Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada yang berbeda dalam pelaksanaan salat Jumat di Masjid Al-Azhar, Kairo, ibu kota Mesir. Ribuan orang dari berbagai kalangan memenuhi tempat ibadah itu. Mungkin yang istimewa adalah khatibnya, yaitu Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyah, dari kelompok Hamas. Di akhir khotbah, Haniyah, yang mengenakan jas hitam dan kemeja putih, serupa dengan sorban yang dikalungkan di leher, mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Ia memuji gerakan melawan Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Haniyah berada di Mesir untuk bertemu dengan Mahmud Abbas, Presiden Palestina, dari kelompok Fatah. Keduanya mencoba membentuk pemerintahan rekonsiliasi nasional—Hamas dan Fatah—menjelang pemilihan umum parlemen dan Presiden Palestina, Mei mendatang. Mesir menjadi mediator pertemuan. "Saya salut kepada semua yang terlibat dalam revolusi Arab. Saya salut kepada warga Suriah yang heroik berjuang mencari kebebasan, demokrasi, dan reformasi," katanya Jumat dua pekan lalu.
Ucapan Haniyah disambut sorak-sorai jemaah yang mendukung penduduk Palestina dan Suriah. "Tidak untuk Iran, tidak ada Hizbullah. Suriah adalah Islam," teriak jemaah yang hadir. Iran dan Hizbullah—kelompok beraliran Syiah di Libanon—merupakan sekutu Suriah setelah Rusia dan Cina.
Setiba di Gaza, Haniyah pun menyeru warga Palestina menggelar unjuk rasa menentang pemerintahan Assad. Inilah pertama kalinya Haniyah melontarkan pernyataan yang secara terbuka melawan rezim otoriter di Suriah setelah berpuluh tahun memiliki jalinan erat dengan Hamas. Suriah dikenal sebagai negara yang memberikan perlindungan atas tokoh-tokoh kelompok "garis keras" seperti Hamas dan Hizbullah.
Sebelum krisis politik berlangsung di Suriah, negara itu selalu membantu Hamas melawan tentara Israel dari Jalur Gaza, wilayah Palestina basis kekuatan Hamas. Pemerintah Assad menggelontorkan bantuan militer berupa persenjataan dan dana segar. Assad juga mengizinkan para pengungsi Palestina masuk ke Damaskus dengan mudah. Ketika kewarganegaraan salah satu pemimpin Hamas, Khaled Meshaal, dilucuti dari Yordania pada 1999, Suriah satu-satunya negara Arab yang menawarkan perlindungan.
Mengapa Hamas berpaling dari Assad? Tentara Suriah mendesak kelompok perlawanan ke kamp-kamp pengungsi Palestina di Suriah, yang mengakibatkan ketegangan dan kesemrawutan. Mereka juga mengusir ribuan warga Palestina. Haniyah kesal. Ia pun memilih mengeluarkan pernyataan keras.
Namun ada yang menganggap sikap Hamas berbalik bukan karena pengusiran warga Palestina di Suriah, melainkan lantaran mampet-nya pasokan keuangan dan bantuan militer ke Gaza. Hamas memang sangat bergantung pada pasokan bantuan negara donor. Mereka memerlukan US$ 700 juta atau sekitar Rp 6,3 miliar per tahun. Al-Sharq al-Awsat, surat kabar Arab yang berbasis di London, menyatakan Hamas memiliki 45 ribu pegawai yang harus digaji tiap bulan.
Sejak Agustus tahun lalu, negara-negara Barat mengeluarkan embargo atas semua produk Suriah, terutama ekspor minyak ke Uni Eropa. Padahal minyak menjadi penopang utama keuangan Suriah. Kini rezim Assad hanya memiliki simpanan US$ 10 miliar atau sekitar Rp 90 triliun, yang diprediksi habis dalam enam bulan. Padahal, pertengahan tahun lalu, devisa masih US$ 18 miliar atau sekitar Rp 169 triliun. Perang telah menguras keuangan pemerintah. Sumbangan Rusia sulit diharapkan setelah Uni Eropa menutup semua transaksi keuangan dari bank sentral di kawasan itu dengan bank sentral Suriah.
Sebelum Haniyah melontarkan pernyataan keras, Hamas sudah mengemasi semua asetnya dari Suriah. Kantor perwakilan di Suriah sudah ditinggalkan dan staf pun sudah dipindahkan. Bahkan duit bisnis Hamas di Suriah ditarik sejak beberapa bulan lalu. Hamas memiliki kemitraan dengan komunitas bisnis Suriah. Meskipun nilai aset ini tidak diketahui, Hamas di Suriah banyak berusaha di bidang perumahan, resor, ekspor pangan, dan impor minyak zaitun dari Palestina. Mereka juga menarik deposit di bank Suriah. "Sembilan puluh persen staf yang tersebar di Damaskus telah dipulangkan," kata seorang pejabat keamanan Hamas.
Yang menarik, Hamas melompat bersekutu dengan Turki, negara yang memiliki perbatasan darat terpanjang dengan Suriah dan pernah bertetangga baik dengan Suriah. Kini Turki juga berbalik menentang Assad. Turki menjadi perwakilan Pakta Pertahanan Atlantik Utara, dipimpin Amerika Serikat, yang menginginkan Suriah terbebas dari Assad. Mereka menggunakan strategi menjatuhkan Suriah dengan merontokkan sekutunya satu per satu.
Turki pun membuka pintu bagi sekutu baru. Dalam kunjungannya pada akhir Januari lalu, Haniyah disambut Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Ia juga dielu-elukan saat bertemu dengan parlemen Turki.
Sebenarnya tidak murah membuat Hamas pindah sekutu. Turki harus mengeluarkan dana US$ 300 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun per tahun. Pemerintah negara itu berjanji membantu pembangunan kawasan industri dan infrastruktur, termasuk industri tekstil dan mebel, di Jalur Gaza. Kantor Hamas pun segera dibangun di Ankara dalam beberapa pekan ke depan.
Bahkan Turki menawarkan bantuan membujuk Israel agar menarik sebagian tentaranya dari Jalur Gaza. "Turki ingin memainkan peran yang lebih besar di kawasan Timur Tengah. Salah satunya dengan mempengaruhi Hamas. Lebih menarik lagi, Hamas melepaskan hubungan dengan Suriah," kata Howard Eissenstat, pakar politik Turki dari Universitas St. Lawrence, Amerika Serikat.
Hamas juga berkongsi dengan Mesir dan Qatar. Dua negara ini memiliki sikap yang sama dengan Turki. Setelah Presiden Husni Mubarak jatuh, Mesir lebih lunak kepada Hamas. Ikhwanul Muslimin, yang kini punya kekuasaan besar dibanding partai-partai lain, memiliki dendam atas Suriah. Ayah Bashar al-Assad, Hafeez Assad, telah membantai anggota Ikhwanul bersama penduduk Suriah di Kota Hama pada 1982. Korban jiwa mencapai 10 ribu orang. Mesir dan Qatar menawarkan bantuan dana dan menyiapkan kantor perwakilan Hamas di dua negara itu.
Kelompok garis keras lain yang semula tak berseteru dengan Suriah tapi berbalik menentang Assad adalah Al-Qaidah. Pemimpinnya, Ayman al-Zawahiri, menyeru pejuang muslim dari Irak, Yordania, Libanon, dan Turki datang ke Suriah dan bergabung dalam perang jihad melawan rezim Assad. Mereka telah terlibat dalam aksi pengeboman salah satu fasilitas keamanan Suriah di Aleppo yang menewaskan 28 orang pada Januari lalu. Hubungan Suriah dan Al-Qaidah cukup baik ketika Irak diduduki tentara Amerika Serikat dan sekutunya.
Hizbullah belum sepenuhnya berani melawan Assad. Mereka mendukung gerakan rakyat untuk menjatuhkan pemerintahan otoriter negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Namun, saat gerakan itu merembet ke Suriah, mereka memilih diam. Menurut intelijen Amerika, Hizbullah memiliki kepentingan untuk mendapatkan limpahan roket jarak jauh, sistem pertahanan udara buatan Rusia, dan senjata kimia dari Suriah.
Eko Ari (Washington Post, thecuttingedgenews.com, Israel National News, USA Today, The Globe and Mail)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo