PERANG dingin telah tamat. Israel tetap saja gundah. Itu tak lain akibat faktor Amerika yang selalu memainkan peranan sangat menentukan terhadap politik domestik maupun politik luar negeri negara Yahudi itu. Tanpa bantuan Amerika, terutama dana, pertumbuhan ekonomi Israel bisa mandek. Lihat saja, selama tiga tahun terakhir, bantuan Amerika kepada Israel sekitar US$ 4,5 milyar setiap tahunnya. Meski Yahudi Amerika juga merogoh kocek untuk tanah air kedua mereka, yang jumlahnya tak sampai seperempat bantuan Amerika, langkah itu sukar diandalkan sebagai kartu taruhan "melawan" kehendak negara Paman Sam tersebut. Maka, dapat dikatakan bahwa perubahan kabinet Israel, melalui pembekuan pembangunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan dan kesediaan Perdana Menteri Yitzak Rabin untuk duduk kembali di meja perundingan dengan Arab baru-baru ini, tak lepas dari faktor Amerika tersebut. Sejak berakhirnya perang dingin, yang diramaikan dengan keruntuhan rezim komunis Eropa dan berakhirnya Perang Teluk dengan kalahnya Irak, Israel makin merasa ditinggalkan Amerika. Berakhirnya perang dingin itu berarti lenyapnya ancaman terhadap Amerika di segala penjuru dunia, sedangkan kalahnya Irak berarti hilang pula ancaman terhadap Israel. Dengan demikian beban pertahanan Amerika untuk melindungi dirinya dan membantu pertahanan Israel semakin ringan. Justru kecenderungan itulah yang sangat dikhawatirkan Israel. Israel takut kedua kecenderungan tersebut akan menyebabkan Amerika mengambil posisi netral dalam konflik Arab-Israel. Padahal, pada masa lalu Amerika selalu memihak Israel dalam segala situasi. Sekarang, Amerika justru menginginkan suatu Timur Tengah yang ademayem. Tak heran bila mereka makin lama, makin jengkel dengan sikap "elang" yang dianut pemerintahan koalisi Likud pimpinan bekas Perdana Menteri Yitzhak Shamir. Dalam menghadapi Arab dan Palestina, jurus yang dianut Shamir adalah berunding dengan posisi kuat dan tanpa kompromi. Ia sama sekali menolak gagasan "tanah untuk perdamaian", yang diajukan pihak Arab. Sikap Shamir itu sedikit banyak mendapat dorongan dari Washington. Maka, Israel melanjutkan terus pembangunan permukiman Yahudi di kawasan yang direbut dari orang Palestina. Padahal, syarat perundingan yang diajukan pihak Arab-Palestina adalah penghentian pembangunan permukiman tersebut. Tak heran apabila perundingan perdamaian yang disponsori Amerika itu selalu mengalami jalan buntu. Maka, ketika Washington menekan Israel agar bersikap lebih realistis, tekanan itu tak pernah diindahkan Shamir. Lantaran itu, rencana Amerika untuk memberi pinjaman lunak US$ 10 milyar kepada Israel langsung dibekukan Presiden George Bush. Bantuan itu, yang sedianya bakal digunakan Shamir untuk membangun permukiman Yahudi di daerah pendudukan, kata Amerika, hanya bisa cair apabila Israel membekukan proyek pembangunan permukiman di Gaza dan Tepi Barat tersebut. Akibat pembekuan dana itu, hubungan Washington-Yerusalem dalam beberapa tahun terakhir ini makin tegang. Malahan mengarah ke perceraian, karena kepentingan nasional Israel-Amerika makin lama makin tak sejajar lagi. Publik Israel tampaknya membaca gejala tersebut. Kemenangan Partai Buruh pimpinan Rabin dalam pemilihan umum, Juni lalu, mencerminkan bahwa rakyat Israel ingin bebas dari ancaman dan keributan. Masalah itu tak pernah ada hentinya, sebagai akibat dari perlakuan tak adil terhadap orang Arab dan Palestina. Dalam hal inilah pemerintah Rabin bersikap fleksibel. Pendirian Rabin itu, yang berjanji untuk menciptakan perdamaian dengan Arab, sudah tercermin dalam kampanyenya. Janji itu, paling tidak pada awal masa pemerintahannya, memang ditepati. Begitu terpilih menjadi perdana menteri, Rabin menghentikan permukiman Yahudi tersebut. Pada 5 Agustus lalu, seorang juru bicara dari pertahanan dan keamanan Israel mengatakan bahwa komandan tentara pendudukan di Tepi Barat telah menghentikan pembangunan perumahan baru, yang rencananya akan menampung 100.000 orang Yahudi asal Eropa di antara 1,75 juta orang Palestina. Pernyataan itu kemudian didukung oleh pengumuman Menteri Perumahan Benyamin Ben Eliezer, yang juga mengatakan proyek tersebut telah dibekukan. "Izin membangun rumah harus disetujui oleh aparat sipil dan komandan militer setempat. Komandan tak akan pernah lagi memberikan izin itu," kata juru bicara tadi. Langkah kompromi Rabin lainnya adalah kesediaan Israel untuk duduk lagi di meja perundingan, yang rencananya akan dibuka lagi pada 24 Agustus depan. Kedua jurus itu tentu saja akan memberi peluang bagi pemerintahan Bush untuk mencairkan dana US$ 10 milyar, yang sangat diperlukan untuk menggiatkan roda ekonomi Israel. Dan tentu saja, itu akan lebih melicinkan hubungan Washington-Yerusalem. Namun, posisi Rabin masih sangat rapuh. Saingan-saingan politiknya, yang terdiri dari front partai-partai kecil berasaskan agama dan golongan kanan yang bergabung dalam koalisi Likud, telah sesumbar untuk menjatuhkan pemerintahan Rabin sekarang. Itu, ancam mereka, akan dilakukan dalam dua atau tiga bulan mendatang. Sementara itu, koalisi kiri di bawah Rabin hanya memegang mayoritas tipis (61 lawan 59 suara) dalam Knesset (parlemen). A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini