Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joseph Aoun memanggil ahli hukum Nawaf Salam pada Senin, 13 Januari 2025 untuk menunjuknya sebagai perdana menteri Lebanon, setelah mayoritas anggota parlemen Lebanon mencalonkannya untuk jabatan tersebut, Reuters melaporkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salam memenangi dukungan dari 84 dari 128 anggota parlemen Lebanon, di antaranya adalah faksi-faksi Kristen dan Druze terkemuka serta anggota parlemen Muslim Sunni terkemuka, termasuk sekutu-sekutu Hizbullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Hizbullah dan sekutunya, Gerakan Amal Syiah, yang menguasai semua kursi yang disediakan untuk Muslim Syiah di parlemen, tidak mencalonkan seorang pun. Hizbullah menuduh lawan-lawannya berusaha menyingkirkan kelompok tersebut.
Salam memiliki karier politik yang panjang di Lebanon dan juga memiliki profil internasional yang kuat, dimana saat ini ia menjabat sebagai Presiden Mahkamah Internasional (ICJ), pengadilan tertinggi PBB yang baru-baru ini memutuskan bahwa Israel secara masuk akal melakukan genosida di Gaza.
Salam akan ditugaskan untuk membentuk pemerintahan baru, yang, mengingat situasi ekonomi Lebanon yang sangat buruk dan kehancuran yang ditimbulkan oleh Israel di negara itu, akan menghadapi tantangan yang signifikan.
Berikut kehidupan dan karier Hakim Nawaf Salam, seperti dilansir The New Arab.
Sebuah keluarga politik
Salam lahir pada 15 Desember 1953 di Beirut dari sebuah keluarga politik yang terkenal. Ayahnya, Abdullah Salam, adalah salah satu pendiri Middle East Airlines, maskapai penerbangan nasional Lebanon.
Karier akademis Salam dimulai dengan meraih gelar sarjana Ilmu Sosial dari School of Graduate Studies di Paris pada 1974, diikuti dengan gelar doktor di bidang sejarah dari Universitas Sorbonne di Paris pada 1979.
Ia kemudian belajar hukum di Universitas Beirut pada 1984, dan meraih gelar Master of Law dari Harvard Law School pada 1991.
Salam menikah dengan Sahar Baassiri, seorang jurnalis dan duta besar Lebanon untuk UNESCO, dan memiliki dua putra, Abdullah dan Marwan.
Kegiatan politik keluarganya kembali ke masa pemerintahan Ottoman di Lebanon, di mana pada masa itu kakeknya mendirikan Gerakan Reformasi di Beirut, yang menentang imperialisme Turki di Timur Tengah.
Pamannya, Saeb Salam, adalah perdana menteri negara tersebut empat kali antara 1952 dan 1973, sementara, baru-baru ini, sepupunya, Tammam Salam, menjadi perdana menteri dari tahun 2014-2016.
Politisi dan diplomat
Setelah karier bergengsi sebagai pengajar di Harvard, Columbia, dan Yale, Salam pertama kali terjun ke dunia politik di Lebanon pada tahun 1999, ketika ia terpilih sebagai anggota Kantor Eksekutif Dewan Ekonomi dan Sosial, sebuah jabatan yang ia pegang hingga 2002.
Salam mendukung Revolusi Cedar, yang merupakan pemberontakan rakyat Lebanon melawan pendudukan militer Suriah di negara itu. Setelah pasukan Suriah meninggalkan negara itu, ia terlibat dalam berbagai badan pemerintah yang bertujuan untuk mereformasi hukum pemilu.
Ia kemudian pindah ke dunia diplomasi, dengan ditunjuk sebagai Duta Besar dan Perwakilan Tetap Lebanon untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa dan perwakilannya di Dewan Keamanan antara 2007 dan 2017.
Salam juga merupakan Perwakilan Lebanon untuk Dewan Ekonomi dan Sosial PBB pada 2016 dan 2018.
Nama Salam muncul sebagai kandidat teknokratik untuk perdana menteri selama pemberontakan populer Lebanon pada Oktober 2019, dan setelah ledakan pelabuhan Beirut pada Agustus 2020.
Di dalam negeri, ia dikenal karena penentangannya terhadap Hizbullah sebagai seorang reformis yang independen, yang bersikeras membatasi hak untuk menggunakan senjata kepada militer nasional dan badan-badan keamanan yang hanya bertanggung jawab untuk melindungi wilayah Lebanon.
Di internasional, ia dikenal dan sangat dihormati di kalangan pemimpin Arab dan Eropa.
Selama krisis kepresidenan Lebanon, yang membuat negara ini tidak memiliki presiden sejak Oktober 2022 hingga minggu lalu, Salam mencalonkan diri sebagai perdana menteri sementara, namun kalah dari Najib Mikati setelah mendapat veto dari Hizbullah dan blok politiknya.
Presiden ICJ
Bersamaan dengan karier politik dan diplomatiknya, Salam juga membangun karir hukum yang sukses, dengan berpraktik sebagai pengacara di Takla Law Firm dan mengajar hukum internasional dan hubungan internasional di American University of Beirut.
Pada 2018, Salam pertama kali ditunjuk sebagai hakim ICJ dari Lebanon, yang kemudian diangkat sebagai presiden pengadilan tertinggi PBB tersebut pada 2024.
Setelah diangkat sebagai presiden ICJ, Salam dijuluki "anti-Israel" karena kritik-kritiknya sebelumnya terhadap pendudukan Israel yang ilegal dan brutal di wilayah Palestina.
Beberapa bulan setelah pengangkatannya, Israel memulai perang kejamnya di Gaza, menghancurkan sebagian besar daerah kantong tersebut dan menewaskan 46.584 warga Palestina, yang sebagian besar adalah warga sipil.
Setelah Afrika Selatan mengajukan kasus genosida dalam perang Israel di Gaza, pengadilan yang dipimpin oleh Salam memutuskan pada Januari 2024 bahwa Israel melakukan genosida yang masuk akal di wilayah Palestina.
Selama masa jabatan Salam, ICJ juga memutuskan pada Juli 2024 bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina, termasuk Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Jalur Gaza, adalah tindakan yang melanggar hukum internasional.