NAMANYA Integrated Conservation and Development Project (ICDP). Proyek ini mengaitkan konservasi keragaman hayati hutan lindung dengan kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, proyek perawatan hutan tidak mematikan ekonomi masyarakat yang selama ini menggantungkan dapurnya pada hutan itu. ICDP merupakan model utama dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia. Walaupun begitu, dari 20 taman nasional yang diusulkan untuk ikut ICDP, baru Kerinci Seblat dan Siberut di Kepulauan Mentawai yang menerapkannya.
Di Kerinci, proyek besar ini dipecah dalam empat program utama, yaitu pengelolaan taman nasional, pembangunan daerah, pengelolaan keragaman hayati, dan evaluasi program. Banyak pihak terlibat dalam proyek yang misinya mulia ini. Yang punya gawe tentu saja pengelola taman nasional. Merekalah yang mengontrak para konsultan ICDP untuk membantu mengerjakan empat program utama tadi. Selain itu, ada uluran bantuan dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat dan lembaga pemerintah seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan juga Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
Proyek besar ini punya dana raksasa. Totalnya ada US$ 46 juta. Sumbernya adalah US$ 12 juta dari pemerintah, US$ 15 juta dari Global Environmental Facility dalam bentuk hibah, dan US$ 19 juta dari Bank Dunia dalam bentuk pinjaman. Dana jumbo ternyata tak selalu memberikan hasil yang baik. Dimulai sejak 1996, proyek ini malah divonis gagal oleh sejumlah kalangan. Sumber TEMPO yang ikut proyek ini menuturkan bahwa kegagalan itu disebabkan oleh banyaknya pekerja yang berpikir pola proyek. "Yang penting proyek selesai. Urusan sosialisasi dengan masyarakat sekitar diabaikan," katanya. Cara kerja seperti inilah, menurut dia, yang membuat setiap komponen proyek berjalan sendiri-sendiri. Padahal sejatinya proyek ini terkait satu sama lainnya.
Sumber ini mencontohkan, dana bergulir untuk ratusan desa penyangga, yang besarnya Rp 250 juta untuk setiap desa. Tapi, sejak program itu dimulai hingga kini, baru sekitar 72 desa yang tersentuh. Sisanya belum terjamah sama sekali. Dana yang sudah dialirkan ke desa untuk digulirkan itu pun langsung habis. Persis pemberian dana Jaring Pengaman Sosial. Dana proyek sebagian juga habis untuk membayar gaji para konsultan asing, yang bisa mencapai US$ 19 ribu per bulan.
Namun Kepala Taman Nasional Kerinci Seblat, Listiya Kusumawadhani, membantah jika proyek ini dinilai gagal. Yang terjadi, katanya, lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah di situ. Listiya mencontohkan, sejak dimulainya proyek ini, terdapat sekitar 26 perusahaan yang bertambang ria di kawasan taman nasional itu. Sudah berkali-kali pihaknya meminta pemerintah menutupnya. Tapi apa boleh buat, bagi pemerintah, kepentingan ekonomi masih di atas segala-galanya.
WM, Febrianti (Padang), Syaipul Bakhori (Kerinci)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini