Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Timor timur dari sisi hastings

Harian the sydney morning herald menulis tentang beberapa pembangunan oleh pemerintah ri di timor timur wawancara tempo dengan peter hastings, penulis artikel yang tahu banyak soal indonesia.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK banyak, memang, media asing yang menyorot usaha pembangunan Indonesia. Apalagi media Australia. Tapi Anda jangan kaget bila belakangan ini menjumpai sebuah tulisan bernada simpati kepada Jakarta. Lebih-lebih karena artikel itu dimuat dalam harian The Sydney Morning Herald (TSMH) - sebuah koran Australia yang dikenal kritis terhadap Indonesia. Ulasan berjudul "East Timor's War in Facts and Figures", yang diterbitkan Senin pekan lalu itu, ditulis oleh Peter Hastings, 65, seorang wartawan senior yang "tahu banyak" soal Indonesia. Dalam tulisannya, ia mengungkapkan beberapa pembangunan yang dilakukan pemerintah Indonesia di Timor Timur. "Kini bisa dijumpai sejumlah jalan aspal yang licin yang menghubungkan antarkota, sejumlah rumah sakit, dan sejumlah bangunan sekolah, di sana. Hal yang tak akan dijumpai ditahun 1960-an, ketika daerah itu dikuasai Portugis," demikian pujian Hastings. Selanjutnya, di situ disebut nama tiga warga Australia - Dr. Ross Fitzgerald dari Brisbane, Eric Sidoti, sekretaris Commission for Justice and Peace, dan Pat Walsh, sekretaris Australian Council on Overseas Aids - sebagai "Bleeding Heart Figures". Soalnya, laporan ketiga orang tersebut mengenai Timor Timur, yang diterbitkan di harian yang sama, dua pekan lalu, dinilai Hastings sebagai tulisan yang kurang seimbang dan kurang akurat. Laporan bersambung, yang dilengkapi pula dengan foto-foto hasil selundupan dari Tim-Tim untuk dikirimkan ke badan amnesti internasional, itu dinilainya sebagai laporan yang "dibuat berdasarkan desas-desus, dan sudah basi." Mungkin karena itu Peter Hastings terpanggil untuk menyajikan berita lurus. Atau mungkin juga karena ia sudah berubah sikap ? Koresponden TEMPO, Dewi Anggraeni, awal pekan ini berwawancara singkat dengannya di Sydney. Kutipannya: Tampaknya pandangan Anda tentang Indonesia berubah. Benarkah? tidak, Saya tak pernah berubah haluan. Sikap saya terhadap Indonesia masih sama. Saya tetap tidak setuju dengan integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Tapi saya akui bahwa pemerintah RI telah memperlihatkan maksudnya yang murni, dengan usaha perbaikan yang ada di Tim-Tim. Laporan ketiga Fritzgerald dkk. sama sekali tak menolong keadaan di Tim-Tim sendiri, karena tak berdasarkan fakta. Mereka pun tak mengakui segala usaha pemerintah RI. Bagaimana mungkin mereka bilang ada sekitar 30.000 tentara RI untuk menumpas gerakan anti-pemerintah. Paling-paling 'kan 12.000. Itu pun sebagian untuk pekerja sipil dan administrasi saja. Ada pula isu matinya 250 ribu orang Tim-Tim yang tersebar di Australia maupun di negara lain. Itu bukan fakta. Hanya desas-desus belaka. Dari mana Anda dapatkan data itu? Oh, itu dari Jakarta. Meskipun saya tak boleh ke Jakarta, bukan berarti sudah putus hubungan. Saya benar-benar masih berminat kepada Indonesia. Jadi, Anda masih mengecam integrasi Tim-Tim? Ya, masih. Yang saya kecam adalah caranya. Mungkin integrasi tak dapat dihindarkan tapi caranya bisa lebih baik. Tapi semuanya sudah terjadi. Yang penting kini adalah, kita semua berusaha agar semuanya bsa berjalan lancar. Anak-anak muda Tim-Tim akan lebih bersimpati terhadap Jakarta, karena mereka dibesarkan dalam suasana Indonesia. Bukan lagi Portugis. Mereka berbahasa Indonesia dan berpikir Indonesia. Tak ada gunanya membesar-besarkan masa lampau. Menggunjingkan hal itu, dan menyebarkan berita bohong tentang Indonesia, tidak akan memuluskan hubungan Australia-Indonesia. Tidak. Saya tidak berubah sikap. Saya masih sahabat seperti dulu, seperti yang pernah dilontarkan Almarhum Adam Malik. Walaupun sahabat itu tajam penanya. Bagaimana komentar Anda tentang rencana kunjungan Menlu Bill Hayden ke Indonesia awal bulan ini? Saya tak tahu pasti hal itu. Mungkin Bill Hayden menjajaki kemungkinan Indonesia menerima kembali wartawan Australia. Hubungan Indonesia-Australia pertama kali meruncing gara-gara wartawan. Dimulai dengan kematian lima wartawan Australia di Balibo, Timor Timur, 16 Oktober 1975. Tidak jelas siapa yang menembak mereka, tapi Asosiasi Wartawan Australia (AJA) tetap menuntut agar Jakarta mengakui, lima wartawan itu tewas ditembak tentara Indonesia. Peristiwa terakhir yang cukup memanaskan hubungan kedua negara adalah tulisan David Jenkins di harian TSMH, April 1986. Artikel ini dinilai Jakarta sangat menghina pribadi Presiden RI. Didi Prambadi, Laporan Dewi Anggraeni (Melbourne)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus