MANA yang sebab dan mana yang akibat, tidak lagi jelas bila
diamati gelagat suku bunga di Amerika Serikat belakangan ini.
Dunia dibuatnya tidak menentu. Padahal perilaku suku bunga
sebenarnya merupakan pencerminan perasaan tidak pasti mengenai
perkembangan ekonomi dunia.
Suku bunga memang bukan sekedar angka. Tetapi tidak jarang
perasaan manusia bisa terperangkap oleh angka-angka. Tingkat
suku bunga nominal, sebagaimana yang bisa diamati orang,
sebenarnya merupakan gabungan dari tingkat suku bunga riil
ditambah dengan segala macam premi untuk risiko, termasuk
tingkat inflasi yang diantisipir. Faktor premi inilah
persoalannya.
Memang tidak dapat dihindarkan bahwa aspek-aspek psikologis ada
dikandung oleh suku bunga, karena fungsi dari suku bunga itu
sendiri. Suku bunga merupakan penghubung antara pendapatan dan
modal ia menetapkan nilai modal dari pendapatan di masa depan.
Ditinjau dari segi alokasi sumber-sumber eknonomi, suku bunga
merupakan harga pertukaran antara barang di masa kini dan di
masa depan. Secara lebih umum, ia menerjemahkan masa depan ke
masa kini.
Semakin tidak menentu masa depan itu semakin tinggi pula premi
yang dikandung oleh tingkat suku bunga nominal. Tampaknya ada
kesepakatan bahwa suku bunga riil yang dianggap wajar berkisar
antara 5 sampai 6 persen. Walaupun menurut gurunya, Ining
Fisher, tingkat suku bunga ditentukan oleh ketidaksabaran
membelanjakan pendapatan dan oleh peluang yang ada untuk
menginvestasikannya. Faktor-faktor penentu ini jelas dipengaruhi
oleh persepsi mengenai risiko.
Namun, bila seperti di Amerika Serikat akhir tahun 1980 elemen
premi yang dikandung oleh suku bunga (nominal) mencapai 2 kali
suku bunga riil yang dianggap wajar, keadaannya sebetulnya sudah
tidak wajar. Terutama di Amerika Serikat di mana secara historis
tingkat suku bunga relatif rendah. Walaupun keadaannya tidak
wajar, tetapi ia bisa diterangkan oleh psikologi inflasi yang
tampaknya telah membudaya belakangan ini. Di banyak negara
masyarakat tidak percaya bahwa tingkat inflasi bisa dikembalikan
secara besar-besaran yang diamati di tahun 1960-an.
September 1979, tepat tiga tahun lalu otoritas moneter Amerika
Serikat (Federal Reserve System) secara tegas menyatakan perang
melawan inflasi. Sebulan kemudian secara resmi diterapkan teknik
pengendalian moneter yang baru. Sebelumnya, fokus kebijaksanaan
diletakkan pada usaha mempengaruhi suku bunga dengan harapan
dapat ditekan pernnintaan akan kredit. Metode yang baru
memberikan tekanan pada pengawasan atas cadangan sektor
perbankan sebagai alat mengawasi suplai uang. Kebijaksanaan itu
ternyata mengakibatkan lonjakan dramatis dalam tingkat suku
bunga, sementara inflasi tetap tidak dapat- dikekang.
Selama 1980 dan 1981 gerakan suku bunga sangat tidak menentu dan
mencapai tingkat historis yang tinggi. Apa yang disebut Federal
Funds Rate sejak September 1979 meningkat dari 11 persen menjadi
18 persen (April 1980), turun sementara menjadi 10 persen
(Agustus 1980) untuk meningkat kembali menjadi 19 persen
(Desember 1980), menurun sampai 15 persen (Maret 1981) untuk
kemudian meningkat menjadi 19 persen kembali (Juli 1981), dan
bergerak turun pada Desember 1981 mencapai titik terendah baru
(12 persen), meningkat lagi untuk kemudian menurun secara agak
drastis baru-baru ini. Banyak kalangan masih menyangsikan apakah
penurunan suku bunga sekarang ini merupakan kecenderungan yang
cukup permanen.
Dalam tiga tahun terakhir ini orang telah dibiasakan untuk tidak
berpikir optimistis, kecuali para spekulan yang memang harus
percaya bahwa ada keuntungan yang bisa diperoleh dari
ketidakpastian ini. Apa pun sikap yang akan diambil, pesimistis
atau optimistis, dampak internasional dari gerakan suku bunga
Amerika Serikat terasa di mana-mana dan merugikan siapa saja.
Investasi produktif secara global mengalami kemacetan sementara
resesi berkesinambungan. Dampaknya terhadap perilaku nilai tukar
berbagai mata uang semakin menyulitkan, dan semakin mengacaukan
perkembangan moneter internasional.
Sebenarnya sumber ketidakpastian telah diciptakan 11 tahun lalu
sewaktu sistem Bretton Woods ditinggalkan. Sejak itu ekonomi
ekonomi nasional kehilangan disiplin dalam pengelolaan
moneternya. Kenaikan harga minyak oleh OPEC di tahun 1973/74
sebenarnya cuma membantu menyulut api inflasi dunia dan
ditanggapi justru dengan kebijaksanaan moneter yang ekspansif di
negara-negara konsumen.
Alhasil, negara kesejahteraan (welfarestate) di negara-negara
industri, yang penuh kemanjaan itu dan dielu-elukan oleh
negara-negara berkembang, dipertahankan atas ongkos orang lain.
Ironisnya, oleh siapa lagi bila bukan atas beban negara-negara
berkembang, melalui tindakan proteksionisme, ekspor inflasi, dan
gerakan-gerakan dari nilai tukar mata uang.
Pemerintah-pemerintah konservatif yang muncul kembali sejak itu,
Thatcher dan Reagan, belum pasti akan berhasil membalikkan
kecenderungan itu.
Walaupun kini inflasi di Amerika Serikat berhasil ditekan,
tetapi antisipasi inflasi yang tinggi ternyata masih tetap kuat.
"Stabilitas" harga minyak tampaknya tidak cukup untuk
menghapuskan psikologi inflasi ini. Pada saat ini, apa pun
keputusan OPEC, tidak akan banyak berarti bagi perkembangan
dalam jangka pendek. Sebab, kalaupun OPEC dipaksa untuk
menstabilkan dan menurunkan harga minyak oleh keadaan pasar,
ketidakstabilan moneter internasional merupakan faktor yang
tetap mengganggu.
Kini masih sulit untuk dapat diperkirakan arah perkembangan
ekonomi dunia dalam 18 bulan mendatang. Apabila penurunan suku
bunga di Amerika Serikat baru-baru ini bisa bertahan agak lama,
mungkin keadaan akan membaik. Tetapi waktu yang dibutuhkan untuk
memperlihatkan hasil tidaklah singkat. Karena pengetahuan ini,
masing-masing pengambil keputusan -- individual, perusahaan,
ataupun negara -- tampaknya masih saling menunggu. Risiko, di
dalam benak masing-masing, masih dianggap terlalu besar.
Dibandingkan resesi 1975, ketika negara-negara berkembang telah
memainkan peran sebagai penyelamat ekonomi dunia, keadaan
sekarang memberikan ruang gerak yang sangat sempit bagi
negara-negara ini. Kasus Meksiko, yang kini berada di ambang
kebangkrutan, merupakan peringatan yang sangat konkrit.
Bila demikian, apa yang bisa dilakukan di Indonesia? "Berbenah
diri", rekomendasi yang bukan saja aman tetapi cukup beralasan.
Supaya, apabila ekonomi dunia membaik, kita mampu mengambil
manfaat yang seoptimal mungkin. Tindakan yang harus kita ambil
mungkin tidak populer: liberalisasi ekonomi dan mengeliminir
segala bentuk inefisiensi. Namun bila tidak sekarang kita
bersedia membuat putusan politik ini, kapan lagi peluangnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini