Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FARIDOON menatap tajam ke arah dua jurnalis Amerika yang masuk ke tokonya. ”Kalian lebih baik pergi dari kota ini, secepatnya,” kata pemuda berusia 21 tahun itu sedikit berbisik. ”Taliban di mana-mana.” Faridoon, dan kebanyakan warga Maidan Shar, kota kecil yang terletak 1,5 kilometer dari Kabul, mulai merasa resah atas kehadiran Taliban.
Dalam dua pekan terakhir, Taliban mulai menguasai wilayah-wilayah sekitar ibu kota Afganistan, Kabul. Mereka tidak lagi bersembunyi. Sambil menenteng senapan laras panjang AK-47s atau pelontar granat roket, mereka melangkah dengan percaya diri. ”Hari ini mereka ada di sini,” ucap Syed Mohammad, pemilik apotek berusia 32 tahun. ”Tak lama lagi mereka masuk Kabul.”
Ucapan Mohammad terbukti. Rabu pekan lalu, di pagi buta, tiga pria berseragam hijau mengenakan rompi penuh bom merangsek masuk penginapan Bakhtar di daerah Shar-e-Naw, Kabul, tempat menginap dan berkumpulnya warga asing serta anggota staf Perserikatan Bangsa-Bangsa. Senapan di tangan mereka terus menyalak, sampai akhirnya 11 orang tewas—enam anggota staf PBB, lima penduduk lokal, plus tiga penyerang itu.
Serangan mendadak selama dua jam tersebut adalah bagian dari rangkaian serangan yang dilancarkan hari itu untuk menggagalkan pelaksanaan pemilihan Presiden Afganistan putaran kedua 7 November mendatang. Staf PBB di Afganistan menjadi sasaran serangan karena dianggap turut membantu menyelenggarakan pemilihan.
Taliban, melalui juru bicaranya, Zabiullah Mujahid, mengaku bertanggung jawab. Selain tempat menginap staf PBB, istana kepresidenan dan salah satu hotel mewah di Kabul, Serena Hotel, tak luput dari serangan. Tak ada korban jiwa di dua tempat itu. Taliban mengimbau warga Afganistan agar tidak mendatangi tempat-tempat pemungutan suara jika tidak ingin terluka. ”Ini adalah serangan pertama kami,” ucap Mujahid tanpa memerinci lebih jauh.
Presiden Hamid Karzai mengutuk serangan yang ia sebut ”tindakan tak manusiawi” ini. Adapun juru bicara PBB, Adrian Edwards, mengatakan akan mengevaluasi dampak serangan tersebut bagi kegiatan mereka di Afganistan. ”Ini insiden sangat serius. Kami belum pernah mengalami (serangan) seperti ini sebelumnya,” tutur Edwards.
Di New York, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon mengatakan bahwa segala bentuk teror, apa pun itu, tidak akan menghalangi mereka untuk menggelar pemilihan Presiden Afganistan putaran kedua yang mempertemukan Presiden Hamid Karzai dan mantan Menteri Luar Negeri Abdullah Abdullah itu. ”Kami tidak akan berhenti untuk melanjutkan misi mulia ini,” ucap Ban.
Serangan berdarah pagi itu menunjukkan betapa rawannya keselamatan warga asing di Kabul. Kini, Taliban dapat dengan mudah melancarkan aksi teror dan serangan di kota yang selama delapan tahun terakhir relatif aman tersebut. Bagi sebagian orang, ibu kota Afganistan kini mulai terasa seperti Bagdad dan itu yang diinginkan oleh Taliban.
Perasaan khawatir mulai menyergap penduduk Kabul. Wardak, aktivis lembaga swadaya masyarakat, mengaku setiap kali akan ke kantor tak lupa memanjatkan doa. Istrinya diminta untuk menaruh Al-Quran di kepalanya dan berdoa agar bisa kembali ke rumah dengan selamat.
Meningkatnya serangan Taliban membuat banyak pihak khawatir, termasuk komandan pasukan gabungan Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Jenderal Stanley McChrystal. Ia pun meminta Presiden Barack Obama segera menambah jumlah tentara Amerika di Afganistan.
Saat ini terdapat 100 ribu lebih tentara internasional di Afganistan, termasuk 68 ribu tentara Amerika. Dalam menjaga keamanan, mereka dibantu oleh 200 ribu tentara dan polisi Afganistan. Secara total kekuatan pasukan gabungan ini jauh mengungguli jumlah pejuang Taliban, yang diperkirakan ada 25 ribu personel, dengan perbandingan 12 : 1.
Menurut McChrystal, penambahan personel pasukan mutlak diperlukan guna menerapkan strategi perang baru, yakni melindungi warga sipil. Selain itu, jumlah pasukan yang besar diharapkan dapat menumpas Taliban, yang selama ini menerapkan strategi perang gerilya. ”Mereka bisa menjadi Taliban hari ini dan menjadi petani keesokan harinya,” ucap McChrystal.
Pekan lalu, Gedung Putih menyatakan bahwa Presiden Barack Obama hampir selesai mengumpulkan informasi tentang bagaimana kelanjutan perang di Afganistan, yang terakhir meminta delapan nyawa tentara Amerika. Banyak kalangan mempertanyakan perlunya penambahan personel.
”Amerika dan sekutunya memiliki jumlah pasukan dan peralatan yang cukup memadai untuk menghancurkan Taliban,” ujar Andrew Bacevich, mantan komandan peleton perang Vietnam yang kini menjadi guru besar hubungan internasional dan sejarah di Universitas Boston. ”Sayangnya, Taliban tidak melakukan perang seperti yang dilakukan pasukan gabungan.”
Ljubomir Stojadinovic, analis perang dan gerilya asal Serbia, mengatakan, kalaupun jumlah pasukan Sekutu ditambah, hal itu malah membuktikan bahwa keberadaan mereka di sana tidak produktif. ”Uni Soviet pernah melakukan hal serupa di Afganistan pada 1980-an, hasilnya mengecewakan.”
Kekuatan pasukan Sekutu lebih dari cukup. Menurut seorang diplomat senior Barat, Taliban sangat memahami kondisi itu. ”Mereka tidak akan menduduki Kabul, wilayah di sekitarnya, atau membentuk Republik Revolusi Afganistan. Mereka sadar perang frontal akan membuat mereka lemah.” Tapi Taliban banyak belajar dari perang Irak: rapuhnya stabilitas ibu kota berdampak psikologis bagi negara secara keseluruhan.
Taliban kini memainkan perang mereka sendiri. Serangan biasanya dilakukan oleh tiga hingga empat orang, yang membuat pasukan koalisi sulit mendeteksi keberadaan mereka. Dengan memasuki Kota Kabul, ”Kami dapat menebar kepanikan dan membuat dukungan rakyat terhadap rezim berkuasa berkurang,” ucap seorang anggota senior Taliban, yang tak mau disebut namanya.
Adapun Mullah Bari Khan, komandan Taliban wilayah Ghazni, mengatakan bahwa kelompoknya berhasil menempatkan beberapa anggotanya di Kabul. Menurut dia, Taliban membagi Kota Kabul menjadi 15 wilayah, dengan masing-masing wilayah memiliki pemimpin. ”Ada yang membawa keluarga agar tidak dicurigai saat mereka mencari anggota baru untuk melancarkan serangan berikutnya,” kata Khan.
Firman Atmakusuma (CNN, Reuters, AP, Newsweek)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo