Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada warna ungu pada jari tangan Pisth Thouchen. Tukang parkir di salah satu ruas jalan di pusat Phnom Penh ini memilih absen dalam pemilihan umum Kamboja, Ahad pekan lalu. Ia tidak mengikuti jejak para perantau di Ibu Kota yang mudik untuk memberikan hak suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Thouchen tak berselera untuk pulang ke Kampong Cham, sekitar 125 kilometer di timur laut Phnom Penh. "Saya memilih atau tidak, Hun Sen tetap menang. Saya tidak takut tidak menggunakan hak suara," katanya kepada Tempo di depan deretan kios dan rumah toko di Phnom Penh, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qadir juga tidak mencontreng. Wartawan senior di Kamboja ini mengungkapkan, ia dan sejumlah koleganya tidak memberikan suara karena menganggap pemilihan legislatif tahun ini palsu. "Saya hanya satu dari jutaan masyarakat Kamboja yang tidak senang pada Komisi Pemilihan Nasional karena pemilihan ini tidak adil," ujarnya kepada Tempo.
Pemerintah menetapkan tiga hari libur nasional, termasuk satu hari sebelum dan sesudah pemilihan, agar warga tak punya alasan tidak ikut serta. Setiap perantau dianjurkan pulang kampung untuk memberikan suara. Bahkan perusahaan dan pabrik diminta menggaji lebih awal para karyawan agar mereka dapat mudik.
Akibatnya, Phnom Penh bak kota mati. Kendaraan yang wira-wiri bisa dihitung dengan jari. Taman Hun Sen, yang biasanya dijejali turis lokal dan mancanegara, tampak kosong. Sebagian besar toko dan rumah makan tutup. Hanya deretan poster kampanye bergambar Perdana Menteri Kamboja Hun Sen yang masih terpampang di pinggir jalan.
Berbeda dengan lima tahun lalu, pemilihan legislatif kali ini diwarnai absennya partai oposisi utama, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP). Mahkamah Agung membubarkan partai besutan Sam Rainsy dan Kem Sokha itu pada November tahun lalu. Presiden CNRP Kem Sokha ditahan sejak September 2017 atas tuduhan makar. Adapun Rainsy tinggal di pengasingan.
Absennya CNRP membuat Partai Rakyat Kamboja (CPP) melenggang tanpa perlawanan. Di tiga tempat pemungutan suara yang dikunjungi Tempo di Phnom Penh dan sekitarnya, CPP menang telak. Partai yang telah mengantarkan Hun Sen berkuasa selama 33 tahun itu menyedot hampir semua suara. Tidak banyak suara yang tersisa bagi 19 partai lain, yang terbilang gurem.
Kemenangan CPP, yang tercatat di urutan bontot pada kertas suara, menjalar ke penjuru Kamboja. Di 25 provinsi, termasuk daerah yang pernah menjadi basis pendukung oposisi, perolehan suara CPP melejit jauh melampaui partai-partai lain. Di Kampong Cham, satu dari lima provinsi yang dimenangi CNRP pada Pemilihan Umum 2013, misalnya, CPP bertengger di posisi puncak.
Komisi Pemilihan Nasional baru mengumumkan hasil akhir penghitungan suara pada 15 Agustus nanti. Namun, dua hari setelah pemilihan, CPP telah menyatakan diri sebagai pemenang. Bahkan CPP mengklaim seluruh 125 kursi parlemen, yang menjadikannya partai tunggal yang berkuasa. "Kami memperoleh kemenangan mutlak," kata juru bicara CPP, Sok Eysan, seperti dikutip Khmer Times.
Sejak CNRP dibubarkan, para pentolannya menempuh cara pamungkas untuk meredam langkah Hun Sen kembali berkuasa, yaitu menyerukan pemboikotan pemilihan umum. Mereka melancarkan kampanye "jari bersih" agar pemilih absen dari pemungutan suara sehingga jari mereka tidak ternoda oleh tinta ungu-mirip gerakan golongan putih atau golput di Indonesia.
Dari pengasingan, para tokoh CNRP mengkampanyekan "jari bersih" lewat berbagai media sosial. Sebagian di antaranya bahkan harus kucing-kucingan dengan aparat, yang menjatuhkan denda kepada mereka atas tuduhan menghasut rakyat. "Saya tidak bisa tinggal di rumah, karena saya bakal ditangkap," ucap seorang politikus CNRP, Chea Chiv, kepada The Washington Post. Chiv dikenai denda 10 juta riel atau sekitar Rp 35 juta.
Para pemimpin CNRP berharap tingkat partisipasi pemilih merosot tajam karena aksi boikot. Dengan begitu, legitimasi kemenangan CPP dan Hun Sen bisa digugat serta dipertanyakan. "Rakyat Kamboja telah lama menginginkan perubahan," ujar Wakil Presiden CNRP Mu Sochua di sela kunjungannya ke Jakarta bersama putri Kem Sokha, Kem Monovithya, Senin pekan lalu.
Namun kampanye "jari bersih" rupanya kurang bertaji. Komisi Pemilihan mencatat tingkat partisipasi mencapai 80 persen dari 8 juta pemilih. Surat suara yang tidak sah dan rusak, yang menurut oposisi dan analis mewakili protes terhadap pemilihan, hanya 8,4 persen.
Di tempat pemungutan suara, mereka yang menentang CPP dan Hun Sen melampiaskan kekecewaan pada kertas suara. Ada pemilih yang memberi tanda silang. Sebagian lainnya menggambar logo CNRP lalu mencontrengnya. Ada pula yang menulis kata "TIDAK" dalam bahasa Khmer.
Pemilihan memang berjalan damai, tapi bukan tanpa masalah. Soun Chamroeun, politikus CNRP di Phnom Penh, mengatakan orang-orang berubah cuek kepada mereka yang berjari bersih. "Orang yang tidak memilih dikucilkan. Mereka dipandang sinis," tuturnya kepada Tempo.
Menurut Qadir, suasana seusai pemilihan menjadi sensitif karena setiap orang saling menaruh curiga dan melirik jejak jari ungu. Sejumlah desa bahkan punya daftar orang yang memilih golput. "Ada yang memonitor mereka," kata Qadir. "Mereka dikelompokkan sebagai orang-orang oposisi atau partai hitam."
Hun Sen sebenarnya telah mengamankan kursi perdana menteri untuk lima tahun ke depan sejak CNRP dibubarkan. Manuver itu menjadikannya perdana menteri terawet sejagat. Tanpa CNRP, yang hampir mengimbangi kekuatan CPP dalam pemilihan umum nasional 2013 dan regional 2017, Hun Sen dijamin menang. "Tapi ketakutan terbesar Hun Sen bukan kekalahan," tulis Asia Times.
Hun Sen, 65 tahun, dikabarkan waswas terhadap minimnya jumlah pemilih. Sebab, banyak negara yang telah membantu mendanai Kamboja sejak 1990-an bakal mempertanyakan kredibilitas pemilihan dan legitimasi pemerintah terpilih. "Situasi ini dapat memicu jatuhnya sanksi ekonomi dari negara-negara lain," begitu diberitakan Asia Times.
Untuk memastikan mayoritas pemilih memberikan suara, Hun Sen menempuh segala cara. "Pejabat CPP datang ke desa-desa, memberi tahu orang-orang bahwa jika kami tidak ikut pemilihan, pemerintah akan menyita tanah dan rumah kami," kata seorang pemilih asal Provinsi Banteay Meanchey yang bekerja di Bangkok. Diperkirakan ada satu juta warga Kamboja di Thailand.
Upaya Hun Sen melanggengkan kekuasaan terbilang sistematis. Selain sukses membubarkan CNRP lewat Mahkamah Agung dan memenjarakan pemimpinnya, Hun Sen melarang 118 pengurus senior CNRP, termasuk Mu Sochua, melakukan aktivitas politik selama lima tahun. Dia juga mengerahkan pejabat militer dan polisi senior dalam kampanye untuk kemenangan CPP.
Cara lain adalah memunculkan partai kecil. Banyak di antaranya yang tidak diketahui pemilih karena baru terbentuk. Reaksmey Khemara, misalnya, adalah partai yang tiga bulan lalu belum ada. Menurut pemerintah, makin banyak partai, makin demokratis pemilihan umum. Namun kubu oposisi menuding banyak partai gurem yang pembentukannya didanai CPP agar pemilihan umum lebih absah.
"Pemilihan umum telah dicurangi sejak awal, termasuk penentuan sembilan pemimpin Komisi Pemilihan oleh CPP. Ini melanggar konstitusi," kata Mu Sochua.
Kem Monovithya, yang mengasingkan diri ke Amerika Serikat, menganggap demokrasi di Kamboja telah mati. "Kami akan terus menggalang dukungan internasional untuk menolak keabsahan pemerintah hasil pemilihan umum."
Hun Sen selalu konsisten dengan alasannya membubarkan CNRP. Dalam pertemuannya dengan tim pemantau internasional dan media asing, sehari sebelum pemilihan, bekas komandan Khmer Merah ini menilai partai oposisi tersebut terbukti telah berkolusi dengan negara lain untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. Karena itu, kata Hun Sen, CNRP kudu dibubarkan.
Di Phnom Penh, Tempo sempat menyusuri jalanan kota dengan tuk-tuk. Sopir becak motor khas Kamboja itu rupanya memilih CPP. Terlihat warna ungu pada ujung ibu jarinya, tanda ia ikut pemilihan. "Saya memilih partai Hun Sen karena, saya memilihnya atau tidak, partai itu tetap akan menang," ucapnya.
Mahardika Satria Hadi, Suci Sekarwati (Phnom Penh), (Channel News Asia, Scmp, Voa Khmer, Reuters)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo