SUDAH ada titik terang dari pembicaraan Mesir-Israel mengenai
otonomi Tepi Barat Jordan dan Jalur Gaza. Tapi wakil bangsa
Palestina masih belum dibawa serta--suatu batu penghalang bagi
tercapainya perdamaian menyeluruh di Timur Tengah. Soalnya ialah
siapa yang harus bicara mewakili Palestina.
Menurut statistik PBB terakhir, jumlah orang Palestina yang
berdiam di beberapa negara berkisar 3 « juta. Di antaranya 1,1
juta orang di Tepi Barat Jordan dan Jalur Gaza, wilayah yang
diduduki Israel sejak perang 1967. Dan 1,2 juta orang berdiam di
Jordan, Suriah dan Libanon. Sedang di Kuwait dan negara Teluk
Aqaba ada 400 ribu orang, sementara di wilayah Israel sendiri
500 ribu orang. Selebihnya atau sekitar 100 ribu orang di negara
Arab dan non Arab.
Walaupun teryencar, orang Palestina ini tak berarti kehilangan
identitas. Terutama mereka yang ada di 63 tempat penampungan
pengungsi -- yang tersebar di wilayah Tepi Barat, Jalur Gaza,
Jordan, Suriah dan Libanon--hampir sejuta orang. Secara tak
langsung mereka yang terusir itu telah 'berpemerintahan
sendiri' yang diatur oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
Dengan dukungan ekonomi negara Arab, tentu saja. Karena itu pula
Israel masih tetap khawatir dengan rencana otonomi untuk kedua
wilayah itu sebagai tindak lanjut dari perjanjian Camp David.
Moshe Dayan, Menlu Israel, dalam jumpa pers di Strasbourg pekan
lalu mengatakan bahwa Israel bermaksud memberikan otonomi
sepenuhnya kepada 1,1 juta penduduk Tepi Barat Jordan dan Jalur
Gaza. Namun dia mengingatkan, "jika PLO masuk dan ikut berperan
di wilayah itu, kami tak akan membiarkannya, bahkan kami akan
mengirimkan pasukan kembali ke sana."
Pernyataan Dayan ini mencerminkan bahwa Israel belum bisa
menerima kemungkinan PLO terlibat secara langsung di wilayah
yang akan diberi hak otonom itu. Tapi Menlu Mesir, Butros Ghali,
yang duduk semeja dengan Dayan dalam jumpa pers itu menjawab
dengan agak marah: "Sekali anda keluar dari wilayah itu, anda
tak ber!lak kembali. Ke luarnya Israel adalah pasti, dan tak ada
kelompok Palestina yang akan menerima segala bentuk
protektorat." Dayan dan Ghali di Strasbourg menghadiri pertemuan
Dewan Eropa.
Apakah suara Mesir itu menandakan Israel makin terdesak. Sulit
dijawab. Namun ada kesan terakhir ini bahwa popularitas PLO
makin meningkat (TEMPO 6 Oktober). Cuma masih ada persoalan
besar antara 'otonomi' sebagaimana yang disepakati Mesir-Israel
dan 'negara Palestina berdaulat' yang menjadi tuntutan PLO dan
dunia Arab pendukungnya. Selain itu, ada lagi soal
internasionalisasi kota suci Jerusaiem, seperti diusulkan Paus
John Paul II dalam pidatonya di Majelis Umum PBB dua pekan lalu.
Ketiga rangkaian masalah ini kelihatan masih akan tetap sulit
dipecahkan tanpa partisipasi wakil bangsa Palestina. Wartawan
Reuter Bernard Edinger melaporkan dari Tepi Barat Jordan bahwa
semua penduduk di wilayah itu jelas mendukung PLO. Bahkan mereka
juga menerima kepemimpinan Yasser Arafat dalam memperjuangkan
hak rakyat Palestina. Sebaliknya, Israel dan juga Amerika
Serikat sampai sekarang tak mau menerima PLO sebagai wakil sah
rakyat Palestina.
Tapi harapan untuk diakuinya PLO masih ada. Kunjungan Pendeta
Jesse Jackson, tokoh kulit hitam AS, ke Tepi Barat Jordan dan
pertemuannya dengan Arafat di Libanon memberi kemungkinan akan
adanya perobahan sikap AS.
Dalam suatu pernyataannya di Beirut, Jackson telah menghimbau AS
agar mengakui PLO dan meninjau kembali peranannya di Timur
Tengah. Ketika bertemu dengan Walikota Jerusalem Teddy Kollek,
bahkan Jackson mengingatkan bahwa kaum kulit hitam AS memiliki
sejumlah 15 juta pemilih yang terdaftar, yang tak akan
mentolerir setiap bentuk kebijaksanaan pemerintah AS yang pro
Israel.
Karena, menurut Jackson, itu bisa melibatkan AS pada perang di
Timur Tengah atau mengurangi masuknya minyak dari dunia Arab ke
AS. Dalam dua kasus itu katanya, "orang yang saya wakili (kulit
hitam) adalah yang pertama kali bakal mati, atau yang pertama
kali akan kedinginan pada musim dingin."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini