Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada Ahad kemarin, warga Korea Utara ikut pemilu untuk memilih anggota parlemen, meskipun Korea Utara dikuasai oleh partai tunggal, Partai Buruh, yang mengusung penguasa dinasti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Korea Utara tetap menggelar pemilu lima tahunan untuk memilih anggota Majelis Rakyat Tertinggi, parlemen Korea Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari South China Morning Post, warga Korut memilih satu nama pada masing-masih surat suara, sesuai dengan slogan Pyongyang "Satu Pikiran".
Para pemilih memiliki kesempatan untuk mencoretnya sebelum memberikan suara mereka, tetapi tidak diketahui bagaimana praktiknya.
Menurut kantor berita Korut KCNA, jumlah pemilih yang terakhir kali adalah 99,97 persen, hanya mereka yang berada di luar negeri atau yang "bekerja di lautan" yang tidak ambil bagian. Dan hasilnya, pemungutan suara 100 persen mendukung calon yang disebutkan.
"Kami menganggap semua orang di negara kami sebagai satu keluarga sehingga kami akan bersatu dengan satu pikiran dan kami akan memberikan suara untuk kandidat yang disepakati," kata pejabat Serikat Perempuan Sosialis Song Yang-ran, 57 tahun.
Umumnya, warga Korea Utara selalu menyatakan dukungan total kepada pihak berwenang ketika berbicara kepada media asing.
"Sistem kami adalah yang terbaik," kata Song ketika ditanya pendapatnya tentang pemilihan yang tertera beberapa nama di kertas surat suara.
"Kami tidak kenal siapapun kecuali pemimpin tertinggi (Kim Jong Un)," tambahnya.
Para pengamat menilai, karena tidak adanya kompetisi dalam pemilihan legislatif, maka pemungutan suara sebagian besar dilakukan sebagai ritual politik untuk memungkinkan pihak berwenang mengklaim mandat dari rakyat.
"Ini adalah hasil dari kelembaman kelembagaan yang mapan dan kebutuhan untuk melegitimasi pemerintah dengan mensimulasikan prosedur demokratis," kata Andrei Lankov dari Korea Risk Group.
Negara-negara Komunis bergaya Uni Soviet memiliki tradisi panjang dalam menyelenggarakan pemilihan umum, katanya, bahkan jika partai yang berkuasa mengabaikan aturannya sendiri tentang mengadakan kongres reguler, kongres yang tidak pernah lagi diselenggaraan Korea Utara selama lebih dari 30 tahun.
"Korea Utara hanya meniru semua negara Komunis lainnya," katanya.“Komunis masa-masa awal percaya bahwa mereka menghasilkan demokrasi yang belum pernah dilihat dunia. Jadi mereka membutuhkan pemilihan dan itu menjadi bagian yang sangat penting dari legitimasi diri."
Pemerintahan terakhir dari sebuah negara besar yang menolak pemilu adalah Nazi Jerman, kata Lankov.
Sejumlah warga Korea Utara, mengantre untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu anggota badan legislatif di Korea Utara, 10 Maret 2019. Jumlah pemilih sah yang terakhir kali terdaftar dalam pemilu kali ini adalah 99,97%, menurut kantor berita resmi KCNA. KCNA via REUTERS
Korea Utara dibagi menjadi beberapa daerah pemilihan, ada 686 dapil pada pemilihan terakhir pada tahun 2014, ketika Kim Jong Un berdiri di Gunung Paektu, gunung berapi aktif di perbatasan dengan Cina yang dipuja sebagai tempat kelahiran spiritual rakyat Korea.
Dia menerima partisipasi 100 persen dan 100 persen mendukung, menurut KCNA.
Beberapa kursi dialokasikan untuk dua partai kecil, Partai Sosial Demokrat Korea dan Partai Chondoist Chongdu, yang berakar pada gerakan keagamaan Korea abad ke-20.
Mereka berdua dalam aliansi formal dengan partai yang berkuasa. Pengamat dan diplomat mengatakan mereka ada hanya "di atas kertas", dengan kantor pusat kecil yang dikelola untuk tujuan propaganda.
Meski begitu, partisipasi dalam pemilu, seperti ritual wajib propaganda lainnya di Korea Utara, untuk memperkuat kesetiaan kepada pemerintah dan persatuan sosial, karena manusia suka simbolisme," kata Lankov.