SEMENTARA korban jiwa terus berjatuhan, presiden Afrika Selatan Pieter Botha tampil dengan gagasan kontroversial, Rabu pekan lalu. Berbicara dalam pertemuan Partai Nasional yang memerintah, di Bloemfontein, Botha menjanjikan pemulihan kewarganegaraan empat juta penduduk kulit hitam di empat "tanah air kesukuan yang merdeka". Keempat "suaka" itu adalah Transkei, Bophuthatswana, Venda, dan Ciskei. Beberapa analis politik di Cape Town memandang jurus ini sebagai perubahan fundamental kebijaksanaan apartheid. Tetapi para tokoh kulit hitam menanggapinya dengan ketus. "Setahu saya, saya adalah warga negara Afrika Selatan," kata Uskup Desmond Tutu, pemenang Hadiah Nobel 1984. "Botha berlagak menganugerahkan hak yang sesungguhnya sudah diberikan Tuhan kepada kami," ujar Gatsha Buthelezi, kepala suku Zulu, yang selama ini dikenal moderat. Di bawah sistem apartheid, semua penduduk kulit hitam kehilangan kewarganegaraan Afrika Selatan. Dengan usul Botha barusan, di "tanah air kesukuan" yang diakui itu penduduk boleh melakukan kegiatan politik. Namun, kawasan khusus ini tidak diizinkan mendapat pengakuan internasional. Dari Washington, pemerintah Reagan menanggapi maklumat itu secara berhati-hati. "Dalam Posisi kami, warga negara tanah air kesukuan itu sekaligus warga negara Afrika Selatan," kata juru bicara Gedung Putih, Larry Speakes. Toh, ia menambahkan, "Bila pengumuman Presiden Botha itu menuju jaminan kewarganegaraan bagi semua penduduk kulit hitam, ini merupakan langkah maju." Dalam pada itu, sanksi ekonomi usulan Reagan, yang sudah diterima Kongres AS, menimbulkan pendapat berbeda, terutama di kalangan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Kelompok sosialis Parlemen Eropa mengusulkan disegerakannya penghentian semua ikatan ekonomi, keuangan, kebudayaan, dan militer dengan Pretoria. Sedangkan perdana menteri Inggris Margareth Thatcher menentang sanksi ekonomi, dan menyatakan tidak akan mengikuti jejak AS yang mulai menghentikan pemberian pinjaman. Botha dipusingkan pula oleh sekelompok pemuka bisnis Afrika Selatan, yang pekan lalu membuka dialog dengan Oliver Tambo, presiden Kongres Nasional Afrika (ANC) yang terlarang. Dalam pertemuan di Zambia itu, delegasi bisnis dipimpin Gavin Relly, ketua Anglo American Corporation, konglomerat Afrika Selatan terbesar. Sementara itu, di Maputo, Mosambik, enam kepala negara Afrika berkumpul membicarakan pengaruh sanksi ekonomi terhadap rezim Pretoria. Mereka adalah Julius Nyerere dari Tanzania, Kenneth Kaunda dari Zambia, Eduardo Dos Santos dari Angola, Samora Machel dari Mosambik, dan Quett Masire dari Botswana - semua pada pokoknya mendukung sanksi itu. Keadaan Afrika Selatan memang sudah di tepi jurang. Situasi dalam negeri sendiri makin berkembang kumuh. Kerusuhan 20 bulan itu sudah merenggut sekitar 800 jiwa. Di bawah undang-undang darurat, sekitar 1.200 orang kulit hitam ditahan tanpa proses. Pekan lalu, tiga orang lagi terbunuh. Sementara itu, di penjara Maksimum Pollsmoor, meringkuk Nelson Mandela, "singa" ANC yang sudah menjalani penahanan 23 tahun. Dan itu ditambah lagi oleh lilitan utang. Dengan utang sekitar US$ 24 milyar, dan keputusan bank-bank AS menolak pemberian kredit baru, negeri berpenduduk 28 juta itu terancam krisis keuangan. Kendati demikian, Botha masih mampu bertingkah pongah. Ia, misalnya, baru saja mengusir Ray Wilkinson, wartawan majalah AS, Newsweek, yang dinilai "tidak menyenangkan". Tindakan terhadap Ray, yang sempat ditahan sebelum dihalau, langsung dikecam Herman Nickel, duta besar AS di Pretoria. Botha juga melarang Konperensi Dunia untuk Agama dan Perdamaian, yang seyogyanya diselenggarakan di Johannesburg, pekan lalu. Lima pemuka agama dari pelbagai negeri, yang akan menghadiri sidang itu, dilarang masuk. "Ini betul-betul gila," kata Uskup Tutu. "Bagaimana mungkin konperensi tentang perdamaian dianggap membahayakan masyarakat?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini