Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Srikandi menantang saddam

As mengirim tentara wanita ke arab saudi. ditempatkan di garis belakang.72% rakyat as setuju tentara wanita bertempur di garis depan. negara-negara industri bakal lebih bergantung pada tentara wanita.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Srikandi Menantang Saddam Dikritik atau tidak, hadirnya tentara wanita di Saudi memang suatu hal yang tak bisa dielakkan. INILAH "perangnya para ibu", kata sementara serdadu Amerika, tenang kehadiran mereka di Arab Saudi untuk menghadapi Saddam Hussein. Pasalnya, sebagian besar surat yang sampai di pangkalan militer AS di Dharan datang dari anak-anak AS pada ibu mereka yang bertugas di kesatuannya. Lepas dari kritik dan pengaruh hadirnya tentara wanita di Saudi (kabar terakhir mengatakan, di Saudi muncul pendapat agar wanita diberi peran lebih bebas dalam masyarakat), angkatan bersenjata AS memang mau tak mau harus mengirimkan tentara wanitanya. "Kesatuan-kesatuan itu dilatih bersama. Jika beberapa anggota tim dari kesatuan itu tak disertakan, jadinya pincang," kata anggota DPR AS, Patricia Schroeder, pendukung integrasi militer AS. Dan dalam Operasi Perisai Gurun inilah militer AS pertama kalinya melibatkan jumlah personel wanita terbesar. Jumlah mereka, sampai pekan lalu, 5.000 Iebih, dari 60.000 semua tentara, yang sudah sampai. Pada pertengahan Oktober nanti, ketika pasukan mencapai kekuatan optimal, direncanakan 11% dari 100.000 serdadu adalah tentara wanita persentase yang sama dengan jumlah tentara wanita dalam seluruh angkatan bersenjata AS kini. Jadi, mereka nanti juga mesti berkelahi melawan tentara Irak bila perang pecah? Ternyata, sebebas-bebasnya negeri Amerika, dan begitu kerasnya perjuangan emansipasi wanita AS, angkatan bersenjatanya masih melarang wanita bertempur di garis depan. Tentara wanita bertugas di bagian medis, pengawasan pesawat, dapur, mengurus pendistribusian air dan persenjataan. Juga sebagai personel di bagian polisi militer dan bagian rohani militer. Bila harus maju ke medan laga, mereka tak akan melakukan tugas tempur, tapi paling sebagai pilot yang menerjunkan pasukan, atau sopir kendaraan logistik. Tak berarti tentara wanita tak dilatih bertempur. Bila dalam menjalankan tugas mereka diserang, mereka pun wajib mempertahankan diri dan membalas. Karena kurikulum pendidikan yang sama antara tentara wanita dan pria itulah, lalu muncul perasaan di antara tentara wanita bahwa kemampuan dan keahlian mereka disia-siakan. "Saya masuk tentara, bukan pramuka," kata Kapten Leola Davis, di Fort Hood, Te-xas. Masyarakat AS sendiri tampaknya mendukung keinginan itu. Setelah invasi AS di Panama -- juga melibatkan tentara wanita -- pengumpulan pendapat New York Times dan jaringan TV AS CBS menunjukkan bahwa 72% rakyat AS setuju tentara wanita ikut bertempur di garis depan. Dukungan itu mungkin juga disebabkan kenyataan bahwa di sekolah-sekolah militer AS, kemampuan tempur tentara wanita sejajar dengan rekan pria mereka. Bahkan ada kalanya tentara wanita tampil lebih baik, tutur Mayor Edward Evans, dari West Point, akademi angkatan darat AS. Tapi penilaian itu memang datang dari pendidikan perang modern, perang yang lebih mempertaruhkan kemampuan otak sehubngan dengan berkembangnya teknologi alat perang. Kunci memenangkan perang modern, "adalah kemampuan membaca layar komputer dan menekan tombol untuk meluncurkan peluru kendali," kata seorang pejabat angkatan laut AS. Dan dalam hal itu, "pria tidak lebih baik daripada wanita." Memang masih ada hal yang bisa menghambat lancarnya kerja sama dalam pertempuran -- hal yang sangat penting -- dengan hadirnya tentara wanita di medan laga. Tapi ini lebih bersifat psikologis, dan masalahnya lebih ada dalam diri pria itu sendiri, yakni adanya sentimen dalam diri lelaki bahwa wajib melindungi rekan wanitanya daripada dirinya sendiri. "Pria tak bakal dapat memperlakukan wanita seperti lelaki," tulis Brian Mitchell, pensiunan kapten angkatan darat AS, dalam bukunya Weak Link: The Feminization of the American Military. Di antara tentara wanita ada juga yang melihat pendapat itu sebagai hambatan tentara wanita terjun ke garis depan. "Melindungi wanita sebelum dirinya sendiri merupakan insting pria. Bakal rumit jika wanita bertempur berdampingan dengan rekan-rekan pria," kata Sersan (Polisi Militer) Elizabeth Hope, yang tahun lalu ikut menyerbu Panama, mencari Jenderal Nonega. Yang menarik, menurut para ahli demografi, negara-negara industri bakal lebih bergantung pada tentara wanita karena jumlah pria yang tertarik menjadi tentara makin berkurang. Jepang, misalnya, sudah menyatakan kekurangan calon anggota Pasukan Pertahanan Diri. Baru-baru ini Tokyo mengumumkan rencana membuka akademi pertahanan nasional untuk kaum hawa. Di Belanda, Belgia, Kanada, Denmark, dan Norwegia, tentara wanita sudah dianggap lazim dan dibolehkan ikut ke garis depan. Jadi, perang di masa depan "perangnya para Srikandi"? Farida Sendjaja (bahan: Newsweek)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus