LEBIH seminggu setelah pembantaian massal atas orang Benggali
oleh penduduk asli Assam di negara bagian India itu, polisi dan
tentara masih terus mengumpulkan mayat berserak. Angka resmi
mengatakan 1.127 orang mati dalam kerusuhan yang berlangsung
selama tiga pekan di Assam. Angka tida resmi menyebut lebih dari
3.600 orang mati. Jumlah sebenarnya mungkin tidak akan pernah
diketahui.
Kerusuhan itu bermula dengan dibantainya 430 orang Muslim asal
Benggali dan mencapai puncaknya pekan lalu ketika penduduk asli
Assam, yang beragama Hindu menyerbu dan membakar 17 desa orang
Benggali. Penduduk desa itu diserang dengan panah, tombak,
parang dan senjata api. Sebagian besar korban adalah wanita dan
kanak-kanak. Mereka dibacok, dicincang dan dipenggal.
Seluruhnya, tidak kurang dari 29 desa Benggali dibakar rata
dengan tanah selama tiga minggu kerusuhan itu. Tak terhitung
lagi yang luka. Sekitar 50.000 kehilangan tempat tinggal.
Pembantaian terbesar terjadi di Nellie, suatu daerah seluas 50
km2, kurang lebih 720 km di sebelah timur-laut Kalkuta. Penduduk
asli itu merasa terdesak oleh pendatang dari Benggala Timur.
Mereka dinamakan "imigran gelap" yang masuk ke Assam sesudah
tahun 1971. Mereka sebenarnya mengungsi dari Pakistan Timur
ketika wilayah itu memberontak terhadap pemerintah Islamabad dan
mendirikan neeara Bangladesh.
Benih perselisihan itu sendiri sudah ditaburkan ketika India
masih di bawah kekuasaan Inggris. Sejak 80 tahun lalu penjajah
mendatangkan orang Muslim Benggali ke Assam untuk bekerja di
perkebunan, membuat jalan dan membangun rel kereta api.
Pendatang itu kemudrian menetap dan bekerja di Assam. Mereka
giat bekerja mengolah tanah pertanian dan banyak yang bahkan
membeli tanah dari penduduk asli yang menikmati hidup adem-ayem
saja.
sejak kemerdekaannya, India beberapa kali mengalami kerusuhan
komunal. Salah satu yang terbesar terjadi tahun 1951. Tetapi
kerusuhan di Assam dalam Februari itu adalah yang terbesar
sepanjang sejarah India. "Saya sulit menemukan kata untuk
menggambarkan tragedi itu," kata Perdana Menteri Ny. Indira
Gandhi setelah mengunjungi beberapa daerah. yang dilanda
kekejaman orang Hindu Assam. Dan di New Delhi, Lok Sabha
(parlemen) menyetujui suatu resolusi "meneutuk pembunuhan kejam
dan tindak kekerasan" di Assam itu.
Kebencian orang Hindu Assam terhadap Benggali Islam pernah juga
muncul tahun 1979, ketika sejumlah mahasiswa militan Assam
menuntut supaya pendatang itu diusir. Tetapi tidak ada
kesepakatan Persatuan Mahasiswa Assam (AASU) tengan All Assam
Gana Sangram Parishad (AAGSP), yakni persatuan rakyat Assam yang
Marxis, dan pemerintah pusat di New Delhi meneenai batas waktu
pendatang itu dapat disebut warga negara.
Kedua organisasi militan itu mengatakan bahwa semua orang
Benggali yang datang ke Assam sesudah akhir 1950 harus dianggap
orang asing. Tetapi New Delhi tidak dapat memulangkan orang
Benggali yang mengungsi ke Assam ketika meletus revolusi
Bangradesh karena pertimbangan kemanusiaan. Perselisihan ini
dipertajam oleh perbedaan kebudayaan, agama, bahasa dan aliran
politik antara penduduk asli Assam dan orang Benggali.
Di Assam, orang beragama Hindu cenderung komunis atau pendukung
partai oposisi. Pendatang Benggali beragama Islam biasanya
mendukung Partai Congress I (Indira). Antara 1951 dan 1971,
pemerintah memang memulangkan sekitar 1,9 juta orang Benggali
yang dianggap sebagai pendatang gelap. Sisanya masih ada sekitar
2,8 juta yang diakui sebagai warga negara. Tetapi, dalam
pemilihan di Assam menunjukkan keanehan. Penduduk berbahasa
Benggali itu tercatat jumlahnya meningkat dari 6,3 juta di tahun
1972 menjadi 8,6 juta pada 1979.
Penduduk asli Assam yang beroposisi sejak semula menuntut supaya
hak orang Benggali untuk memilih dibatalkan. Mereka juga menuduh
bahwa pemerintah dengan sengaja membiarkan imigran gelap itu
masuk demi memperbanyak suara pendukung Partai Congress I.
Akhirnya, perbedaan agama dan kebudayaan serta aliran politik
itu mulai meledak (2 Februari) - hampir dua minggu sebelum
pemilihan di negara bagian itu dilakukan.
Kaum penghasut anti-Benggali berhasil mempengaruhi penduduk asli
Assam yang kemudian menyerbu desa-desa imigran itu. Dilip
Ganguli melukiskan sebagian dari pemandangan yang mengerikan itu
dalam harian South China Morning Post. "Laki-laki itu mendayung
pelan ke tengah sungai, membungkuk sedikit dan mencium badan
putranya yan sudah membusuk, lalu melepaskannya ke air,"
tulisnya. "Tanpa menghiraukan hujan gerimis, dia melakukan hal
serupa bagi jenasah istrinya dan kedua putrinya. Dalam berdoa
bagi keluarganya yang telah dibantai itu, dia terkejut menemukan
sebelah lengan yang terlepas masih di dalam perahu. Ini juga
dimasukkannya ke air."
Siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan itu? Pihak oposisi
menuduh bahwa PM Indira Gandhi secara moral bertanggung
jawab-karena memaksakan pemilu berlangsung di Assam, sekalipun
sudah mengetahui adanya tantapgan besar dari masyarakat di sana.
Partai Congress I memang kemudian memenangkan suara di Assam.
Tapi sebagian terbesar orang yang berhak memilih tidak pergi ke
tabung suara. Penduduk asli Assam memboikot pemilihan itu,
sementara sebagian besar orang Benggali tinggal di rumah karena
takut ancaman orang Assam.
Tetapi Ny. Gandhi menjawab, "Kenapa kami yang harus bertanggung
jawab? Senjata berada di tangan kaum penghasut. Kami hanya
melaksanakan ketentuan Undang-undang Dasar." Memang Konstitusi
India mewajibkan pemerintah pusat melakukan pemilihan umum di
Assam segera.
Assam tidak ikut dalam pemilu 1980 karena terjadi kerusuhan di
sana, dan sejak itu pemerintahan atas wilayah itu langsung
dilakukan dari New Delhi. "Tidak satu partai atau kelompokpun
berhak menjadikan negara sebagai sandera," kata Ny. Gandhi.
Dia mengemukakan bahwa pemerintahnya telah berusaha menjaga
keamanan di Assam dengan mengerahkan 50 batalyon tentara, polisi
dan para-militer ke negara bagian itu. Beberapa orang korban
akibat peluru petugas keamanan itu. Tetapi sekurang-kurangnya
dua polisi, termasuk seorang inspektur, mati dicincang orang
Assam. Dan mereka tidak hanya membakari rumah orang Benggali.
Mereka juga meledakkan rel kereta api dan jembatan untuk
merintangi gerakan pasukan keamanan dan pengiriman surat-surat
suara.
Maka Ny. Gandhi mengatakan kaum militan Assam itu bertanggung
jawab. "Mereka boleh saja tidak senang pada pemilihan, tetapi
apakah mereka punya hak menghentikannya?"
Sekarang, lepas dari siapa yang bertangung jawab, sekitar
50.000 orang Benggali di Assam kini kehilangan tempat tinggal
dan harus ditampung di gedung-gedung sekolah. Banyak yang harus
tidur beralaskan daun pisang beratap langit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini