Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjam-jam mereka teronggok, terperangkap di Bandar Udara Internasional Netaji Subhash Chandra Bose, Kolkata. Ribuan orang jumlahnya, tak ada taksi ataupun bajaj—alat transportasi utama di kota itu—yang bakal mengantar mereka ke tujuan masing-masing. Ya, hari itu, Selasa pekan lalu, buruh transportasi mogok kerja.
Lalu lintas di ibu kota Negara Bagian Bengali Barat itu nyaris lumpuh. Di antara kendaraan publik di sana, praktis hanya kereta api yang tetap beroperasi. Mayoritas kantor cabang perbankan, toko, dan kantor perusahaan swasta tutup karena karyawannya ikut mogok.
Bengali Barat merupakan markas serikat buruh tradisional yang memiliki pengaruh besar di India. Menteri Besar Negara Bagian Bengali Barat Mamata Banerjee pun turun tangan: mengerahkan seribu unit bus milik pemerintah untuk mengatasi masalah transportasi. Namun Banerjee berkilah tak ada pemogokan di wilayahnya. Sebagian besar sekolah dan kantor pemerintah buka seperti biasa.
Sebelumnya, dia mengancam akan menindak pegawai pemerintah yang bolos kerja. "Bus, kereta, taksi beroperasi seperti biasa. Penerbangan juga sesuai dengan jadwal. Kehadiran pegawai pemerintah mendekati 100 persen," ujarnya. Sepuluh ribu personel polisi disebar ke penjuru kota: menjaga kantor pemerintah, depo bus, dan stasiun kereta api dari kemungkinan serbuan para buruh yang marah.
Semua keruwetan itu disebabkan oleh pemogokan sehari yang dilakukan jutaan buruh di seluruh India sejak Senin tengah malam pekan lalu. Pemogokan didukung oleh sebelas serikat pekerja besar, termasuk Kongres Serikat Pekerja Seluruh India (AITUC) dari kubu sayap kiri dan Kongres Serikat Pekerja Nasional India (INTUC), yang berafiliasi ke Partai Kongres yang berkuasa.
Inilah pemogokan besar-besaran yang keempat belas, sejak India membuka ekonominya pada 1991. Buruh mogok untuk memprotes keputusan pemerintah yang dianggap tak berpihak kepada mereka. Buruh Bandara Internasional Netaji Subhash Chandra Bose, misalnya, menuntut pemerintah menyediakan jaminan sosial dan pekerjaan tetap bagi 50 juta buruh kontrak serta menghentikan penjualan saham perusahaan-perusahaan milik negara.
Mereka juga memprotes melambungnya harga—salah satunya harga minyak—yang mengakibatkan biaya hidup melonjak. Serikat buruh juga meminta kenaikan upah minimum menjadi 10 ribu rupee (setara dengan Rp 2 juta) per bulan dari semula 3.000-3.500 rupee. "Permintaan kami yang paling penting adalah penghapusan buruh kontrak dan kontrol terhadap kenaikan harga," kata G. Sanjeev Reddy, Presiden INTUC.
Dampak pemogokan juga dirasakan oleh kota-kota lain. Di Ibu Kota New Delhi, lalu lintas tak sepadat hari sebelumnya. Para penumpang mass rapid transit harus bersusah payah mencari angkutan umum dari dan ke stasiun. Bank dan kantor asuransi tutup, meski toko-toko tetap buka.
Di sejumlah negara bagian yang menjadi basis partai komunis, seperti Kerala, Bengali Barat, dan Tripura, para aktivis militan memblokade jalan-jalan, rel kereta api antarkota, serta rel kereta komuter.
Pemogokan tak hanya melumpuhkan ekonomi, tapi juga sekolah-sekolah. Hampir semua negara bagian menunda pelaksanaan ujian sekolah. Bahkan JNTU College dan Universitas Osmania di Hyderabad ikut menunda ulangan.
Aksi mogok ini merupakan ujian berat bagi pemerintahan Perdana Menteri Manmohan Singh, yang diguncang sejumlah skandal korupsi dan serangkaian unjuk rasa sejak menjabat untuk kedua kalinya pada 2009. Apalagi saat ini Partai Kongres—partainya Singh—sedang menghadapi pemilihan di lima negara bagian.
"Ini peristiwa bersejarah. Untuk pertama kalinya semua serikat pekerja besar bersatu memprotes kebijakan pemerintah yang antiburuh," kata pemimpin AITUC, Gurudas Dasgupta.
Dia mengatakan pemerintah sebenarnya punya banyak waktu untuk duduk bersama merundingkan tuntutan buruh, tapi peluang itu diabaikan. "Mogok adalah satu-satunya pilihan untuk memperjuangkan hak-hak kami."
Dampak pemogokan juga dirasakan di Mumbai, yang menjadi pusat keuangan negeri itu. Sektor yang paling terkena dampak pemogokan adalah perbankan dan transportasi. Sekretaris Jenderal Asosiasi Karyawan Bank Seluruh India Vishwas Utagi mengatakan bagian kliring bank sentral tutup. Akibatnya, semua bank tak beroperasi. "Bank swasta dan bank asing ikut terkena dampaknya," ujar Utagi di Mumbai.
Dia mengatakan sejumlah pialang saham di Bursa Efek Mumbai khawatir keuntungan mereka merosot akibat pemogokan ini. "Pemerintah khawatir akan dampak keuangan yang lebih besar akibat krisis ini," kata dia.
Utagi menambahkan, pertumbuhan ekonomi India saat ini boleh jadi lebih baik ketimbang negara-negara Barat. Namun, di dalam negeri, pemerintah menghadapi kritik tajam karena tak berbuat banyak untuk mengerem laju inflasi dan menaikkan upah minimum.
Dihantam oleh tingginya suku bunga dan inflasi serta agenda reformasi yang mandek, perekonomian India diperkirakan tumbuh sekitar 7 persen dari harapan semula 9 persen. Ini pertumbuhan terendah dalam tiga tahun terakhir. Angka inflasi India selalu di atas 9 persen dalam dua tahun terakhir dan baru turun menjadi 7,5 persen pada Desember tahun lalu.
Asosiasi Kamar Dagang dan Industri India (Assocham) belum berani menyimpulkan berapa kerugian akibat pemogokan itu, yang diduga mencapai 1 miliar rupee atau Rp 200 miliar. Sekretaris Jenderal Asosiasi D.S. Rawat mengingatkan, serikat pekerja harus menjauhkan persoalan ekonomi dari agenda politik.
Dia mengatakan para buruh harus menyadari penyediaan lapangan kerja berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi, yang melibatkan investasi langsung domestik ataupun asing. Menurut Rawat, undang-undang yang ada sudah memiliki ketentuan yang memadai untuk melindungi kepentingan buruh kontrak.
Harga minyak, kata dia, dalam kendali pemerintah dan secara umum sangat bergantung pada harga minyak dunia. Sedangkan harga produk-produk pertanian tergantung musim.
"Pemogokan di sektor industri menyebabkan kerugian besar terhadap keuangan negara. Aksi serupa tak boleh terjadi lagi bila menginginkan pertumbuhan ekonomi 9 persen tahun ini," ujarnya.
Rawat mengatakan bahkan para buruh sendiri tak menyukai pemogokan, tapi itulah satu-satunya pilihan mereka saat ini.
Sapto Yunus (Reuters, Hindustan Times, OneIndia News, IRIS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo