubungan seks sesama jenis, bila pasangannya masih di bawah umur. Sebaliknya, Qanun Jinayat tak membedakan perbuatan itu berdasarkan umur.

Menurut anggota tim ahli Komisi Agama DPRA, Alyasa Abubakar, pemberlakuan Qanun Jinayat untuk nonmuslim merupakan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Alyasa pun merujuk pada pasal 126 ayat 2 serta pasal 129 ayat 1 dan 2 undang-undang tersebut. "Bagian itu hanya kami pindahkan," katanya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh melontarkan pendapatnya perihal qanun ini. Menurut koordinatornya, Destika Gilang Lestari, Qanun Jinayat masih memuat banyak hal yang bisa jadi sasaran kritik. Soal hukuman cambuk, misalnya. Banyak kalangan, menurut Destika, menilai hukuman tersebut melanggar Kovenan Antipenyiksaan, yang jadi resolusi Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1984. Padahal Indonesia sudah meratifikasi kovenan itu pada 28 September 1998.

Menurut Destika, sejumlah pasal dalam Qanun Jinayat pun berpotensi memicu perbedaan tafsir. Contohnya pasal pemerkosaan. Korban pemerkosaan yang tak bisa membuktikan laporannya bisa dituntut balik dengan pasal qadzaf. "Bagaimana kalau tak ada saksi? Bagaimana kalau pelaku berbohong? Itu perlu kajian mendalam lagi," ujar Destika.

Sehari menjelang pengesahan Qanun Jinayat pekan lalu, kalangan warga keturunan Tionghoa yang tergabung dalam Keluarga Besar Yayasan Hakka Aceh—yang juga bakal "terkena" qanun ini jika kelak diberlakukan—belum menyatakan sikap tegas.

"Warga komunitas ada yang pro dan kontra," kata Ketua Umum Hakka Aceh Kho Khie Siong alias Aky. "Ada yang bilang, 'Bagus, untuk meminimalkan kejahatan'." Namun, Aky menambahkan, "Ada juga yang bilang, 'Gawat kalau kita sampai dicambuk'."

Jajang Jamaludin, Adi Warsidi (Banda Aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus