NAMA besar William Shakespeare ten~tu sa~ja selalu menjanjikan sebuah pementasan ting~kat tinggi, apalagi jika karya yang dipentaskan berjudul Macbeth. Tetapi, itulah celakanya. Karena dra~ma ini telanjur menjadi milik dunia, kita jadi siap menilai dan cerewet. Tragedi Shakespeare ini sudah pernah diinterpretasikan oleh nama-nama besar macam Roman Polanski dan Akira Kurosawa melalui layar putih maupun oleh kelompok terkenal macam Royal Shakespeare Theater di London. Dan sikap penonton macam ini menjadi risiko yang harus diterima Kadek Suardana, yang menyutradarai dan memerankan Macbeth versi Bali di Gedung Kesenian Ja~karta, Sabtu dan Ming~gu lalu. Macbeth gaya Ba~li itu dibuka de~ngan cahaya panggung yang temaram dan suara suling Bali yang meliuk-liuk. Suasana magis ini ditunjang oleh panggung yang dipenuhi tiga "puri" yang secara su~ges~tif dibangun oleh tirai-tirai putih saja. Lantas Macbeth (Kadek Suardana) muncul de~ngan solilokuinya yang bercerita tentang keinginannya menjadi raja. Kemudian muncullah tiga makhluk yang mengerikan. Mereka adalah tiga penyihir yang meramal masa depan Macbeth yang "akan menjadi raja". Suar~dana menyesuaikannya dengan gaya Bali de~ngan menampilkan dua ahli nujum wanita yang lebih mirip dengan lakon Calon Arang versi Bali, plus seorang "pemimpinnya". Dengan suara melengking-lengking, kedua nujum wanita ini (di~pe~rankan dengan baik oleh Eka Sumantri dan Sutaningsih) meramal masa depan Macbeth dan rekannya, Macduff. Selanjutnya adalah pertemuan Macbeth dengan Raja Duncan (W.S. Wirata), yang selalu tertawa setiap mengucapkan satu kalimat. Ini membuat suasana magis yang telah dibangun dengan susah payah menjadi buyar. Apalagi setelah Lady Macbeth (Putri Su~astini) yang membujuk Macbeth agar "tidak cengeng untuk bertindak lebih ringkas". Lady Macbeth, yang dikenal sebagai wanita keras yang dipenuhi dengan muslihat, tidak tampil meyakinkan. Sementara itu, Macbeth, yang baru saja keluar dari per~aduan Raja Duncan dengan keris penuh da~rah, tidak tampak seperti orang yang ketakutan. Kelemahan akting para pendukungnya ini bisa diimbangi dengan elemen Bali yang tidak sekadar mengejar efek turistik di atas terjemahan Rendra yang bagus itu. Elemen Bali yang diselipkan di dalam drama Shakespeare ini -- termasuk elemen Calon Arang, Gambuh, dan konsep Drama Gong -- tidak menjadi sekadar tempelan seperti halnya beberapa kelompok teater yang sebelumnya pernah mencoba upaya serupa. Mungkin nama tokoh dan tempat seperti Macbeth, Macduff, Skotlandia, dan sebagainya itu akan lebih menarik jika sekaligus diadaptasikan menjadi nama-nama Bali, seperti halnya Akira Kurosawa mengganti nama-nama tokohnya menjadi satria Jepang dalam Komunosujo (Takhta Berdarah). Menurut Kadek, kemungkinan itu sempat dipikirkannya, tapi "akhirnya setelah berdebat dengan kawan-kawan, kami memutuskan untuk tetap menggunakan nama-nama asli naskah Shakespeare." Nama- nama itu tak terlalu mengganggu, karena yang penting bagaimana Kadek harus mampu memasukkan jiwa dan filsafat Bali ke dalam drama Inggris yang sudah lima abad usianya ini. Sebenarnya memang proses Gambuh, yang biasa untuk mewadahi kisah Panji ini, akan cocok diterapkan ke dalam Macbeth yang merupakan tragedi yang puitis. Bahasa dalam Gambuh memang direncanakan untuk pertunjukan yang dialognya tak seperti percakapan sehari-hari dan penuh nada lekak-lekuk, dipentaskan dengan kostum yang penuh warna, akting yang sesungguhnya tarian. Dan karakterisasi ini me~mang cocok de~ngan drama-dra~ma Shakespeare yang menekankan pui~tisasi. Karena itu, pilihan Kadek un~tuk menggunakan terjemahan Ren~dra yang puitis itu sangat tepat. Namun, Kadek tak hanya berhenti pada Gambuh. Seperti yang diakuinya, ia mencoba menerapkan kombinasi antara pro~ses Gambuh dan Drama Gong, bentuk teater Bali yang paling muda. Kombinasi ini kita lihat pada adegan perkelahian akhir antara Macduff dan Macbeth, yang masing-masing mengenakan topeng Bali. "Adegan ini untuk memperlihatkan filsafat Ba~li tentang rwa bineda, yakni perten~ta~ngan baik-buruk yang selalu ada," tuturnya. Seandainya Kadek Suardana mengolah kembali seni akting para aktornya dan membuat drama yang penuh tragedi ini semakin "berdarah", kiranya ia akan menjadi wakil yang baik dalam festival drama di Boston tahun depan, seperti yang telah di rencanakan. Sebagus apa pun konsepnya, dan seindah apa pun kostum pemain, akting para pemain tetap menjadi daging dari seluruh tubuh pertunjukan drama. Apalagi jika itu tragedi Shakespeare, yang penuh solilokui dan peristiwa berdarah. Atau, adakah kostum Gambuh yang warna-warni dan pengadegan Drama Gong membuat akting pema~innya jadi tenggelam? Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini