Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dhoni Zustiyantoro
Dosen Sastra Jawa Universitas Negeri Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah kata bisa menguatkan atau-sebaliknya-meruntuhkan sebuah rezim. Dari kata itu, orang tergerak bertindak karena meyakini ada hal yang mesti diperjuangkan atau telah melampaui batas kewajaran sehingga perlu dilawan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah negeri ini terus merekam kata lawan sebagai musuh sekaligus teman akrab bagi setiap rezim. Kata itu dikekang selama 32 tahun rezim Soeharto. Kita mengingat sebaris kalimat dalam puisi Wiji Thukul yang acap dikutip. Puisi berjudul "Peringatan" itu dibuat di Solo pada 1986. Di baris terakhir tertulis: "hanya ada satu kata: lawan!" Kita terus mengingatnya karena ia menjadi mantra bagi masyarakat dan mahasiswa aktivis yang berjuang. Kalimat itu tak hanya diucapkan, tapi terus direproduksi lewat spanduk, poster, dan orasi. Lewat Wiji Thukul, perlawanan terkobarkan melalui karya sastra. Puisi menjadi medium untuk mengekalkan spirit perlawanan karena kebebasan berekspresi saat itu adalah hal mewah. Kata lawan lantas menjadi oposisi pemerintah: perlawanan apa pun, sekalipun hanya lewat tulisan, berkumpul dan berdiskusi, atau menonton tayangan propaganda, bisa berbuntut panjang.
Saat menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta, Presiden Joko Widodo mengaku senang pada puisi itu. Ia pernah membacanya dan kepada wartawan mengaku menyukainya. Kini, dua dekade setelah Reformasi, mantra itu untuk pertama kali masuk gedung wakil rakyat di Senayan lewat pidato Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo pada pembukaan sidang paripurna, 18 Mei 2018, terkait dengan maraknya aksi terorisme. Dia mengutip utuh kalimat penyair yang hilang sejak 1998 itu sebagai judul pidato. Pada layar besar di atas podium pun tertulis "LAWAN!" dalam ukuran besar. Kalimat yang dulu ampuh menggulingkan rezim itu kini milik penguasa.
Kita juga mengingat lawan menjadi musuh bersama ketika-setidaknya menurut sejarah versi Orde Baru-rakyat bersama negara melawan Partai Komunis Indonesia, 1965-1966. Setelah masa itu, ketika jurnalisme dibungkam, muncul ajakan untuk bersastra. "Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara" adalah ungkapan masyhur yang menjadi judul buku Seno Gumira Ajidarma, sastrawan yang kini Rektor Institut Kesenian Jakarta. "Kebenaran bisa sampai apa pun bentuknya…. Dalam bentuk fakta maupun fiksi, kebenaran adalah kebenaran-yang getarannya bisa dirasakan setiap orang" (halaman 111). Lagi-lagi, sastra diajak-untuk tidak menyebut "dibebani" atau "dipaksa"-menjadi medium perlawanan ketika produk jurnalistik dipandang tak mampu mewadahi obyektivitas, memihak yang lemah, dan mendorong perbaikan.
Pada Mei 1998, rakyat secara bersama melawan keotoriteran Orde Baru, meski harus membayar mahal karena kasus yang rumit itu tak kunjung menemukan jalan terang hingga kini. Namun, secara hermeneutis, pelbagai realitas tersebut sesungguhnya menunjukkan ada sisi obyektivitas yang hendak diperjuangkan oleh lawan ketika rezim sewenang-wenang dan "kanan". Karena itulah lawan lantas identik dengan "kiri". Kamus Besar Bahasa Indonesia V memaknakan lawan sebagai "musuh; seteru".
Rusuh narapidana terorisme di Rumah Tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, 8 Mei 2018, menjadikan warganet ramai-ramai menggunakan tanda pagar #LawanTeror, #LawanTerorisme, dan #LawanPelakuTeror. Tanda pagar itu terus menjadi topik hangat hingga kasus pengeboman berikutnya yang terjadi di sejumlah wilayah. Media massa pun tak ingin ketinggalan. Mereka menurunkan laporan yang mengajak publik membangun optimisme dan menjadikan teroris sebagai musuh bersama. Koran Tempo edisi 14 Mei 2018 menulis judul besar hanya satu kata di halaman muka: "LAWAN!"
Bahasa Jawa mengenal lawan sebagai satru atau mungsuh. Cerita berbahasa Jawa acap menyebut "satru munggweng cangklakan" (musuh dalam ketiak) bagi siapa pun yang disebut sebagai "musuh dalam selimut". Sebuah buku cerita berbahasa Jawa yang mengisahkan musuh dari kalangan sendiri terbit pada masa penjajahan. Buku berjudul Moengsoeh Moengging Tjangklakan setebal 62 halaman itu karya Mw. Asmawinangoen dan diterbitkan Bale Pustaka pada 1926.
Kontestasi politik membutuhkan lawan bersama untuk menggiring suara massa. Kita merasa miris lantaran perhelatan politik menjadi medan pertarungan yang tak dibarengi kualitas retorika. Penciptaan lawan bersama menjadi cara paling ampuh, juga cepat dan murah, untuk meraih dukungan. Majalah Tempo edisi 7-13 Mei 2018 menulis bahwa politik adu massa amat berbahaya karena mengedepankan logika otot dan psikologi gerombolan. Semestinya demokrasi yang sehat diisi dengan kontestasi dan persuasi gagasan.
Kita menghabiskan energi dan membayar mahal untuk lawan. Namun, tanpa lawan, tak ada karya sastra dan bacaan yang menggugah. Tanpa lawan, mustahil muncul Kemerdekaan 1945, Reformasi 1998, usaha bersama melawan teroris, juga media massa yang obyektif.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo