Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada hari-hari seperti ini, Agus Widjojo menjadi anomali. Saat sebagian besar masyarakat Indonesia menyerukan agar tentara ikut melawan terorisme bersama polisi lewat revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional itu menolaknya. Tugas Tentara Nasional Indonesia, kata dia, adalah menjaga pertahanan nasional. "Sementara terorisme adalah ranah penegakan hukum," ujar Agus dalam wawancara khusus di kantornya, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Letnan jenderal purnawirawan ini mengatakan tentara dan polisi punya doktrin berbeda. Di lapangan, tentara berpegang pada prinsip membunuh atau dibunuh. Sedangkan polisi bertugas menangkap pelaku kejahatan dan memprosesnya sesuai dengan hukum. "Jadi, dalam operasi, mereka tidak bisa dijadikan satu," kata Agus, 70 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toh, Agus sedikit bernapas lega saat Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Antiterorisme pada Jumat dua pekan lalu. Lewat undang-undang itu, peran tentara dalam penanganan terorisme dibatasi oleh keputusan presiden. Ada pula aturan agar Kepolisian Republik Indonesia bisa menahan seseorang yang diduga terlibat jaringan terorisme walau belum berulah. Mantan Kepala Staf Teritorial TNI ini menilai perluasan kewenangan tersebut mempersempit ruang gerak teroris.
Kepada wartawan Tempo Reza Maulana dan Angelina Anjar, Agus juga menyinggung ihwal reformasi TNI-yang konsepnya ia susun pada awal masa reformasi-yang cenderung stagnan. Menurut dia, tentara kembali tergoda berperan di luar fungsi pertahanan. "Karena otoritas sipil terlalu ngelendot kepada TNI," ujar putra pahlawan revolusi Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo itu.
Apa alasan Anda menolak pelibatan tentara dalam pemberantasan terorisme dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme?
Saya melihat dari sisi tata kelola pemerintahan dan konstitusi. Amanat konstitusi kepada TNI dan Polri berbeda. Tapi kita masih terpaku pada kebiasaan masa lalu, di mana Polri merupakan bagian dari ABRI. Di era dwifungsi itu, ABRI mempunyai kewenangan yang melintasi batas kewenangan lembaga militer profesional dalam demokrasi, yakni pertahanan nasional. Dalam Undang-Undang TNI disebutkan presiden dapat mengerahkan tentara untuk menjalankan operasi militer selain perang, di antaranya memberantas terorisme. Kalau sudah ada aturannya, ya, dikembalikan ke aturannya.
Pelaku teror yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak mengindikasikan gangguan pertahanan nasional?
Di mana letak pertahanan nasionalnya? ISIS tidak pernah menyerbu Indonesia dengan kekuatan militernya. Mereka itu jaringan. Tindakan mereka dilakukan di dalam negeri. Jadi, walau merupakan ancaman, terorisme adalah ranah penegakan hukum, ranah Polri. Ada hukum nasional yang dilanggar. Segala sesuatu tentang teror ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Apakah Lembaga Ketahanan Nasional dilibatkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme?
Ya. Kami pernah diundang ke DPR. Saya menyampaikan pandangan saya kepada Komisi I.
Anda khawatir militer kembali ke politik lewat revisi Undang-Undang Antiterorisme?
Bukan kekhawatiran militer kembali ke dwifungsi atau memainkan peran di luar pertahanan, melainkan soal tata kelola pemerintahan dan konstitusi itu tadi. Kalau itu dilanggar, kita tidak melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik.
Lalu apa reaksi Anda saat peraturan tersebut disahkan?
Hiruk-pikuk di luar adalah melibatkan TNI dalam penanganan terorisme, sehingga saya pikir pendapat saya melawan arus. Tapi kemudian ada berita beberapa partai pemerintah menolak pelibatan TNI. Berarti saya tidak salah, dong. Saya pun optimistis. Begitu diketuk, saya katakan sudah on track. Undang-undang ini memberikan sesuatu yang dibutuhkan Polri, yakni perluasan kewenangan untuk menahan seseorang yang terlibat dalam sebuah jaringan terorisme walau belum bertindak. Jadi arahnya bukan pelibatan TNI.
Tapi ada pasal tentang pelibatan TNI….
Aturan itu akan menempatkan TNI sesuai dengan tugas pokoknya. Diatur oleh peraturan presiden. Tinggal bagaimana kita mengawal perpres itu supaya tidak menyimpang dari Undang-Undang TNI dan tata kelola pemerintahan yang sesuai dengan kaidah demokrasi.
Anda setuju dengan frasa "dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan" dalam definisi terorisme di undang-undang tersebut?
Apa pun definisinya, saya setuju. Itu tidak akan mengubah siapa yang akan menanganinya. Kalau memang sampai ke situ, ancaman hukuman di pengadilan lebih tinggi dan bukan TNI yang menghukum.
Frasa itu tidak membuka peluang bagi TNI untuk terlibat langsung dalam penanganan terorisme?
Tidak ada undang-undang yang mengatakan, kalau berhubungan dengan keamanan nasional, TNI bisa otomatis masuk.
Tindakan teror yang seperti apa yang memerlukan pelibatan TNI?
Berdasarkan pertimbangan presiden. Presiden punya hak prerogatif. Misalnya ada satu teroris bersenjata di depan Lemhannas. Lalu presiden mengerahkan satu peleton Komando Pasukan Khusus. Kalau yang memerintahkan presiden, itu sah. Dalam demokrasi, bukan masalah salah atau benar, melainkan sah atau tidaknya tindakan itu. Soal salah atau benar, silakan DPR bertanya kepada presiden.
Bagaimana dengan operasi gabungan Polri dan TNI di Poso, Sulawesi Tengah?
Saat itu pasti ada keputusan politik. Lazimnya menjadi deklarasi politik, sehingga publik dan DPR tahu.
Nyatanya tidak ada deklarasi....
Mungkin ada dalam sidang kabinet, tapi tidak dipublikasikan.
Anda mengatakan doktrin tentara adalah membunuh atau dibunuh, sementara polisi bertugas menegakkan hukum. Bisakah keduanya sejalan dalam sebuah operasi?
Itu tidak bisa dijadikan satu. Doktrinnya berbeda. Doktrin adalah cara mereka melaksanakan tugas pokok. Tentara memiliki tugas pokok berperang. Dalam perang, undang-undang dan hak asasi manusia akan dipinggirkan. Karena musuh melakukan perlawanan bersenjata, kalau ada yang tertembak, salah mereka sendiri. Berbeda dengan polisi. Misalnya pelaku lari ke pasar, polisi harus menembak tepat sasaran. Kalau salah tembak, kena rakyat, polisi yang salah.
Walau dalam satu komando operasi?
Jangankan TNI dan Polri. Doktrin antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara saja berbeda. Mereka memiliki keterampilan yang tinggi karena terus-menerus berlatih dan bertugas bersama sehingga kompak. Kalau tidak pernah dilatih bersama, tidak mudah. Bukan tidak bisa, melainkan tidak mudah.
Artinya bisa diatasi dengan latihan bersama?
Kalau tugas TNI bukan itu, melainkan berperang, apakah latihan bersama bukan merupakan pemborosan anggaran? Lebih baik dilatih untuk hal-hal yang sudah pasti menjadi tugas TNI.
Bagaimana Anda melihat kinerja Detasemen Khusus 88 Antiteror?
Selama ini bagus. Mereka bisa mengejar, menangkap, dan menggerebek jaringan pelaku.
Tapi pecah bom Surabaya....
Itu kerja intelijen, bukan polisi. Karena itu, dalam Undang-Undang Antiterorisme diperjuangkan agar polisi bisa mendapat kewenangan lebih besar menangkap orang yang diketahui punya jaringan atau terpengaruh. Kalau itu tidak ada, polisi tidak bisa bertindak. Mereka akan banyak kecolongan.
Anda tidak menganggap teror di Surabaya kemarin sebagai kebobolan?
Tidak. Kita tidak bisa mendeteksi semuanya. Jangankan Indonesia, teror juga terjadi di Prancis dan Inggris. Apakah bisa dikatakan kebobolan? Memang tidak mudah mengantisipasinya.
Sebagian pihak menilai polisi kewalahan sehingga perlu kekuatan lebih besar untuk menghadapi terorisme....
Kita harus menjalankan negara sesuai dengan undang-undang. Kalau ada yang kurang, perbaiki. Saat era dwifungsi, jika kinerja suatu institusi pemerintah tidak efektif, perannya akan diambil oleh ABRI. Sekarang, kalau tidak efektif, bangunkan, karena TNI sudah tidak bisa masuk. Masak, setiap saat presiden harus mengeluarkan keputusan politik, "Ya, TNI cetak sawah, TNI jadi guru, TNI tanam hutan." Jika semuanya terus ngelendot, menyandarkan diri pada TNI, negara tidak akan maju. Yang untung TNI.
Setelah tragedi Surabaya, Presiden Joko Widodo mengatakan akan menerbitkan peraturan presiden pengganti undang-undang jika revisi Undang-Undang Antiterorisme tidak kunjung rampung. Hal itu menyiratkan Presiden ingin segera melibatkan militer?
Presiden Jokowi mengatakan militer hanya akan digunakan sebagai cara terakhir apabila ancaman sudah melebihi kemampuan polisi. Lagi pula militer diterjunkan setelah ada keputusan presiden. Jadi tidak setiap saat militer bisa masuk.
Artinya harus ditetapkan batas waktunya?
Biasanya seperti itu, karena bukan merupakan tugas dan peran yang sifatnya permanen atau organik.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan dia yang mengajak TNI ikut melawan terorisme.…
Apakah Pak Tito punya kewenangan untuk mengajak TNI? Tetap harus tunduk pada undang-undang.
Anda setuju Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab) akan dijadikan organisasi permanen yang bertugas dalam operasi militer selain perang?
Tidak bisa. Harus dengan keputusan presiden. Kalau diaktifkan, kemudian dilatih, tapi presiden menganggap itu belum diperlukan, tidak akan dipakai. Lagi pula operasi militer selain perang sudah diatur dalam Undang-Undang TNI. Itu untuk TNI sebagai institusi secara keseluruhan.
Apakah Koopssusgab sudah diperlukan?
Mereka dilatih secara khusus, punya keterampilan militer yang plus. Apa kegunaan militer yang plus dalam aksi teror, apalagi bom bunuh diri? Ada kejadian, dicari pelakunya dan jaringannya untuk diajukan ke pengadilan. Koopssusgab mau diperintahkan apa ke situ?
Bagaimana dengan fungsi intelijen?
Fungsi intelijen ada pada Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais), dan intelijen polisi. Pertukaran data intelijen merupakan sebuah keniscayaan. Itu tidak mewakili institusi, melainkan berada dalam forum koordinasi intelijen. Tapi tugas TNI adalah berperang. Pegang itu.
Belakangan muncul kesan TNI sangat ingin terlibat dalam pemberantasan terorisme. Anda sependapat?
Mungkin ada kepentingan-kepentingan. Mungkin juga ada beberapa pejabat yang terkenang akan kewenangan TNI di era dwifungsi yang begitu luas. Mereka tidak menyadari zaman sudah berubah dan memang harus berubah.
Bagaimana Anda melihat reformasi TNI saat ini?
Dibanding momentum yang telah dicapai pada 1998-2004, agak menurun. Pascareformasi, TNI melihat bahwa ke depan tatanan seperti yang dinikmati saat pemerintahan Presiden Soeharto tidak bisa diteruskan. Jadi TNI mengambil inisiatif mengawali sendiri perubahannya dari dalam, dan itu berjalan lancar. Kenapa? Pertama, karena dilakukan sendiri, TNI tidak digedor-gedor dari luar. Kedua, karena pada 1999 para elite sedang bersiap-siap mengamendemen Undang-Undang Dasar 1945, TNI tidak dipengaruhi oleh tarik-ulur kepentingan politik. Pada 2004, karena otoritas politik telah kembali memantapkan diri, terjadi tarik-ulur. Di situlah reformasi TNI mulai stagnan.
Hal-hal apa yang sudah tercapai?
TNI sudah terpisah dari Polri, tidak lagi mendukung salah satu partai politik, tidak lagi berada dalam pemerintahan untuk membina sistem politik, anggota-anggota TNI tidak lagi menduduki jabatan sipil, dan purnawirawan TNI yang ikut pemilu tidak lagi mewakili institusi TNI.
Yang belum?
Penempatan TNI dalam Kementerian Pertahanan. Saat ini Panglima TNI masih bertanggung jawab langsung kepada presiden. Tapi sudah mulai berproses. Menteri Pertahanan yang memformulasikan kebijakan dan anggaran TNI.
Bagaimana dengan restrukturisasi komando teritorial?
Masih simpang-siur. Tapi TNI memang tidak punya kewenangan menjangkau langsung sumber daya sipil, termasuk penduduk. Jadi kemanunggalan TNI-rakyat itu bukan berarti TNI sebagai institusi punya monopoli atas rakyat. Doktrin kemanunggalan TNI-rakyat ditujukan kepada prajurit, bukan institusi, sehingga, ketika melaksanakan tugas dan harus masuk ke rakyat, dia akan memperlakukan rakyat dengan baik.
Anda memberi nilai berapa untuk reformasi TNI saat ini?
Kita pernah mencapai 80 persen pada 2004. Sekarang kembali ke 75 persen, deh. Karena kondisi saat ini memberi rangsangan kepada pimpinan TNI untuk kembali kepada peran di luar fungsi pertahanan nasional seperti di masa lalu.
Kondisi seperti apa?
Otoritas sipil masih mencoba mengundang kembali militer, terlalu ngelendot. Dalam demokrasi, yang berkuasa otoritas sipil. Mereka adalah pemenang pemilu yang mendapat pinjaman kedaulatan rakyat, memiliki otoritas politik. TNI dan Polri, Panglima TNI dan Kapolri sekalipun, tidak pernah dipilih oleh rakyat. Tapi penyakit lama di Indonesia, otoritas sipil kurang percaya diri dengan kekuasaannya. Dia merasa tidak lengkap kalau tidak mendapatkan dukungan politik dari TNI. Jadi ada kecenderungan otoritas sipil mengundang kembali TNI mendukung kekuasaan politiknya. Akhirnya, pimpinan TNI merasa dirinya masih besar. Inilah yang menjadi iming-iming bagi pimpinan TNI untuk berinvestasi politik di masa depan, terutama setelah pensiun dari TNI.
Bukankah tidak salah seorang purnawirawan maju dalam pemilihan umum?
Jangan menggunakan TNI. Kalau dia menyalahgunakan TNI dan mengabaikan tugasnya sebagai Panglima TNI, salah dong. Safari politik dan ke kampus, misalnya, itu saya katakan investasi politik. Bukan tugas Panglima TNI untuk melakukan itu. Itu bukan fungsi pertahanan nasional.
Apakah yang Anda maksud mantan Panglima TNI, Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo?
Enggak tahu, ha-ha-ha....
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo