Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Thailand menyetujui amademen regulasi terkait narkotika. Salah satu tujuannya, untuk memberi ruang lega terhadap perusahaan swasta yang membudidayakan tanaman ganja untuk produksi obat-obatan atau kepentingan medis lainnya.
Amandemen tersebut juga memberikan kelonggaran pada pasien. Begitu amandemen itu berlaku, pasien boleh memproduksi, mengekspor, mengimpor, ataupun menjual daun ganja untuk kepentingan medis. Saat ini, amandemen tersebut sedang menjadi proses evaluasi legal sebelum disahkan.
"Regulasi yang ada akan mempromosikan industri farmasi Thailand serta meningkatkan daya saing di industri daun ganja untuk medis," ujar Menteri Kesehatan Masyarakat Thailand, Anutin Charnivirakul, sebagaimana dikutip dari kantor berita Reuters, Selasa, 4 Agustus 2020.
Thailand adalah negara Asia Tenggara pertama yang melegalkan penggunaan daun ganja untuk kepentingan medis. Hal tersebut dilakukan Pemerintah Thailand pada tahun 2017 lalu dan sekarang klinik ganja semakin banyak ditemukan di sana.
Walau penggunaan dan peredaran ganja sudah dilonggarkan, hal tersebut tetap harus berada di dalam koridor medis. Dengan kata lain, segala produksi, distribusi, dan kepemilikan ganja harus berizin medis. Jika tidak, maka hukuman penjara 15 tahun dan denda senilai US$48 ribu (Rp704 juta) menanti.
Situasi di Thailand kontras dengan hukum yang berlaku di Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Di ketiga negara tersebut, kepemilikan dan penggunaan ganja masih dianggap tabu dan illegal. Pedagang ganja bahkan bisa dihukum mati.
ISTMAN MP | REUTERS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini