Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tingkat kelahiran rendah atau krisis kelahiran adalah fenomena demografis di mana jumlah kelahiran di suatu negara atau wilayah menurun secara signifikan dan berkelanjutan selama periode waktu tertentu.
Seiring dengan perkembangan kesetaraan gender, banyak perempuan memasuki dunia kerja dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan karier profesional. Ini bisa menyebabkan perubahan dalam prioritas dan pilihan hidup, termasuk keputusan untuk menunda atau tidak memiliki anak.
Meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran akan kesehatan reproduksi dapat menyebabkan penurunan tingkat kelahiran. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi cenderung menunda pernikahan dan kelahiran anak untuk fokus pada karir dan pengembangan diri.
Krisis kelahiran memiliki implikasi serius bagi populasi suatu negara, termasuk penuaan penduduk dan potensi masalah ekonomi dan sosial karena populasi yang kurang produktif dan terbatasnya generasi penerus. Untuk mengatasi krisis kelahiran, negara-negara dapat mengimplementasikan kebijakan pro-keluarga, dukungan bagi pekerja keluarga, pendidikan tentang kesehatan reproduksi, dan langkah-langkah lain untuk mendorong tingkat kelahiran yang sehat dan berkelanjutan.
Jepang menghadapi krisis kelahiran karena beberapa faktor sosial dan demografis yang saling terkait. Tingkat kelahiran di Jepang terus menurun selama beberapa dekade terakhir. Salah satu faktor utamanya adalah perubahan sosial dan ekonomi.
Wanita Jepang semakin memilih untuk fokus pada pendidikan, karir, dan kehidupan pribadi mereka daripada memiliki anak. Perubahan ini menyebabkan penundaan pernikahan dan keputusan untuk memiliki anak yang lebih sedikit atau bahkan tidak sama sekali alias childfree.
Selain Jepang, berikut daftar Negara-negara yang mengalami krisis kelahiran atau tingkat kelahiran yang rendah dapat bervariasi dari waktu ke waktu. Beberapa contoh negara yang umumnya dikaitkan dengan masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Singapura
Singapura juga menghadapi krisis kelahiran dengan tingkat kelahiran yang rendah. Gaya hidup yang sibuk, tekanan kerja yang tinggi, biaya hidup yang mahal, dan kurangnya dukungan dari kebijakan pemerintah telah mempengaruhi keputusan pasangan untuk memiliki anak.
2. Italia
Italia juga mengalami tingkat kelahiran yang rendah dan masalah demografi yang serupa. Tingkat kelahiran yang terus menurun dan populasi yang menua telah menjadi sumber kekhawatiran bagi negara ini. Beberapa faktor yang mempengaruhi situasi ini termasuk perubahan sosial, kesulitan ekonomi, dan kurangnya dukungan bagi keluarga muda.
3. Spanyol
Spanyol juga mengalami krisis kelahiran dengan tingkat kelahiran yang rendah dalam beberapa tahun terakhir. Penurunan tingkat kelahiran ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk perubahan gaya hidup, kesulitan ekonomi, dan kurangnya dukungan bagi keluarga dengan anak-anak.
4. Korea Selatan
Korea Selatan mengalami krisis kelahiran yang serupa dengan tingkat kelahiran yang sangat rendah. Faktor-faktor seperti peningkatan biaya hidup, kurangnya dukungan bagi orangtua yang bekerja, dan perubahan sosial telah berkontribusi terhadap penurunan tingkat kelahiran di negara ini.
5. Andorra
Andorra adalah salah satu negara terkecil di Eropa. Andorra la Vella adalah ibu kotanya dan terdiri dari lembah pegunungan yang alirannya mengalir ke sungai Valira. Pada tahun 2023, populasi Andorra akan menjadi 77.590 orang. Andorra juga dinobatkan sebagai negara dengan angka kelahiran terendah. Tingkat kelahiran tahunan Andorra hanya 6,88 per seribu penduduk.
Perlu dicatat bahwa situasi demografi dapat berubah dari waktu ke waktu, dan beberapa negara lain mungkin juga mengalami krisis kelahiran.
Pilihan Editor: Hampir Seluruh Warga Lajang Jepang Tak Ingin Punya Anak
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini