Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Liputan penghancuran fasilitas uji coba nuklir Korea Utara di Punggye-ri, Provinsi Hamgyong Utara, menyisakan tanda tanya bagi Tom Cheshire. Koresponden stasiun televisi Sky News itu ikut serta dalam rombongan wartawan internasional yang diundang pemerintah Korea Utara ke sana, Kamis dua pekan lalu. Tapi ia tak sepenuhnya yakin terhadap apa yang telah terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami benar-benar melihat pintu masuk terowongan runtuh, tapi mustahil untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya," kata Cheshire, seperti diberitakan Business Insider, Selasa pekan lalu. "Di situs tersebut banyak hal yang sengaja dipersiapkan untuk wartawan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cheshire mencoba menggali informasi dari seorang pejabat Korea Utara yang mendampingi rombongan jurnalis. Kepada pejabat itu, Cheshire bertanya bagaimana para wartawan dapat memastikan fasilitas nuklir tersebut tak bisa lagi digunakan. "Dia mengatakan bahwa kami telah melihat dengan mata kepala sendiri jenis ledakan yang dihasilkan," ujar Cheshire.
Tanda tanya juga menghampiri benak Ben Tracy. Kontributor stasiun televisi CBS News ini sempat heran saat petugas meyakinkan para jurnalis bahwa di lokasi uji coba nuklir itu tidak ada risiko radiasi. Dia juga tak dapat memverifikasi klaim itu karena telepon seluler dan dosimeter radiasi, alat pengukur paparan radiasi, disita saat mereka di Pyongyang.
"Masalahnya, kami adalah sekelompok wartawan," kata Tracy. Tidak ada seorang pun ahli nuklir dalam rombongan itu. "Kami tidak punya cara untuk mengetahui apakah peledakan ini benar-benar membuat fasilitas itu tidak dapat digunakan."
Pemerintah Korea Utara mengundang 30 wartawan asing menyaksikan peledakan fasilitas nuklir itu. Fasilitas itu terletak 480 kilometer ke arah utara dari Wonsan, di wilayah perbukitan di kaki Gunung Mantap. Selama di sana, sebagian besar wartawan televisi kesulitan melakukan siaran langsung karena sinyal Internet yang buruk.
Dalam "atraksi" yang dipamerkan kepada wartawan, otoritas Korea Utara melakukan tiga kali peledakan, masing-masing pukul 11.00, 14.20, dan 16.00. Sasarannya adalah tiga terowongan nuklir, bangunan observasi, sebuah fasilitas pengecoran logam, dan kompleks tempat tinggal. Selama sembilan jam di sana, para jurnalis menyaksikan peledakan dari lokasi pengamatan sejauh 500 meter.
Rodong Sinmun, surat kabar resmi Partai Pekerja Korea Utara, menyatakan peledakan fasilitas nuklir di Punggye-ri adalah bagian dari keputusan "aktif dan berani" Pyongyang untuk melucuti senjata nuklir. Keputusan ini juga sesuai dengan perubahan kebijakan pembangunan ekonomi yang diketuk pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, dalam kongres partai, 20 April lalu.
"Pemerintah Korea Utara mantap untuk menciptakan perdamaian dunia dan mendengarkan aspirasi komunitas internasional untuk menghentikan uji coba nuklir," tulis koran yang menjadi corong partai berhaluan komunis itu, seperti disiarkan kantor berita KCNA.
Sejak 2006, Pyongyang menggelar enam kali uji coba nuklir. Lima di antaranya dilakukan di fasilitas nuklir Punggye-ri, yang telah digunakan dalam 12 tahun terakhir. Percobaan terakhir di Punggye-ri terjadi pada September tahun lalu. Saat itu, Pyongyang meledakkan bom hidrogen yang memicu gempa berkekuatan 6,3 magnitudo dan getarannya terasa hingga Jepang.
Di Gedung Putih, Presiden Donald Trump sempat membatalkan rencana bertemu dengan Kim Jong-un, beberapa jam setelah peledakan di Punggye-ri. Pertemuan di Singapura itu dijadwalkan pada 12 Juni mendatang. Gedung Putih beralasan pembatalan itu akibat Pyongyang melanggar janji karena tidak mengizinkan para ahli nuklir datang untuk memverifikasi penghancuran situs nuklir tersebut.
Namun, belakangan, keputusan itu berubah. Gedung Putih kembali membuka keran dialog dengan Pyongyang untuk menjadwalkan pertemuan Trump dan Kim. Washington mengirim diplomat andalannya, bekas utusan khusus urusan Korea Utara, Sung Kim, untuk bernegosiasi. Mantan duta besar untuk Korea Selatan itu merapat ke desa perbatasan Panmunjom bersama Allison Hooker, pakar Korea di Dewan Keamanan Nasional.
Melalui Twitter, Trump sempat mencuitkan ihwal pertemuan tersebut sembari nyerocos tentang keyakinannya bahwa Pyongyang bakal mengikuti kesepakatan yang diatur utusan kedua negara. "Korea Utara punya potensi cemerlang serta akan menjadi negara ekonomi dan keuangan yang besar suatu hari nanti. Kim Jong-un setuju dengan saya tentang ini. Itu akan terjadi!" ujarnya.
Di gedung Tongilgak di sisi utara Panmunjom, Korea Selatan, Sung Kim dan Hooker bertemu dengan Choe Son-hui, Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara. Sementara Sung mengenal seluk-beluk program nuklir Pyongyang, Choe dikenal lihai dalam berurusan dengan Washington.
Di Seoul, kehebohan rupanya juga menghinggapi Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, yang sejak berbulan-bulan lalu berupaya menjembatani pertemuan Trump dan Kim. Sempat terperenyak akibat kabar pembatalan pertemuan di Singapura, Moon mendadak menemui Kim Jong-un di Panmunjom, Sabtu dua pekan lalu.
Moon mengemban misi yang senada dengan delegasi Amerika Serikat, yakni memastikan pertemuan di Negeri Singa bisa terlaksana. Ia bahkan menawarkan satu solusi baru berupa pertemuan trilateral. "Saya ingin melihat upaya untuk secara formal mengakhiri perang (Korea) melalui pertemuan tiga pihak antara Korea Utara, Amerika Serikat, dan Korea Selatan," kata Moon dalam konferensi pers di Seoul, sehari kemudian.
Korea Utara juga sibuk. Kim Jong-un mengutus Kim Yong-chol ke New York, pekan lalu. Kim Yong-chol adalah perunding senjata nuklir nomor wahid Pyongyang dan tangan kanan Kim Jong-un sekaligus menjabat Wakil Ketua Partai Pekerja Korea Utara.
Kim Yong-chol dijadwalkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo. Sebagai eks bos lembaga mata-mata Pyongyang, Kim Yong-chol telah terlibat dalam perundingan tidak resmi dengan Badan Intelijen Pusat Amerika (CIA), yang pernah dipimpin Pompeo. Dia juga hadir saat Kim Jong-un bertemu dengan Pompeo di Pyongyang pada 9 Mei lalu. Bersama Kim Yo-jong, adik perempuan Kim Jong-un, Kim Yong-chol menjadi figur sentral bagi diplomasi Pyongyang dalam setahun terakhir.
Kesibukan juga tampak di Singapura ketika Wakil Kepala Staf Gedung Putih Joe Hagin dan timnya menyiapkan logistik dan keamanan untuk pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-un. Secara terpisah, kepala staf de facto Kim Jong-un, Kim Chang-son, juga memimpin timnya ke sana. Kim Chang-son dikabarkan melakukan transit di Beijing, Senin pekan lalu, dan melanjutkan penerbangan ke Negeri Singa.
Peledakan fasilitas nuklir di Punggye-ri menjadi peristiwa simbolis tapi penting bagi rencana pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-un. Dengan menyetujui denuklirisasi, Pyongyang berharap mendapat imbalan berupa bantuan, seperti minyak, dan terlepas dari sanksi ekonomi. "Tapi, belajar dari pengalaman, bisa jadi ini siasat Kim Jong-un dengan berpura-pura bersedia melucuti senjata," ujar Miha Hribernik, analis Asia dari lembaga Verisk Maplecroft, kepada CNBC.
Siegfried Hecker memperkuat keraguan itu. Ilmuwan nuklir di Stanford University ini penasihat utama pemerintah federal Amerika dalam isu nuklir Korea Utara. Dalam risetnya, Senin pekan lalu, ia menyarankan Gedung Putih meredam ekspektasi berlebihan atas denuklirisasi Korea Utara secara cepat. "Denuklirisasi hanya bisa dilakukan secara bertahap selama lebih dari 10 tahun," kata Hecker, yang pernah beberapa kali mengunjungi kompleks nuklir Korea Utara.
Mahardika Satria Hadi (Business Insider, The Independent, Yonhap)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo