Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persekusi itu berlangsung di balik pintu tertutup. Tak ada masyarakat internasional yang bereaksi tatkala seorang istri pesakitan menulis sepucuk surat kepada Perdana Menteri Inggris Theresa May, Desember tahun lalu. "Suamiku, Muhammad Ramadan, akan dieksekusi pada hari-hari ini," tulis sang nyonya.
Tanggapan yang ditunggu tak juga nongol, sampai akhirnya mereka menyudahi hidup Muhammad Ramadan dan dua orang lainnya di hadapan regu tembak, di Ibu Kota Manama, Ahad lalu, tepat satu minggu setelah majelis hakim pengadilan tinggi menjatuhkan vonis. Pemerintah Bahrain menyatakan ketiga penganut Syiah tersebut telah mengaku bersalah atas tewasnya tiga orang polisi dalam sebuah serangan bom di negeri itu, Maret 2014. Namun, menurut surat dari istri yang gagal menyelamatkan hidup suaminya itu, pengakuan tersebut tak bersandar pada fakta.
Muhammad Ramadan mengaku bersalah setelah dia disetrum, dipukuli, dipaksa berdiri tegak berhari-hari, dibiarkan telanjang di dalam selnya yang dingin, dan dipaksa mendengar teriakan pesakitan lain yang tengah disiksa. "Mereka juga mengancam memerkosa saya dan anggota keluarga lain di depan matanya," tutur istri yang tak sanggup menghapus apa yang dialami suaminya dari ingatannya itu.
Polisi menangkap lelaki 30-an tahun itu di bandar udara internasional Manama di suatu hari pada 2014. Mereka menahan Ramadan dan dua rekannya dengan alasan telah "mengorganisasi, menjalankan, dan membiayai kelompok teror (Brigade Al-Ashtar) yang bertujuan melancarkan serangan teroris."
Namun, di mata sang istri, Ramadan lelaki yang percaya pada hak asasi manusia, demokrasi, dan transparansi. Ia turun ke jalan bersama ratusan aktivis lainnya seraya menuntut pemerintah menaruh hormat pada nilai-nilai itu. Sebagai seorang pegawai negeri, dia tahu risiko yang akan dihadapinya. Tapi dia mencoba tak memikirkannya.
Empat hari dia tak pulang ke rumah, hingga akhirnya terdengar kabar bahwa ayah dua anak itu sedang menjalani hari-harinya yang mengerikan di penjara, sambil menunggu putusan pengadilan. Lembaga seperti Bahrain Institute for Rights and Democracy dan Amnesty International memang cepat menyebarkan rencana eksekusi itu, sekaligus menuntut tanggung jawab pemerintah Inggris—yang selama ini melatih dan membekali kepolisian Bahrain dengan aneka persoalan hak asasi manusia. Namun persekusi terhadap aktivis seperti Ramadan dan mayoritas Syiah di Bahrain rupanya terlalu sayup untuk didengar dunia luar.
Seperti perang yang berlarut-larut dan membawa mudarat bagi penduduk sipil di Yaman, represi terhadap mayoritas Syiah—70 persen lebih dari jumlah penduduk—di Bahrain semenjak pecah protes pertama, 14 Februari 2011, rupanya tidak cukup memancing perhatian dunia.
Di sana ada pemerintahan Raja Bahrain Hamad bin Isa Al Khalifa, yang tidak memiliki reputasi terpuji dalam urusan hak asasi manusia. Namun Amerika Serikat dan Inggris, yang mempunyai pangkalan militer di Bahrain, juga memilih status quo ketimbang perubahan yang diharapkan Ramadan dan kawan-kawan.
Di sana, persoalan mayoritas-minoritas diringkas dan dipolitisasi menjadi sebuah kontestasi klasik: Arab yang Sunni (Arab Saudi dan negara-negara Teluk) melawan Iran yang Syiah. Demi kepentingan Amerika dan Inggris yang bersekutu dengan Raja Hamad bin Isa Al Khalifa, demokrasi dan Musim Semi Arab tak lagi diperhitungkan.
Bahrain saat ini bukan negeri yang menyenangkan bagi para pencinta demokrasi. Dari 650 ribu penduduknya, 2.600 orang lebih meringkuk di penjara sebagai tahanan politik. "Dan banyak anak-anak yang dipenjara," ucap seorang mantan anggota parlemen dari Partai Wafaq, yang meminta namanya dirahasiakan. Wafaq adalah partai Syiah yang semenjak tahun lalu dinyatakan sebagai partai terlarang.
Politisasi masalah mayoritas-minoritas ini telah menjadi senjata yang paling ampuh untuk menyudutkan orang-orang yang berani memperjuangkan demokrasi dalam gelombang Musim Semi Arab. Bukan cuma retorika demi membendung pengaruh Syiah Iran, tank-tank Arab Saudi dan Uni Emirat Arab bergerak masuk Bahrain, membantu Raja Hamad bin Isa Al Khalifa menumpas gerakan protes pada 2011 ini.
Seperti tudingan "antek PKI" di Indonesia, tiada yang lebih merepotkan daripada tuduhan "kaki tangan Iran" di kerajaan kecil yang terjepit oleh Arab Saudi, Iran, dan Uni Emirat Arab ini. Sejauh ini, pemerintah punya kebiasaan mencabut kewarganegaraan orang-orang Bahrain yang dinilai telah menghasut masyarakat dan main mata dengan Iran. Dengan dakwaan itu, pemerintah telah mencabut kewarganegaraan 300 orang. Contohnya Issa Qassim. Kewalahan menghadapi khotbahnya yang kritis dan membakar, pemerintah mencabut kewarganegaraan ulama Syiah, Issa Qassim, lalu mendeportasinya ke Mesir.
Enam tahun melancarkan cara-cara represif untuk membungkam protes, pemerintah Raja Hamad bin Isa Al Khalifa mulai memetik buahnya: rasa takut yang tertanam di benak penduduk. Mereka mengendus gelagat ini pekan lalu. Eksekusi Muhammad Ramadan dan dua rekannya pada Ahad lalu—menyusul Sami Mushaima, Ali al-Singace, dan Abbas al-Samea— hanya menuai riak-riak kecil: demonstrasi sporadis yang tak bertahan lama di wilayah-wilayah Syiah di Manama.
Seorang ulama–dia juga meminta dirahasiakan namanya—membandingkan kondisi sekarang dengan keadaan pada 2011. "Lupakan saja ribuan orang yang bergabung dalam demonstrasi raksasa waktu itu. Kini sulit sekali mendapatkan sepuluh orang yang bersedia menanggung risiko dipenjara selama lima tahun dan disiksa demi perjuangan," katanya.
Sebenarnya, Raja Hamad bin Isa Al Khalifa yang sudah berkuasa selama 18 tahun itu merupakan "musuh bersama" kelompok Syiah dan Sunni di Bahrain. Namun politisasi masalah mayoritas Syiah dan minoritas Sunni yang kencang, ditambah dukungan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, membuat minoritas Sunni tak kuasa membentuk suatu front bersama antidinasti Al Khalifa. Keadaan ini berakibat panjang.
Gejala sektarianisme kini mulai tampak di tempat-tempat publik. Di Kota Hamad, bendera para imam berkibar di perumahan komunitas-komunitas Syiah, sementara wilayah Sunni mengibarkan bendera nasional Bahrain. Kini, di mata banyak orang Sunni, daerah-daerah yang dihuni oleh komunitas Syiah merupakan lokasi yang perlu dihindari. Masyarakat terbelah dua, bukankah ini yang dikehendaki para penguasa yang hendak berkuasa mutlak dan lama...?
Idrus F. Shahab
(The Guardian, BBC, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo