Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hutan Amblas, Bantuan Bablas

Karena hutan terus digunduli, dana bantuan bank dunia untuk Taman Nasional Kerinci Seblat disetop. Kawasan itu kian terancam.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAS-buasnya harimau, lebih buas manusia. Ungkapan ini amat tepat untuk menggambarkan kondisi Taman Nasional Kerinci Seblat, salah satu tempat bermukim harimau sumatera di Pulau Swarnadwipa itu. Kawasan yang ditetapkan oleh undang-undang sebagai tempat untuk melindungi hidup si raja hutan itu sejak beberapa tahun lalu sudah berubah jadi arena penjagalan karena ulah para pemburu liar. Enam tahun lalu, jumlah harimau di sana masih 500 ekor. Tapi kini, berdasar analisis citra satelit dan pantauan tim WWF (World Wildlife Fund), jumlahnya susut menjadi seratus ekor saja. Kulit belangnya secara rutin mengalir lancar untuk diperdagangkan di Jakarta. Melihat kondisi ini, jelaslah bahwa nasib harimau, gajah, bunga bangkai, kekayaan flora fauna Kerinci Seblat sudah digariskan. Mereka akan lenyap. Kepunahan ini bakal makin cepat setelah bantuan Bank Dunia untuk pengelolaan kawasan itu disetop akhir September lalu. Ini cermin muram bagi taman nasional lain di Indonesia. Sementara taman nasional yang dibantu uang seabrek saja hancur lebur, apalagi yang dikelola dengan dana minim. Bantuan untuk Kerinci Seblat disepakati di Washington, AS, pada Juni 1996. Dana semula akan terbagi dua, yaitu pinjaman US$ 19 juta dan hibah US$ 15 juta. Fulus segunung itu sudah lama dirindukan untuk mengelola taman nasional terbesar di Indonesia ini. Luasnya 1,4 juta hektare, menyebar di empat provinsi, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Isinya pun penuh. Empat puluh jenis mamalia, 400 jenis tanaman, 370 macam burung, dan ratusan jenis serangga. Itu sebabnya, kerja sama yang dikemas dalam nama Kerinci Seblat Integrated Conservation and Development Project ini bikin para pengelola senang bukan kepalang. Kawasan itu bakal kian elok berseri-seri. Faktanya tidak. Walau uang sudah mengucur, nasib taman nasional ini tak jadi kinclong. Kondisinya malah memburuk setelah reformasi. Penduduk liar berbondong-bondong masuk ke kawasan itu dan menganggap tegakan pohon sebagai milik nenek moyangnya yang siap dipanen. Hasilnya segera terlihat. Seperti yang terjadi di Desa Muara Himat, Kabupaten Kerinci, yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan taman nasional ini. Belasan hektare hutan sudah lenyap. Yang bersisa hanyalah hamparan tanah telanjang. Sebuah jalan raya berkelok-kelok menelusup masuk sejauh tujuh kilometer ke kawasan taman nasional. Lewat jalan itulah sejumlah buldoser masuk dan menggaruk pohon-pohon hingga ke akar-akarnya. Jalan selebar enam meter itu hasil karya para penebang liar. Menurut warga di situ, para penebang itu umumnya penduduk dari luar Kerinci. Pintu masuk jalan ini dijaga ketat sejumlah preman. Warga biasa dilarang masuk. Truk pengangkut kayu keluar-masuk, meluncur ke Muara Sungai yang jauhnya dua kilometer. Di sana kayu dirakit, dibawa lewat sungai, entah ke mana. Begitu ramainya, kawasan itu lebih menyerupai hutan tanaman industri ketimbang sebuah taman nasional. Para penebang itu umumnya bekerja untuk cukong yang hingga kini tak diketahui sosoknya. Menurut data yang dihimpun WWF, sebuah lembaga nirlaba yang ikut mengawasi kawasan ini, saban tahun sekitar 2.512 hektare hutan musnah digunduli. Itu berarti, sejak tahun 1996, sudah sekitar 15.072 hektare atau sepuluh persen taman nasional ini sudah telanjang bulat. Jumlahnya, menurut Listiya Kusumawadhani, Kepala Taman Nasional, lebih tinggi lagi. "Sekitar 30 persen," ujarnya. Aksi penebang liar itu berlomba-lomba dengan pemburu liar. Sejak tiga tahun lalu, ratusan pemburu liar memasuki kawasan ini. Yang paling diincar adalah harimau sumatera. Hewan langka yang juga diminati adalah gajah. Tiga tahun lalu jumlahnya 700 ekor, kini tinggal 300 ekor. Hewan lain seperti badak, beruang, dan tapir menyusut seiring dengan menciutnya hutan. Walau penciutan populasi hewan ini begitu besar, aksi para pemburu liar seperti luput dari jeratan hukum. Pada 1991, Pemerintah Kabupaten Kerinci membentuk Tim Wibawa Sakti untuk membasmi para penebang, juga pemburu liar. Tapi hingga kini baru lima belas orang yang ditangkap. Anehnya, walau sudah dibekuk setahun lalu, mereka belum juga diadili. Yang ditangkap itu pun cuma maling kelas teri. Padahal, menurut Listiya Kusumawadhani, otak sesungguhnya dari kawanan ini adalah para cukong besar. Sulitkah menangkap para cukong itu? "Jaringan mereka cukup rapi dan terkoordinasi, sehingga cuma masyarakat kecil yang terjaring," kata Hasani Hamid, Sekretaris Pemerintah Daerah Kabupaten Kerinci. Kuat diduga bahwa para cukong itu dibekingi oleh aparat yang juga menikmati bisnis haram ini. Beking itulah yang bikin jaringan liar ini kian gelap-gulita (lihat juga kasus serupa di rubrik Investigasi: Kayu Haram dari Jantung Kalimantan). Para penjarah liar ini juga begitu beringas. Mereka tak segan menganiaya petugas polisi hutan. Bahkan, Juni lalu delapan bangunan milik Balai Taman Nasional Kerinci Seblat dibakar oleh sekitar 200 orang. Sebetulnya telah lama Bank Dunia mencium bau busuk ini. Itu sebabnya bank itu mengirim peringatan dini dengan cara merevisi kesepakatan Washington. Dana pinjaman yang semula disepakati sebesar US$ 19 juta disunat menjadi US$ 9,3 juta, dan hibah yang semula dipatok pada angka US$ 15 juta dipangkas menjadi US$ 11,3 juta. Kata staf Bank Dunia untuk proyek ini, Irfani, sebagaimana dikutip Antara, walau belum ada penjelasan resmi, penghentian bantuan itu kemungkinan karena Indonesia dinilai gagal menghentikan ulah para pemburu liar dan penebang liar di kawasan itu. Nasib taman nasional ini jelas bakal tambah susah setelah tak adanya bantuan tersebut. Padahal, jika seluruh hutan menggundul, "Separuh kawasan Sumatera bakal tergulung banjir," kata Listiya Kusumawadhani. Ramalan yang sama seramnya sudah dihitung oleh WWF. Jika main gundul itu tak dihentikan, kata direktur lembaga ini, Mas'ud Panjaitan, seluruh kawasan Sumatera bakal kesulitan mendapatkan air bersih, sepuluh sungai besar akan susut airnya, dan sedikitnya sekitar 10 juta hektare sawah bakal kering-kerontang. Tapi, siapa pula yang peduli pada apa yang bakal terjadi 20-30 tahun lagi, kalau saat ini semua itu bisa menggendutkan kantong sendiri dalam waktu singkat? Tidak para penebang liar, cukong, atau para birokrat dan politisi.... Wenseslaus Manggut, Febrianti (Padang), Syaipul Bakhori (Kerinci)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus