DALAM kamp itu seorang anak berumur 16 tahun terdengar menyanyi, Volga, Volga, Kalinka Maya. Sebuah lagu Rusia: suara rindu, barangkali, ketika orang begitu jauh begitu terpencil. Tapi komandan kamp menuduh: si anak menyanyi untuk membujuk para penjaga kamp Plaszow itu agar terpikat kepada komunisme. Remaja itu harus digantung. Tapi ia akhirnya tak digantung. Di ruangan yang sepi itu, di depan sang komandan, di depan algojo, anak itu, Haubenstock namanya, memprotes. Saya bukan komunis, Herr Komandant, saya benci komunisme. Itu cuma lagu biasa. Ada seorang hukuman lain berdiri di sana, menanti giliran untuk dieksekusi. Ada sejumlah penghuni kamp yang hadir, menyaksikan. Tapi ruangan tetap sunyi. Tak ada jawab dari sang komandan. Si algojo tetap menyeret Haubenstock berdiri di atas kursi. Simpul tali gantungan dilingkarkan di lehernya. Tapi ketika kursi itu ditendang -- agar tubuh anak itu terjela dan merihnya tercekik -- tali di tengkuk Haubenstock itu putus. Anak muda itu terjatuh. Ia tak mati, hanya tersengal-sengal. Ia merangkak. Ia merangkak ke arah Pak Komandan, opsir Jerman yang bertubuh gempal itu, menyembah, memegang mata kaki yang kuasa itu, meminta ampun. Amon Goeth, perwira pasukan SS yang menguasai kamp Plaszow itu, hanya diam. Ada sejenak suara mendesis rendah terdengar di ruang itu, dan Goeth mencabut pistolnya dari holster, menyepak anak itu agar menjauh sedikit, lalu menembak kepalanya. Ubun- ubun Haubenstock tembus. Otak, darah, serpihan jangat, berpencar. Kenapa ada orang macam Amon Goeth di dunia, saya tak tahu. Tapi pembunuh itu hadir, jelas, dan tak cuma melakukan satu kali kebengisan. Ia sosok yang tak terlupakan dalam kisah nyata yang diceritakan dengan rinci oleh Thomas Keneally: Schindler's Ark. Buku ini, (difilmkan oleh Steven Spielberg sebagai Schindler's List), sebenarnya ingin bercerita tentang perbuatan baik: riwayat Oskar Schindler, seorang industrialis Jerman, yang mempertaruhkan dirinya untuk menyelamatkan beberapa ratus orang Yahudi yang disekap di kamp di Plaszow, di dekat Kota Cracow, Polandia. Tapi, seperti dikatakan Keneally sendiri, memang "riskan untuk harus menulis tentang kebajikan". It is a risky enterprise to have to write of virtue. Maka Schindler's Ark akhirnya sebuah dunia yang mencekam, sebuah lanskap, di mana iblis, atau sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai iblis, beroperasi, di dalam manusia, di antara manusia, terhadap manusia. Goeth salah satu contohnya. Tentu, ini cerita tentang holocaust lagi: satu dari sederet kisah pembantaian orang Yahudi di Eropa di masa Hitler yang begitu sering diedarkan, hingga kadang mengesankan bahwa hanya orang Yahudi yang punya hak khusus sebagai sang Korban, dan sebab itu terpilih untuk jadi Hakim. Menachem Begin, mendiang pemimpin Partai Likud itu, pernah bercerita, ia melihat sendiri ayah-ibunya dibunuh Nazi, ketika ia berdiri di tepi sebuah sungai yang merah oleh darah 500 penduduk Yahudi. Dengan itu ia ingin mengatakan bahwa jika ia keras dan semena-mena terhadap orang Arab (meskipun kemudian terbukti ceritanya itu bohong, sebab menurut seorang penulis Israel, kakak Menachem sendiri mengatakan bahwa adiknya tak ada ketika orang tua mereka dibunuh), ia punya lisensi khusus. Ia bagian permanen dari Korban. Tapi di dalam sejarah, "korban" bukanlah sesuatu dengan "K". Bukan sesuatu yang kolektif. Bukan suatu ciri tetap. Korban adalah korban pada suatu momen, karena itu menjadi korban adalah sesuatu yang akut, satu-satu. Teraniaya adalah bentuk tertinggi dari kesendirian. Haubenstock dijebloskan memang karena ia berdarah Yahudi, tapi takutnya, sakit di lehernya, lubang peluru di ubun-ubunnya, adalah penderitaan orang seorang. Dengan demikian ia seperti Anda, seperti saya: pada akhirnya, di depan Maut, berdiri tanpa puak, tanpa bala. Perbuatan baik pun pada akhirnya punya nilai karena dilakukan dengan proses badan dan batin yang sendiri. Oskar Schindler bukanlah sebuah perkecualian dari "kaum" Jerman. Tindakannya tak bisa dihubungkan, secara positif ataupun negatif, dengan apa yang disebutnya, "sebuah grup yang menamakan dirinya Jerman". Juga Goeth. Juga Goeth yang menyebut diri seorang "Literat", yang tahu sastra, Goeth yang bisa sentimentil ketika ia di tempat tugas teringat akan anak-anaknya, tapi juga Goeth yang dengan enak menembak kepala seorang anak yang dosanya hanya menyanyi: ia juga tak bisa dikekalkan dalam sebuah kategori. Haubenstock, Schindler, Goeth: Anda dan saya seperti mereka. Bukan contoh-contoh tentang Yahudi, Jerman, Arab, Indonesia, melainkan momen-momen sebagai korban, kebajikan, iblis.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini