Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
POLEMIK proyek kereta cepat antara Malaysia dan Singapura akan segera dirundingkan meski waktunya belum pasti. Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah, Senin pekan lalu, menyampaikan bahwa pihaknya sudah berkirim surat untuk mendiskusikan soal ini. Tapi, "Pemerintah Malaysia belum mengusulkan tanggal," kata Menteri Transportasi Singapura Khaw Boon Wan, Rabu pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek kereta cepat dengan lintasan sepanjang 350 kilometer yang menghubungkan Singapura dengan Putrajaya itu ditandatangani Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak, Desember 2016. Prasarana itu akan mempercepat arus keluar-masuk warga dua negara dan memangkas waktu tempuh dari empat jam menjadi 90 menit. Proyek senilai US$ 28 miliar itu ditargetkan rampung pada 2026.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nasib proyek prestisius ini menjadi tanda tanya setelah koalisi partai Barisan Nasional pimpinan Najib Razak kalah oleh oposisi Pakatan Harapan pimpinan Mahathir Mohamad dalam pemilihan umum, 9 Mei lalu. Setelah resmi menjadi perdana menteri menggantikan Najib, Mahathir mewarisi utang pemerintah sekitar US$ 248 miliar atau 80,3 persen dari produk domestik bruto negeri itu.
Tersebab utang besar itulah Mahathir memutuskan meninjau ulang sejumlah proyek yang ditandatangani pendahulunya. Selain mengkaji kembali proyek kereta cepat, Mahathir menegosiasikan ulang proyek East Coast Rail Link hasil kerja sama dengan Cina yang menelan biaya US$ 14 miliar. Dia menyebut dua megaproyek era Najib itu "tidak perlu" dan "semata untuk popularitas" sang bekas perdana menteri.
Hal lain yang juga dipertanyakan Mahathir dan menjadi kegelisahan besar Singapura adalah soal kesepakatan 1962 mengenai suplai air mentah. Singapura segera mengingatkan tetangganya itu agar menghormati kesepakatan yang juga didaftarkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut.
Rencana Mahathir membatalkan proyek kereta cepat (HSR) itu awalnya disampaikan dalam konferensi pers pada 28 Mei lalu. Ia menyatakan proyek itu menghabiskan banyak biaya, sementara Malaysia tidak menghasilkan uang sepeser pun dari kesepakatan tersebut. Tak lama setelah pernyataan itu muncul di media, Singapura mengirim nota diplomatik mempertanyakan sikap Kuala Lumpur.
Sinyal berbeda disampaikan Mahathir di sela kunjungannya ke Jepang. "Saat ini kita perlu mengkajinya kembali (proyek HSR). Jika kekurangan dana, kita dapat menunda pelaksanaannya," katanya kepada wartawan di Jepang, pertengahan Juni lalu. Menteri Keuangan Malaysia Lim Guan Eng menambahkan, "Saya yakin Singapura akan mengerti bahwa ini bukan saatnya memulai proyek-proyek berbiaya tinggi, seperti HSR."
Namun Mahathir sadar bahwa proyek itu disepakati dengan konsekuensi ganti rugi atas pembatalannya. "Syarat dan kesepakatan untuk HSR disusun sedemikian rupa sehingga, jika kita memutuskan membatalkan proyek, itu akan menghabiskan banyak uang," ucapnya.
Sinyalemen mengenai konsekuensi itu juga disampaikan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan kepada parlemen, awal Juli lalu. Singapura sudah mengeluarkan biaya lebih dari US$ 250 juta untuk proyek tersebut. Sebesar itulah taksiran kompensasi jika ada pembatalan sepihak. "Bila Malaysia menyebabkan proyek HSR dihentikan, kami akan meminta kompensasi untuk biaya yang dikeluarkan sesuai dengan perjanjian bilateral dan hukum internasional," ujarnya.
Masalah kereta cepat ini juga menjadi salah satu topik bahasan Saifuddin Abdullah saat bertemu dengan Vivian Balakrishnan di Singapura, Senin pekan lalu. "Saya berusaha sebaik-baiknya untuk menjelaskan situasi saat ini," kata Saifuddin soal hasil pertemuannya itu.
Kedua negara punya kerja sama proyek lain yang lebih kecil, yaitu Johor-Singapore Rapid Transit System (RTS). Lintasan proyek kereta ini membentang sepanjang 4 kilometer dari Bukit Chagar Station di Johor Bahru hingga Woodlands North. Kereta RTS, yang akan beroperasi penuh pada 2024, memiliki kapasitas 10 ribu penumpang per jam sekali jalan.
Proyek tersebut ditandatangani pada awal tahun ini oleh Najib Razak dan Lee Hsien Loong. Berbeda dengan HSR, proyek RTS sudah mendapat persetujuan prinsip dari kabinet Malaysia. "Meski ada penundaan, proyek RTS akan selesai dalam enam tahun pada 2024," kata Menteri Transportasi Malaysia Anthony Loke, Rabu pekan lalu.
Namun pernyataan Mahathir tentang kesepakatan air tampaknya lebih merisaukan negeri jiran itu dibanding mengenai proyek kereta cepat. Menurut Nicholas Fang, Direktur Keamanan dan Urusan Global Singapore Institute of International Affairs, penyebabnya adalah masalah air masih menjadi kelemahan utama Singapura.
Menteri Vivian Balakrishnan saat berbicara di parlemen mengatakan perjanjian tentang air pada 1962 itu "sakral" bagi Singapura. "Ini yang menjelaskan mengapa pemimpin negeri ini mempertanyakan perjanjian tersebut dengan sangat serius," tuturnya.
Nicholas Fang mengutip pernyataan mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, dalam acara air pada 2008 bahwa "setiap kebijakan lain harus tunduk pada keberlangsungan air kita". Singkatnya, air mewakili garis batas strategis bagi Singapura, lebih dari masalah keamanan lain.
Negara bekas koloni Inggris ini memang sangat bergantung pada air dari Malaysia. Hampir setengah dari kebutuhan airnya disuplai tetangganya itu melalui Sungai Johor. Sesuai dengan kesepakatan tahun 1962, yang akan berakhir pada 2061, Singapura berhak mendapat 250 juta galon air mentah setiap hari dengan harga 3 sen per 1.000 galon. Sebagai imbalan, Singapura menjual sebagian air yang sudah diolah ke Malaysia dengan harga 50 sen per 1.000 galon.
Dalam perjanjian, memang ada peluang mengkajinya setiap 25 tahun. "Kesepakatan mengatakan isi perjanjian bisa ditinjau ulang setelah 25 tahun. Jadi kita bisa terus mendiskusikannya," kata Menteri Saifuddin Abdullah.
Balakrishnan mengatakan kepada parlemen Singapura bahwa Malaysia berkesempatan mengkaji kesepakatan itu pada 1987, tapi tak memanfaatkannya. Ia menambahkan, pada 2002, Mahathir Mohamad, saat itu perdana menteri, tidak meminta peninjauan kembali karena setiap revisi juga akan mempengaruhi harga air olahan yang dijual Singapura ke Malaysia.
Media Asia Nikkei menyatakan situasi saat ini seperti déjà vu. Ketika pertama kali memegang jabatan perdana menteri pada 1981-2003, Mahathir membuat hubungan kedua negara itu tegang karena ia menuntut kenaikan harga air mentah tersebut. Najib Razak menyebut hubungan kedua negara pada masa Mahathir itu sebagai era "diplomasi konfrontasi dan retorika berduri".
Menurut Straits Times, Lee Kuan Yew mengenang dalam memoarnya bahwa Malaysia mengancam akan memutus pasokan air setiap kali ada ketidaksepakatan di antara kedua negara. Lee bahkan sampai pernah menyatakan siap mengirim pasukan ke Malaysia jika ada yang mencoba mematikan keran air ke negerinya.
Hubungan bilateral itu berubah setelah Mahathir lengser dan digantikan Abdullah Badawi, lalu Najib Razak. Ketika Mahathir kembali berkantor di Putrajaya, Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong menjadi kepala negara asing pertama yang bertemu dengannya untuk mempertahankan hubungan baik kedua negara.
Kini, Mahathir mempersoalkan hal yang sama. Sikap ini diyakini lebih dilatari pertimbangan ekonomi, meski ada yang mengaitkannya dengan politik dalam negeri Malaysia. "Pemerintah baru perlu menunjukkan kemampuannya menyelesaikan masalah utang sambil menjauhkan diri dari warisan Najib," ucap Rashaad Ali, analis di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Abdul Manan (Straits Times, Reuters, Asia Nikkei, The Independent, Channel News Asia)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo