MULAI Sabtu minggu ini para anggota DPR reses, setelah
membicarakan RUU Pemerintahan Desa dan sebuah RUU yang dimaksud
merupakan perubahan bagi UU Pemilu yang telah ada. Pemandangan
umum fraksi dalam sidang pleno Kamis lalu cukup ramai.
Sebelumnya Badan Musyawarah awal bulan ini sudah memutuskan
untuk membicarakan hal itu dalam sebuah Panitia Khusus (Pansus),
bukan dalam Komisi. Bagi Pemerintah, itu berarti efisiensi, juga
untuk 'mengamankan' beberapa perubahan dalam pasal tertentu.
Mungkin begitu pula bagi F-KP dan F-ABRI.
Tapi pihak parpol tampaknya juga bisa mengambil keuntungan dari
persidangan Pansus. Mereka lebih mungkin untuk mengirim para
wakil yang dianggap lebih 'jago'. "Sebab tidak semua anggota
komisi menguasai soal politik dan bicara politis," ujar seorang
anggota DPR dari parpol.
Cukup banyak perubahan yang diajukan Pemerintah lewat Mendagri.
Tapi dua hal yang banyak dipersoalkan, terutama oleh parpol,
ialah soal tanda gambar dan keikut-sertaan mereka secara aktif
dalam penyelenggaraan pemilu. Perubahan yang diajukan berbunyi:
"tidak boleh digunakan tanda gambar yang dapat menimbulkan
pertentangan yang berakibat terganggunya persatuan dan kesatuan
bangsa." Juga, "dan tanda gambar yang sama atau mirip dengan
lambang negara R, lambang negara asing, bendera Merah Putih,
bendera kebangsaan asing, gambar perorangan."
Adakah tanda gambar ketiga kontestan pemilu terkra Tanda
gambar Beringin-Golkar dan Banteng-PDI misalnya, mungkin bisa
dianggap mirip dngan 2 dari lambang 5 sila dalam perisai Garuda
Pancasila--lambang negara RI itu.
Ka'bah-PPP? Barangkali inilah yan bisa disebut "dapat
menimbulkan peltentangan". Kenapa? "Kalau tanda gambar Ka'bah
jatuh atau kebetulan terinjak, kan bisa menimbulkan
pertentangan," ujar Sugiharto ketua Fraksi Karya. G,olkar
sendiri konon akan ganti tanda gambar. "Sebab beringin mungkin
dianggap pohon keramat," tambah Sugiharto.
Dikasih motor PDI, menurut Sekjen F-PDI Sabam Sirait,
"paling-paling bantengnya dikasih mata, agar bisa melek,"
katanya sambil tertawa. Tapi PPP bertekad tetap mempertahankan
Ka'bah.
Imam Sofwan, ketua F-PP yang mengkoordinir bidang politik
berkata: "Yang dimaksud 'menimbulkan pertentangan' itu apa?
Tanda gambar yang menimbulkan perpecahan baru dapat disebut
melanggar hukum bila hukumnya sendiri sudah ada. Dan hukum yang
mengatur itu sekarang sedang disusun."
Perubahan UU Pemilu memang diamanatkan MPR juga ikut sertanya 3
kontestan secara aktif sebagai penyelenggara. Dalam RUU, hal itu
memang disebut, tapi sebagai anggota saja. PPP minta wakil 3
kontestan duduk sebagai wakil ketua, mulai dari Lembaga Pemilu,
Panitia Pemilihan, Panitia Pemilihan tingkat I dan II serta
Panitia Pemungutan Suara.
PPP juga menghendaki perubahan nama Dewan Pertimbangan menjadi
Dewan Pengawas. Ketuanya pun diusulkan Ketua Mahkamah Agung (di
pusat), Ketua Pengadilan Tinggi (di daerah tingkat I) dan Ketua
Pengadilan Negeri (di daerah tingkat II).
Keinginan parpol ikut aktif dalam penyelenggaraan pemilu,
menurut Sudarko dari F-KP ada konsekwensinya. "Mereka harus mau
menjadi onderbouw Presiden sebagai pelaksana pemilu, dan karena
itu harus taat. Kalau mereka mau, justru merendahkan martabat
mereka sebagai kekuatan sospol," katanya.
Menganggap RUU "hanya sedikit lebih maju," bagi Sudarko "tidak
akan berarti kalau pelaksana dan peserta pemilu tidak mentaati
aturan permainannya." Pihak parpol setuju, meskipun Sabam Sirait
kecewa karena Pemerintah tidak menyetujui hari pencoblosan
diliburkan. Tapi ia tetap berharap agar pemerintah dan ABRI
"berdiri di atas segala golongan" dalam pemilu nanti.
Imam Sofwan memberi contoh aturan permainan yang tidak ditaati
dalam pemilu 1977 lalu. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan,
wakil parpol sering ditinggalkan. "Mereka dikasih motor lantas
ditinggalkan," katanya tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini