MEREKA berpakaian untuk mati. Di bawah baju dan kain upacara mereka, tubuh mereka sudah terbungkus kain kafan. Senjata pendek siap, tersembunyi, di pinggang: mereka akan menembakkannya ke arah para pembesar Belanda yang datang untuk resepsi setelah perundingan hari itu bila perundingan dengan Sunan mereka gagal, dan kumpeni kembali lagi merampas hak dan menghina orang Jawa. Dan mereka tahu betul, setelah penembakan itu mereka akan dibunuh, di pendopo keraton itu juga, atau di tempat lain: penguasa Belanda di Surakarta, juga di Batavia, akan menuntut kematian mereka.... Cerita ini dikisahkan oleh Sardono W. Kusumo pada saya di salah satu warung kaki lima di Solo cerita yang nampaknya menyebabkan ia memasukkan serimpi Sangopati dalam koreografinya, Passage through the Gong, dan yang pasti cerita yang menyebabkan serimpi itu diciptakan oleh penata tari Keraton Solo di masa lampau: suatu contoh (yang tidak banyak dicatat) dalam sejarah politik Jawa tentang paradoks kematian- dalam-kesetiaan. Mungkin semua itu hanya mitos. Tapi setiap mitos punya makna dan asosiasinya. Kematian-dalam-kesetiaan adalah sebuah pengakuan akan keterbatasan, juga ketidakterbatasan: kematian itu menjadi sesuatu yang melintasi dirinya sendiri karena berlangsung untuk sesuatu yang lebih luhur dari badan, yakni kesetiaan. Tapi kesetiaan itu juga dibatasi kematian, digaris- akhiri oleh tubuh yang sudah berubah jadi raga. Saya ingat satu baris dalam pathetan yang membuka Sangopati, yang juga ditembangkan dengan suara menggetarkan oleh Penari Pamardi dalam Panji Sepuh, sebuah pathetan dengan pesan yang seram: ''Layonira kang minangka dadi jimating prang'', ''jenazahmulah yang akan menjadi azimat peperangan''. Kematian-dalam-kesetiaan, dalam riwayat politik, memang selalu menyebabkan orang tergetar, mungkin terharu, mungkin gentar. Ada sesuatu yang final di sana: sesuatu yang tidak bisa ditarik kembali. Paradoks itu selalu menghantui kita dengan renungan tentang diri kita dan peran kita, tentang batas kita dan tanggung jawab kita, sebab kita tiba-tiba menyadari bahwa politik bila diterjemahkan sebagai gerak manusia untuk suatu polis, suatu lingkungan kebersamaan bisa menyebabkan manusia hilang dan juga timbul dalam pertemuannya dengan orang lain. Orang-orang yang siap mati dalam sejarah Keraton Surakarta itu di satu segi ''hilang'': hanya jadi alat dari kekuasaan raja, tidak punya diri mereka sendiri lagi. Tapi di lain segi, mereka ''timbul'', hadir, dan mungkin sebab itu diabadikan dalam sebuah tari serimpi, justru karena mereka bersedia memberikan diri mereka kepada ''yang lain'', kepada liyan, kata orang Jawa, kepada the Other. ''Yang lain'', atau liyan, menurut inti maknanya sendiri bukan saja ''bukan-aku'', tapi juga ''berbeda dari aku''. Dengan demikian, hubungan antara ''aku'' dan ''yang lain'', antara ingsun dan liyan, menjadi kehilangan hakikatnya bila keadaan berbeda itu ditiadakan. Dan itulah sebabnya, dalam suatu sistem totaliter, hubungan dengan liyan itu menjadi semu di permukaan, atau menjadi murni di dalam keadaan sembunyi- sembunyi, sebab desakan totaliterianisme ialah desakan menghilangkan perbedaan, menjuruskan ke arah kesamaan. Maka, bila suatu sistem totaliter menghendaki kita mati untuk sang polis, kita sebenarnya telah direduksikan menjadi sebuah eksemplar dari sesuatu yang homogen, seragam, padu dan sebenarnya kita hanya menjelma sebagai satu konsep, satu ide, yang tanpa wajah. Bagaimana, dalam keadaan itu, kita bisa melintasi kematian, dan membuat jenazah kita menjadi sesuatu yang sakti, menjadi azimat dalam peperangan dengan kata lain, mempunyai suatu kharisma, sesuatu yang membuat orang lain mengerti apa arti mati dan hidup? Hanya dengan diri kita masing-masing menjadi diri kita, dan dengan demikian mengakui ''orang lain'' dalam ''ke-lain-an''-nya, hanya dengan menyambut dan merayakan liya liyaning liyan, kita bisa melihat politik sebagai sesuatu yang bukan mengasingkan. Hanya dengan menghadapi hidup dan mati sebagai sesuatu yang eksistensial, yang tunggal dan pribadi bukan sekadar pengalaman umum, bukan sesuatu yang sudah ada takdirnya, melainkan sesuatu yang menyentuh setiap saraf dan pori diri kita kita bisa menghargai kebersamaan kita dalam suatu polis (dengan kata lain berpolitik) sebagai sesuatu yang tidak tindas-menindas. Konon Heidegger pernah berbicara tentang ''kedekatan dengan kematian'' sebagaimana yang terjadi dalam diri ''prajurit di medan perang'', yang bisa menimbulkan rasa kebersamaan yang otentik dalam diri kita. Memang tidak mudah. Kita bisa mengatakan bahwa pengorbanan untuk sang polis, untuk ''tanah air'' atau ''raja'' (seperti para pilot kamikaze Jepang), adalah kematian manusia satu-sisi. Heidegger mungkin melihat itu sebagai keindahan, dan ia mendukung Nazi. Tapi mungkin dengan itu ia mempraktekkan, dalam kata-kata Reiner Schurmann, seorang penafsir Heidegger, politiknya ''makhluk yang fana'', bukan politiknya ''hewan yang rasional''. Dengan kata lain: tanggung jawab kita kepada orang lain disertai rasa terbatas, sikap membuka diri. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini