ORANG Moskow kini menyebut gedung parlemen itu Gedung Hitam. Bukan lagi Gedung Putih. Peristiwa Senin pekan lalu memang membuat sebagian gedung itu hangus, terbakar karena peluru tentara yang diperintahkan menembak untuk memaksa sejumlah anggota parlemen dan pendukungnya yang ngendon di dalam gedung menyerah. Akhirnya, Presiden Boris Yeltsin memang menang dalam konfrontasinya dengan parlemen, dengan bantuan militer. Kemenangan yang tragis: Yeltsin menetapkan hari Kamis pekan lalu sebagai hari berkabung. Dalam serangan terhadap gedung parlemen itu, 118 korban tewas. Dan untuk menghilangkan bekas- bekas tragedi itu, ada rencana, gedung parlemen yang sebagian hangus tersebut bakal ditutup terpal raksasa. Belum jelas, kalau rencana ini jadi dilaksanakan, sampai kapan terpal akan menutup gedung itu. Jejak dan bekas fisik bisa dihilangkan, tapi yang nonfisik, keterlibatan militer misalnya, bukan saja sulit dilupakan, bahkan mungkin berpengaruh dalam perjalanan Rusia selanjutnya. Keterlibatan militer Rusia sebenarnya tak sulit ditebak. Dalam suasana politik tanpa aturan main yang jelas, tiba-tiba presiden dan parlemen saling mendiskreditkan, maka muncullah dua kepemimpinan. Krisis pemerintahan pun segera tampil karena tak ada prosedur penyelesaian. Dalam suasana seperti itu, yang lazim muncul adalah militer, memang. Yang sulit ditebak, bahkan sampai saat-saat terakhir Senin dini hari pekan lalu, adakah angkatan bersenjata Rusia tetap kompak, atau pecah. Sebab, di pihak parlemen ada Alexander Rutskoi, veteran perang Afganistan yang punya akses pada militer. Kenyataannya, tentara tetap kompak. Kabar yang mengatakan sekitar 200 personel militer membelot, berpihak pada parlemen, dibantah oleh kementerian dalam negeri. Jelas sudah, Boris Yeltsin bergerak bukannya tanpa persiapan dan perhitungan. Yang mungkin di luar perhitungan, jatuhnya korban. Menurut Kolumnis William Safire dalam artikelnya di harian The New York Times, dua pekan sebelum Yeltsin mengeluarkan dekrit pembubaran parlemen (12 September), ia menelepon Bill Clinton. Yeltsin menanyakan nasib bantuan US$ 1,6 miliar yang dijanjikan AS, April lalu, yang kini sangat diharapkan realisasinya untuk melancarkan roda perekonomian Rusia. Tapi Clinton malah menyingung soal sikap Rusia yang selalu mendukung Serbia dalam krisis Bosnia-Herzegovina. Tak dijelaskan oleh Safire apakah Clinton menyinggung soal kabar bahwa Rusia bukan hanya mengirimkan senjata ke pihak Serbia, tapi juga sejumlah sukarelawan. Yang jelas, atas perintah parlemen, Bank Sentral Rusia belakang mengucurkan kembali subsidi untuk pabrik-pabrik senjata satu contoh lagi bagaimana aturan main di Rusia tak jelas sehingga parlemen bisa memerintah Bank Sentral. Yang kemudian terjadi, Yeltsin membubarkan parlemen, dan AS, juga Masyarakat Eropa (Barat), mendukungnya. Dan itulah tampaknya satu-satunya jalan bagi Yeltsin untuk menggagalkan anggaran belanja dan pendapatan yang sedianya akan disahkan oleh parlemen pada hari Yeltsin mengeluarkan dekritnya. Anggaran yang mencerminkan kemenangan garis keras karena dicantumkan dengan jelas dihidupkannya kembali berbagai subsidi, antara lain, untuk industri senjata. Dan sebenarnya anggaran itu sudah dua kali diveto oleh Yeltsin. Padahal, menurut konstitusi, presiden Rusia tak berhak melakukan veto untuk ketiga kalinya. Apa boleh buat, keluarlah dekrit. Sebab, seandainya anggaran itu jadi disahkan, itu berarti reformasi Rusia berjalan mundur dengan dihidupkannya sejumlah subsidi. Yeltsin, sebelum hari dekrit itu, mengunjungi beberapa barak militer, dan menaikkan gaji tentara. Lalu, ia menggeser Menteri Keamanan Viktor Barannikov, yang tampak memihak garis keras, dengan Nikolai Golushko, bekas perwira KGB, yang pro-Yeltsin. Kementerian ini penting karena antara lain membawahi lembaga intelijen. Sementara itu, Menteri Pertahanan Pavel Grachev, yang berkali-kali menyatakan bahwa militer tak memihak, tetap dipertahankan Yeltsin. Ini bukan semata karena Grachev menjanjikan siap netral, tapi Yeltsin tahu bahwa menterinya itu punya dendam pada Ketua Parlemen Ruslan Khasbulatov. Beberapa waktu lalu, ketika parlemen mengadakan gerakan pemberantasan korupsi di kalangan pemerintahan, yang dipanggil untuk diinterogasi antara lain Grachev. Menteri pertahanan ini dituduh melakukan manipulasi, di kala banyak inventaris militer muncul di pasar loak. Dengan persiapan seperti itulah akhirnya Yeltsin menyita semua kekayaan parlemen dan, Senin pekan lalu, setelah memberikan waktu 2 x 24 jam agar kelompok garis keras menyerah, memerintahkan militer bertindak. Dan bukan saja ternyata militer tetap kompak, warga Moskow yang menyaksikan tank-tank mengepung Gedung Putih pun bersorak tiap kali meriam mengirimkan pelurunya ke gedung yang dikepung itu. Menurut para pengamat, ini merupakan cerminan sikap mayoritas warga Moskow yang sudah begitu jengkel kepada parlemen. Dalam suasana aturan main yang tak jelas, parlemen bukannya memperbaiki reformasi Yeltsin, tapi menjegalnya. Mesti kembali diingat, referendum April lalu, saat Yeltsin dan reformasinya mendapatkan dukungan. Dukungan itu, antara lain, karena Yeltsin menjanjikan akan diadakannya amandemen untuk mengubah konstitusi lama. Amandemen yang akan meletakkan parlemen dalam proporsinya. Dan dengan demikian diharapkan reformasi lancar jalannya. Setelah drama penyerangan lima jam, dan kelompok garis keras menyerah, Yeltsin pun menjadi penguasa tunggal luar biasa. Parlemen sudah dibubarkan sebelumnya, bahkan pekan lalu sejumlah penentang Yeltsin, yang ngendon di Gedung Putih, ditahan. Jam malam pun diberlakukan sampai akhir pekan lalu, tapi kemudian diperpanjang sepekan lagi. Pembersihan terhadap pendukung garis keras dilakukan, termasuk penyensoran terhadap media yang dinilai mendukung kelompok penentang Yeltsin. Harian Sevodnya muncul dengan kolom-kolom yang diblok hitam, pekan lalu, gara-gara tulisan Sergei Parkhomenko, redakturnya, yang kabarnya bercerita bagaimana para staf Yeltsin melakukan kontak-kontak sebelum menyerang Gedung Putih. Tapi sensor terhadap pers ini segera mengundang kritik dari AS dan Prancis. Konon, kemudian Yeltsin mencabut kembali perintah penyensoran itu. Tapi terhadap lembaga pemerintah yang dinilai Yeltsin bisa menghalangi geraknya, tetap dilakukan tindakan. Misalnya, Pengadilan Konstitusi pekan lalu dibubarkan. Menurut Yeltsin, lembaga yang dibentuk tahun 1991 dan berfungsi sebagai mahkamah agung itu terbukti melakukan politik praktis. Salah satu bukti itu disiarkan oleh televisi Rusia pekan lalu. Saat Gedung Putih mulai ditembaki oleh tank-tank yang mengepungnya, terdengar suara Alexander Rutskoi yang menelepon Valery Zorkin, Ketua Pengadilam Konstitusi. Rutskoi minta agar dikirimi seorang atau beberapa hakim untuk menyaksikan bagaimana Yeltsin memerintahkan tentara menembaki parlemen. Tapi telepon keburu ditutup. Bisa jadi waktu itu Zorkin menyadari bahwa teleponnya disadap. Itu sebabnya, sebelum Pengadilan Konstitusi dibubarkan Yeltsin, Zorkin sudah mengundurkan diri. Praktis kini Boris Yeltsin merupakan penguasa tunggal di Rusia, sampai pemilu, yang direncanakan akan diadakan 12 Desember nanti pemilu yang sekaligus memilih anggota parlemen dan presiden Rusia. Satu posisi yang sangat menggoda orang untuk bertindak otoriter. Maka, tanpa pengadilan, pekan lalu Yeltsin pun melarang Partai Komunis dan Partai Rakyat Rusia Bebas ikut dalam pemilu nanti. Dua partai itu dinyatakan terlibat aksi menentang Yeltsin. Gennady Zyuganov, Ketua Partai Komunis, langsung mengadakan konferensi pers, dan menuduh Yeltsin diktator. Ia menyatakan tak berada di gedung parlemen, jadi mengapa partainya dituduh terlibat. Tak ada hak Yeltsin, katanya, melarang partainya. Sementara itu, Partai Rakyat Rusia Bebas tampaknya tak berkutik karena jelas-jelas ketuanya, Alexander Rutskoi, kini ditahan. JIka saja tindakan Yeltsin tak dibatasi sampai pemilu nanti, kata para pengamat Barat, itu berarti militer menjadi alat represif penguasa sebagaimana di zaman Uni Soviet. Dikhawatirkan, preseden ini membuat Moskow gampang menggerakkan militer, misalnya untuk meredam aksi negara-negara bagian yang bersuara menentang kebijaksanaan pusat. Apalagi terhadap negara bagian yang berniat minta hak otonomi atau merdeka sama sekali. Yang dicemaskan dalam waktu dekat, berkaitan dengan faktor militer ini, seandainya dalam pemilu Desember nanti Yeltsin kalah, dan kelompok garis keras menang. Adakah jaminan Boris Yeltsin tak akan menggunakan tentara untuk naik kuasa? Dan bila itu terjadi, seberapa jauh kekompakan militer akan bertahan? Tidakkah akan terjadi perang saudara? Tak jelas benar, dari 1,7 juta personel militer, berapa yang benar-benar mendukung Yeltsin dan berapa yang mendukung karena gaji dinaikkan. Yang jelas, dalam bentrokan pekan lalu, hanya kesatuan ibu kota yang bergerak: Divisi Tank Kantemir, Pasukan Para Tula, dan Divisi Taman. Kesatuan yang dipusatkan di luar Moskow belum ketahuan condong ke mana. Itu akan diuji bila terjadi krisis di seluruh Rusia. Sebaliknya, bila pemilu Desember nanti berjalan bersih, dan semua pihak menerima hasilnya dengan jiwa besar, Rusia akan menjadi contoh bagaimana negeri totaliter berubah menjadi demokratis dengan sistem politik multipartai. Tapi tetap ada aral yang bisa melintang. Yakni bila Khasbulatov dan Rutskoi yang tetap ditahan menjadi martir, dan menggerakkan sejumlah pendukungnya. Kembali skenario kekacauan, mungkin perang saudara, yang mungkin terjadi. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini