TINDAKAN itu akhirnya datang juga Haji Andi Mapetaheng Fatwa,
40 tahun pegawai DKI Jaya yang pernah ditahan itu, dipecat.
Sebelumnya dia memang sudah merasa itu akan terjadi. Tapi
alangkah sedihnya AM Fatwa ketika pemecatan yang langsung
ditandatangani Mendagri Amirmachmud 24 September lalu, telah
diberi embel-embel "tidak dengan hormat."
Apa pasal? Fatwa, yang ditahan selama 9 bulan sejak Januari
tahun lalu, dituduh "telah melanggar sumpah jabatan." Dia juga
didakwa telah "menghasut masyarakat untuk tidak percaya pada
Pemerintah." Orang pun menghubungkan pemecatan yang total itu
dengan isi khotbah AM Fatwa di hari Lebaran di lapangan Pulo
Mas, Jakarta. Mengecam berbagai tindakan pemerintah dan keadaan
sekarang, isi khotbah yang berani itu juga meragukan
keberhasilan berbagai penataran yang "menghabiskan puluhan
milyar rupiah." (TEMPO, 8 September).
Gubernur Tjokropranolo, yang mengusulkan pemecatan itu, dan
Wakil Gubernur Bidang IV sebagai atasan Fatwa, sebelum khotbah
Idulfitri itu kabarnya sudah memperingatkan bawahannya itu.
Terakhir dia penata muda tingkat I (Gol. III). Dan sebelumnya
pernah menjabat Kepala Sub Direktorat Pembinaan Masyarakat DKI
Jaya.
Sejak keluar dari tahanan, ayah dari empat anak itu sebenarnya
tak lagi diberi jabatan yang jelas, sekalipun boleh masuk
kantor. Oleh atasannya dia bahkan disarankan agar minta berhenti
saja. "Pulanglah ke rumah, rundingkan dengan isteri baik-baik,"
kata pejabat itu.
Tapi Fatwa menolak. Kalau saja dia menjalankan 'nasehat'
atasannya itu, agaknya nasibnya tak akan sejelek sekarang. Kini,
setelah jatuh palu pemecatan tidak dengan hormat itu, dia
sungguh kehilangan segala haknya sebagai pegawai negeri.
Kunci
A.E. Manihuruk, Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara,
kepada TEM PO menyatakan AM Fatwa, "tak mendapat apa-apa."
Adilkah itu? UU Kepegawaian tahun 1974 antara lain menyebutkan,
seseorang bisa diberhentikan tidak dengan hormat, karena dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan
suatu tindak pidana kejahatan dengan hukuman penjara 5 tahun
atau lebih.
Dalam UU itu juga disebutkan soal pemberhentian sementara
Pegawai negeri dikenakan pemberhentian sementara karena yang
bersangkutan ditahan sementara oleh pihak yang bcrwajib, karena
didakwa telah melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan.
Gubernur DKI Tjokropranolo selesai melihat peragaan truk sampah
di Dinas Kebersihan, tak banyak komentar. "Apa yang sudah
diputuskan Menteri, tentunya sudah dipertimbangkan masak-masak,"
katanya. Juga menurut Manihuruk, tanpa memberi peringatan
sebelumnya kepada yang bersangkutan pun, "Menteri, berdasarkan
pertimbangan cermat, bisa langsung memuIukan pemecatan tidak
dengan hormat."
Kalau benar demikian, seperti kata Fatwa sendiri, dia merasa
dihadapkan pada "kunci mati": tak bisa kerja lagi di pemerintah.
Sedang swasta pun akan takut menerimanya, katanya.
Kini Fatwa memang lagi memperjuangkan nasibnya. Pekan lalu dia
sudah ke DPR dan diterima Sabam Sirait, Ketua Komisi 11. "Saya
minta DPR menggunakan hak kontrolnya," katanya. Dia juga sudah
ke LBH, yang bersedia memberi nasehat hukum. Dan Ny. Tuti
Hutagalung SH dari LBH, yang ditugasi membantu Fatwa, sedang
menyusun pembelaan bagi dirinya.
Bagaimana pun, seorang pegawai negeri yang diberhentikan tidak
dengan hormat, mempunyai hak untuk membela diri selama tenggang
waktu 14 hari semenjak keputusan jatuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini