Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tillerson dan Jejak Kelam ExxonMobil

30 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Skor akhir pemungutan suara di Komisi Hubungan Internasional Senat itu seperti hasil pertandingan sepak bola di antara dua tim yang berlangsung ketat, bahkan ditentukan melalui adu penalti. Partai Republik, melalui semua anggotanya di Komisi, hanya unggul tipis 11-10 atas Partai Demokrat. Tapi pencapaian pada Senin pekan lalu ini cukup untuk meloloskan pencalonan Rex Tillerson sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat ke sidang paripurna Senat pekan ini.

Dengan dukungan Marco Rubio, John McCain, dan Lindsey Graham, tiga senator Republikan yang dianggap sebagai suara penentu, serta dominasi Partai Republik di Senat, sidang itu bisa dibilang hanya formalitas. Keberatan paling utama yang muncul di forum Komisi, seperti dikemukakan Ben Cardin, senator terkemuka dari Partai Demokrat, adalah hubungan Tillerson dengan Rusia dan "orientasi bisnisnya" yang bisa mengkompromikan kemampuannya sebagai diplomat tertinggi Amerika.

Dari luar ruang perdebatan Komisi, ada pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tak berjawab. Pertanyaan itu timbul, dan bakal terus mengemuka sampai pria 64 tahun tersebut menempati posisinya di kabinet, karena tak seorang pun tahu persis apa saja yang dia yakini. Latar belakangnya sebagai Chief Executive Officer ExxonMobil, menurut Vox, berarti "tak banyak yang bisa diketahui tentang bagaimana dia memahami kebijakan luar negeri Amerika".

Kedudukan sebagai pucuk pemimpin ExxonMobil itu justru menerakan jejak yang kelam. Di bawah Tillerson, ExxonMobil menjalin beraneka kesepakatan dengan rezim otoriter di berbagai penjuru dunia—termasuk dengan diktator brutal seperti Teodoro Obiang Nguema Mbasogo, Presiden Guinea Khatulistiwa sejak 1979. Bahkan tak jarang ExxonMobil malah aktif merongrong kebijakan luar negeri Amerika. Pada 2011, saat Amerika berupaya mendorong perjanjian bagi hasil minyak dengan Irak demi mengukuhkan persatuan antara kaum Sunni, Syiah, dan Kurdi, ExxonMobil berkeras meneken kesepakatan hanya dengan kaum Kurdi untuk mengeksplorasi minyak di wilayahnya.

Yang tak luput dari upaya pengungkapan berkaitan dengan proses dengar pendapat di Senat adalah keterkaitan ExxonMobil dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Kasus yang paling menonjol terjadi di Aceh, lokasi eksplorasi gas ExxonMobil.

Sebuah gugatan yang diajukan di Amerika Serikat oleh 11 korban dan istri korban pada 2001 mengungkap adanya penahanan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan terhadap warga Aceh oleh militer yang dipekerjakan ExxonMobil. Gugatan lain, atas nama empat lagi korban, diajukan pada 2009. Kedua gugatan ini menyebutkan eksekutif tingkat tinggi ExxonMobil "menyetujui pengerahan militer, termasuk lokasi yang mana dan tugas apa yang mesti dijalankan oleh personel militer". Nama Tillerson, yang pada 2001 itu menjabat Wakil Presiden ExxonMobil, disebut khusus.

Di pengadilan, ExxonMobil tak berargumen bahwa kejahatan-kejahatan itu tak pernah terjadi. Yang dipersoalkannya adalah hak para penggugat untuk membawa perkara mereka ke pengadilan di Amerika. Pemerintah Indonesia kala itu juga menentang gugatan ini. Keberatan ExxonMobil belakangan, pada 2015, digugurkan oleh putusan hakim pengadilan distrik di Washington, DC, yang membuka lebar-lebar peluang bagi siapa pun warga negara asing untuk menggugat pelanggaran hak asasi oleh perusahaan Amerika.

Sejauh ini kasus itu masih bergulir di Pengadilan Distrik Columbia. Kekhawatiran sudah timbul sejak nama Tillerson muncul sebagai calon Menteri Luar Negeri, karena adanya potensi konflik kepentingan. Dalam kasus gugatan warga Aceh, dia bisa merealisasi apa yang dikemukakannya dalam dengar pendapat di Komisi untuk "menghindari semua masalah yang terkait dengan ExxonMobil selama menjadi Menteri Luar Negeri". Dia bisa merekomendasikan agar pengadilan menghentikan persidangan demi hubungan baik Amerika dengan Indonesia. Sebuah putusan pengadilan pada 2011 membuka peluang bagi tindakan ini.

Menurut Marco Simmons—pengacara di EarthRights, lembaga hak asasi manusia dan lingkungan—Tillerson mesti menjauhkan diri dari pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kasus itu. Jika Departemen Luar Negeri mencampuri urusan pengadilan, hal ini "akan memperlihatkan tingkat intervensi politik terhadap pengadilan yang sebelumnya tak pernah terjadi". "Tindakan ini akan sangat keterlaluan politisnya sehingga sulit sekali memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh pengadilan," katanya.

Purwanto Setiadi (BBC, Climate Home, Democracy Now, The Guardian, Mother Jones, VOX)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus