ANGIN perdamaian tampaknya sedang bertiup di negeri-negeri yang bersengketa. Dibawa oleh angin itulah bila Jumat pekan lalu Deputi Menlu Vietnam Dhin Nho Liem terbang ke Beijing dengan pesawat Air China milik RRC dari Bangkok. Orang nomor dua di Deplu Vietnam itu mendarat di bandara Beijing lama, disambut deputi Menlu Cina, Liu Shuqing. Tak perlu dicemaskan bila tirai jendela kamar, tempat kedua pihak yang bermusuhan sejak 10 tahun lalu itu bertemu, ditutup rapat. Perundingan antara Hanoi dan Beijing, seperti kemudian diumumkan esok harinya, adalah perundingan untuk mengakhiri sengketa. Inilah kunjungan pejabat tinggi Vietnam pertama ke RRC dan pertemuan langsung pertama sejak 1978. "Kunjungan Liem untuk konsultasi pribadi mengenai penyelesaian politik di Kamboja," kata seorang pejabat Cina. Hanya itu. Pihak Cina tak memberikan keterangan yang lebih rinci. Maklum, betapapun sudah berubahnya Cina, "kepribadian" lama tampaknya sulit dikikis habis sama sekali. Tak memperoleh bocoran di Beijing, pendengaran dialihkan ke Hanoi. Di ibu kota Vietnam itu terdengar bisik-bisik para pejabat bahwa kepergian Liem guna merintis kunjungan Menlu Nguyen Co Tach ke Beijing dalam waktu dekat ini. Jadi, benar adanya keterangan diplomat sebuah negara Eropa Timur di Beijing. Yakni, kunjungan Liem "hanyalah kontak pendahuluan untuk pertemuan-pertemuan tingkat tinggi selanjutnya". Sampai di sini, gambaran adanya hubungan bersahabat antara Cina dan Vietnam memang masih belum nyata benar. Namun, dicairkannya kebekuan hubungan Beijing-Hanoi yang telah berjalan satu dekade sudah merupakan langkah maju ke perdamaian. Dulu, kedua belak pihak berkeras kepala. Mula-mula, dalam tahun 1978, sering terdengar suara tuduhan dari Beijing: Vietnam melanggar perbatasan. Maka, setelah pelanggaran perbatasan yang kelewatan, habis sudah kesabaran Cina. Memang pelanggaran yang kelewatan yang terjadi di akhir tahun 1978 itu bukan pelanggaran tapal batas Vietnam-RRC, tapi Vietnam-Kamboja. Dan bukan cuma pelanggaran, melainkan agresi militer. Rezim Pol Pot, penguasa Kamboja kala itu, jatuh. Dan naiklah pimpinan yang didukung Vietnam, yakni Heng Samrin. Tak jelas sebenarnya alasan Cina menyerbu Vietnam. Dari Deng Xiaoping, kala itu masih Wakil Perdana Manteri, hanya diperoleh keterangan bahwa itu merupakan pemberian pelajaran dari Cina kepada tetangganya yang kurang sopan. Pada dugaan para pengamat politik Indocina, bentrok itu selain disebabkan oleh masuknya Vietnam ke Kamboja, juga didorong oleh jengkelnya Cina karena Vietnam menjalin hubungan baik dengan Soviet. Masih ditambah lagi dengan sikap Vietnam yang "rasialistis": mengusir ratusan ribu keturunan Cina dari Vietnam. Maka, sebuah serbuan besar direncanakan dan pada Februari 1979. Tentara Pembebasan Rakyat menyerbu masuk ke Vietnam. Pertempuran itu sendiri, yang berlangsung di daerah perbukitan, susah dikisahkan hebat-serunya. Tak mudah bagi wartawan luar negeri meliput pertarungan antara dua negeri "tertutup". Sesudah itu, beberapa kali berlangsung usaha perundingan, diselingi pertempuran. Pihak Cina mensyaratkan penarikan mundur total Vietnam dari Kamboja bila akan dibuka perundingan. Sementara pihak Vietnam tak menuntut syarat apa pun untuk sebuah pertemuan. "Tiap saat, di mana pun, dan pada tingkat apa pun," Vietnam siap berunding, tapi sementara itu mengabaikan tuntutan Beijing. Bisa dimaklumi bila kedua belah pihak seperti tak berniat mengibarkan bendera perdamaian. Sepanjang permusuhan itu tercatat pertempuran besar dua kali, pada 1984 dan Januari 1987. Masing-masing menuduh bahwa tetangganyalah yang memulai melanggar perbatasan. Dan masing-masing mengaku telah menewaskan ribuan tentara musuh. Pertempuran besar antara pasukan Vietnam dan RRC terakhir terjadi Maret tahun lalu, di Laut Cina Selatan. Sumber keributan soal klasik: perebutan wilayah Kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan. Tapi itu dulu. Perkembangan terakhir bisa jadi melunakkan sikap Beijing. Pemerintah Hanoi awal bulan ini untuk pertama kalinya menawarkan penarikan mundur seluruh pasukan Vietnam dari Kamboja pada September depan. Walau dengan syarat: harus tercapai kesepakatan lebih dulu dari keempat faksi Kamboja yang berperang. Jelas ini merupakan sikap baru Hanoi, yang sebelumnya tak pernah bergeming dari kebijaksanaan menuntaskan penarikan pasukannya dari Kamboja sampai 1990. Sementara itu, pihak Cina pun mulai mengurangi sikap keras kepalanya. Ahad pekan ini Menlu Cina Qian Qichen, yang sedang berkunjung ke Paris, membalas sikap baik Vietnam itu. Yakni dengan mengeluarkan pernyataan bahwa Beijing tak menginginkan pihak Khmer Merah berkuasa sendiri di Kamboja. Khmer Merah, yang mendapat dukungan kuat RRC, merupakan kelompok bersenjata terbesar yang memerangi rezim Phnom Penh. Misi Deputi Menlu Liem ke Cina pekan lalu bisa jadi bakal mengakhiri segala insiden perbatasan tersebut. Liem bukan muka baru bagi Beijing. Pada 1979, Liem mengepalai misi perdamaian Vietnam setelah perang perbatasan 1979, ke Beijing. Perundingan itu, seperti kemudian diketahui, gagal. Kali ini, kuat dugaan Liem akan banyak membawa hasil. Maklumlah, misi Liem ini dimungkinkan, konon, berkat pembicaraan antara Moskow dan Beijing tahun silam, yang merupakan tahap awal normalisasi hubungan kedua negara besar tersebut. Syarat utama Cina, bagi kunjungan Gorbachev ke Beijing, yakni Uni Soviet harus menekan Vietnam agar menarik pasukannya dari Kamboja. Itulah, faktor tekanan dari Uni Soviet dan juga makin kedodorannya ekonomi Vietnam yang mendorong perubahan sikap Vietnam. Tak heran jika selama di Beijing, selain membicarakan masalah perbatasan dan Kamboja, prioritas utama Liem juga mengenal soal pembaruan perdagangan dengan pihak Cina. Sementara itu, di pihak Cina sendiri, perdamaian dengan Vietnam juga akan berarti banyak. Kuat dugaan bahwa pernyataan Beijing belum lama ini -- bila saja tentara Vietnam menyusup dan menduduki Kepulauan Spratley, Cina akan turun tangan sekadar gertakan. Di dalam negeri sendiri dikabarkan Cina sedang menghadapi kemelut ekonomi. Banyak warga Cina yang berniat mengadu untung dengan bermigrasi ke Jepang (Sampai-sampai perwakilan Jepang di Shanghai membatasi ketat pengeluaran visa bagi warga Cina). Kesempatan untuk mengurangi anggaran penjagaan perbatasannya dengan Vietnam tentulah tak akan disia-siakan. Dan tak boleh dilupakan hasil Jakarta International Meeting tahun lalu, yang mencoba merintis jalan memecahkan perselisihan di Kamboja. Pertemuan yang akan dilanjutkan bulan depan juga di Indonesia itu tampaknya mengundang simpati dunia terhadap kebijaksaan Vietnam yang bersedia menarik tentaranya dari Kamboja. RRC tentu merasa rugi bila harus terus bermusuhan dengan negeri yang tampaknya akan punya banyak teman. Dan itu semua berarti Asia akan semakin damai -- setelah belum lama ini pun dibuka perundingan persahabatan dua musuh lama, India dan Pakistan. Yakni bila persahabatan Vietnam-RRC tak lalu berarti menguatnya komunisme di Indocina dan Timur Jauh yang bisa memancing semangat agresi komunisme di Asia. FS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini