Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kami Tetap Miskin

Krisis minyak & resesi dunia menyebabkan kelesuan ekonomi muangthai. produksi pertanian merosot, baht didevaluasi & pengangguran terus naik. Tak ayal ketika kudeta terjadi banyak buruh mendukung.(ln)

21 September 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEBRAKAN minyak pada 1979 telah mengguncang keras perekonomian Muangthai. Defisil neraca perdagangan mereka melejit dari B (baht) 28.540 juta pada 1978 ke B 47.05 juta di tahun berikutnya Nilai tukar baht dengan rupiah 1 banding 48. Angka defisit itu meningkat hingga B 57.985 juta pada 1980. Pemerintahan PM Prem Tinsulanonda, yang berkuasa Maret 1980, mulai melancarkan beberapa penyesuaian. Target penerimaan pajak ditingkatkan, tapi kemudian ternyata gagal karena petugas pajak, tidak "siap" untuk tugas seberat itu. Krisis minyak, kemudian diikuti resesi ekonomi dunia, pada gilirannya menimbulkan kelesuan dalam negeri Muangthai. Kegiatan perdagangan merosot, investasi seret. Devaluasi baht pada 1981 tidak terlalu efektif, karena pemerintah, misalnya, tidak mungkin mencabut subsidi minyak. Keadaan sempat membaik pada 1983, setidaknya pada sektor swasta. Produksi semen, bijih besi, dan baja meningkat, begitu pula produksi sepeda motor, bir, minuman keras, dan rokok. Industri alat-alat listrik pun ikut terangkat. Tapi tidak demikian halnya di sektor pertanian. Di luar dugaan, panen (1982-1983) buruk. Ini telah menciutkan volume ekspor Muangthai. Akibatnya, pemerintah tetap kekurangan dana. Dalam upaya keluar dari kisruh pemerintah akhirnya melancarkan politik uang ketat. Devaluasi baht, November 1984 - walaupun menimbulkan antipati rakyat - diberlakukan juga. Pihak militer tak urung melancarkan kritik keras. Pangab Jen Arthit Kamlang-Ek menyeru agar pemerintah meninjau kembali keputusan tersebut. PM Prem menolak. Arthit akhirnya tunduk setelah Prem dapat dukungan Raja Bhumibol. Devaluasi itu disusul beberapa langkah penyehatan lainnya. Awal tahun ini, konsumen rokok dan wiski dan bir terpaksa membayar harga lebih mahal dari sebelumnya karena pajak lebih tinggi dikenakan oleh pemerintah. Begitu juga dengan barang-barang impor. Pengamanan lainnya dilakukan pemerintah dengan mengurangi subsidi terhadap perusahaan negara seperti Communications Authority of Thailand, yang mengurus kendaraan umum, sehingga harga bis naik dari B 1 menjadi B 1,5 sekali jalan. Akibat penyehatan itu, perusahaan-perusahaan terpaksa memberhentikan ribuan pegawai dan buruh mereka. Tak heran, ketika kudeta meletus, sejumlah pemimpin buruh secara blak-blakan mendukung para pelaku kudeta itu. Dan kini mereka ikut meringkuk di penjara. Ahli politik Surin Pitsuwan dari Universitas Thammasat menyerukan agar pemerintah berhati-hati dalam langkah selanjutnya. Kepada wartawan TEMPO di Bangkok, Yuli Ismartono, Surin menyatakan, faktor yang masih bisa meniup api pergolakan adalah suasana pengangguran yang naik terus. Terutama, sarjana-sarjana yang tidak berhasil dapat pekerjaan setelah lulus universitas Mereka diperkirakan 400 ribu orang. Suasana ini benar-benar dieksploatasi para pelaku kudeta. Ketika mereka mengumumkan kebijaksanaan yang akan dilaksanakan pemerintah revolusioner, pengumuman pertama ialah panggilan kepada sarjana-sarjana untuk melapor pada kementerian tenaga kerja. Pada 1984, Muangthai, berpenduduk 50,6 juta orang, mencatat pengangguran 580 ribu orang dari angkatan kerja 26,5 juta orang. Rakyat memang tertekan oleh keadaan ekonomi yang lesu. Sila Khamma, 48, sopir taksi yang menghidupi istri dan dua anak, pesimistis sekali dengan janji perbaikan nasib dari pemerintah. "Tahun lalu kami menderita, tahun ini menderita," katanya. "Saya sudah tidak percaya lagi pada pemerintah." Sila menyewa taksi B 200 sehari. Kadang untung B 250 - 300. Tapi ia merasa tidak cukup untuk bayar sewa rumah 1 kamar tidur B 800 per bulan. Nyonya Omsap Chambing, 32, seorang pedagang kaki lima, juga mengeluh tentang keadaan ekonomi. Bersama suaminya, juga sopir taksi, ia mengeluarkan B 8.000 sebulan untuk menghidupi empat anak. Katanya, ia sering terpaksa pinjam uang. Lek, 28, seorang buruh bangunan, meninggalkan istri dan seorang anak di Provinsi Saraburi karena upahnya di bawah upah minimal yang ditentukan pemerintah. "Satu pemerintah sama dengan yang lain." Katanya, "Kami tetap miskin."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus