SUASANA jadi lebih hidup karena air dan listrik kembali
mengalir. Kawasan Al Hamra di Beirut Barat mengawali kegiatan
malam hari dengan pembukaan: bar Modka, bioskop Monte Carlo,
Hotel Cederland. Karena hotel itu sebelumnya dimanfaatkan
sebagai rumahsakit, petugasnya minta maaf. "Kamar bau obat dan
belum sempat dibersihkan," kata Fadia, petugas di situ. Malah,
Hotel Bristol sampai kini masih berfungsi sebagai rumahsakit. Di
depan toko-toko di Al Hamra, Raas Beirut dan Syayyah
bermunculan para pedagang perlente yang memilih berjualan di
kaki lima saja karena kedai mereka rusak berat.
Pemukiman bekas pengungsi Palestina di Mazraah, Shabra, Fakhani
sudah hancur lebur, begitu pula kawasan Museum dan stadion balap
kuda. Tapi masjid Jamal Abdul Nasser markas kelompok Murabithun
selamat, mungkin karena dikawal tank-tank penangkis udara.
Bank-bank masih segan membuka pintu tapi penjual valuta asing
sibuk seperti biasa. "Zaman perang pun saya buka bisnis," tutur
Muhammad seraya mengepulkan asap rokok Marlboro. Dengan
keuntungan 5% hasilnya lumayan, lagi pula kurs lira (mata uang
Libanon) menaik, dari US$ 1 = 5,10 lira menjadi 4,6 lira. (1
lira = Rp 150).
Sebaliknya harga bensin di Beirut Barat 5 lira per liter, itu
pun belum tentu ada. Sedangkan di Beirut Timur 2,75 lira per
liter, dibandingkan dengan sebelum perang hanya 1,50 per liter.
Air sohat semacam aqua, 2 lira per liter, turun dari 7 lira
ketika perang berkecamuk. Tidak heran bila mobil-mobil yang
bersiliweran dari Beirut Barat ke Beirut Timur penuh dengan
jeriken, berisi bensin atau air. Tak urung tarif taksi
meningkat. Dulu ke Beirut Timur cuma 10 lira, sekarang 30 lira.
Mobil angkutan yang lebih murah, bisa saja menurunkan penumpang
bila ada tawaran carter yang tinggi.
Di sana-sini nampak tentara Libanon membersihkan jalan dari
puing dan gundukan tanah. Kompleks Universitas Arab hancur, tapi
pelabuhan udara internasional Beirut mulai dibuka Kamis. Beirut
Barat nampaknya sudah berhasil ditangani tentara dan polisi
Libanon, meski pasukan milisi golongan Islam masih juga berperan
di Beirut Barat seperti halnya pasukan Phalangis di Beirut
Timur.
Tugas membenahi pasukan sukarela alias milisi jelas tidak mudah,
meski semua pihak setuju bila pasukan masing-masing bergabung
saja dengan tentara nasional Libanon. Tapi kalau Israel
menghendaki Murabithun keluar dari Beirut Barat, misalnya,
pemimpinnya Ibrahim Qaleilat keberatan. "Ini negeri saya dan
saya mempertahankannya," ujar Ibrahim yang tidak alpa
menginstruksikan pasukannya untuk menahan diri.
Bekas PM Libanon Saib Salam, dalam wawancara TEMPO, pertama-tama
mengutamakan juga betapa peliknya penyelesaian soal pasukan
milisi itu. Tentang Presiden terpilih Bashir Gemayel, ia
berkata, "Saya tidak akan menolak dia mentah-mentah. Jika ia
benar-benar tampil sebagai Presiden yang dikehendaki,
mementingkan semua golongan rakyat yang bernaung di negeri ini,
saya akan mendukungnya," Salam berbicara di rumahnya di kawasan
Beirut Barat.
Berita tentang Gemayel amat menonjol di media massa Libanon,
bahkan melebihi berita tentang evakuasi PLO. Khususnya koran dan
majaah golongan Kristen penuh sanjung puji, sedangkan media
Islam lebih membatasi diri. Apa pun penilaian tentang Gemayel,
tiap golongan di Libanon terutama berharap ia dapat mencegah
timbulnya kembali perang saudara antara sesama bangsa Libanon.
"Kami ingin hal itu tidak terjadi lagi," ujar Saib Salam.
Sementara lagu-lagu perjuangan Palestina masih disenandungkan
dari balik tembok yang hancur di Beirut Barat, bayangan
ketakutan tergantung berat terutama di wajah anak-anak, dan
kaum wanita. "Anda bisa saja ditembak tanpa ada yang mengusut
siapa pelakunya," kata Muhammad, pedagang valuta itu. Ia mungkin
benar. Koran-koran Libanon sampai hari ini masih mengiklankan
baju antipeluru dengan pelbagai keistimewaannya dan bisa dibeli
di mana saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini