SUATU terobosan lagi dicoba dari Kuala Lumpur. Lima belas negara sedang berkembang berkumpul di ibu kota Malaysia itu. Mereka berupaya menyiapkan langkah-langkah kongkret ke arah kerja sama di antara mereka sendiri. Itulah pertemuan 15 pemerintah (G-15) negara sedang berkembang yang lebih populer dengan sebutan Dialog Selatan-Selatan, yang berlangsung pada 1 sampai 3 Juni lalu. Banyak negara yang menganggap pertemuan tersebut sangat penting. Terbukti dengan hadirnya beberapa kepala negara: Presiden Soeharto dari Indonesia, di samping Perdana Menteri Mahathir sebagai tuan rumah dan beberapa kepala negara/perdana menteri dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dikatakan suatu terobosan baru karena selama ini kerja sama ekonomi regional tak berjalan dengan mulus. Ambil saja misalnya ASEAN yang kerja sama ekonominya tampak mandek karena banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satu contoh, umpamanya setiap anggota melempar komoditi yang sama ke pasaran dunia. Indonesia dan Malaysia misalnya harus berhadapan di pasaran internasional dalam penjualan timah dan kelapa sawit. Demikian juga dalam meng- undang investasi asing, hampir semua anggota ASEAN bersaing sesamanya. Itulah mungkin sebabnya organisasi itu lebih berfungsi sebagai wadah konsultasi politik di kalangan negara-negara Asia Tenggara ketimbang kerja sama ekonomi. Gagasan untuk kerja sama Selatan-Selatan itu sebenarnya adalah sebuah gagasan lama. Pada mulanya adalah Presiden Alan Garcia dari Peru yang punya gagasan untuk membentuk kelompok 15 ini. Menurut Garcia, di Utara ada Kelompok 7 yang terdiri dari negara-negara industri, lalu kenapa di Selatan tak ada mitranya? Padahal, di dunia ini perdagangan dan kehidupan ekonomi tak melulu harus didominasi oleh negara-negara maju. Juga, sering kepentingan Selatan banyak dirugikan oleh Utara. Maka, pada 1988 Presiden Garcia tergerak untuk memprakarsai pembentukan organisasi yang disebut Summit Level Group on World Economic Crisis. Gagasan itu dicanangkan untuk pertama kalinya pada saat KTT Nonblok di Caracas. Ada dua negara yang mendukung gagasan itu dengan serius yakni India dan Venezuela. Pada pertemuan berikutnya di Jenewa, Maret 1988, gagasan itu dicoba dimatangkan. Kemudian, sekitar Juni 1988 suatu utusan khusus Presiden Garcia datang menjumpai Presiden Soeharto, dan mulai saat itulah Indonesia terlibat. Mengapa Indonesia diajak serta? Alasannya lantaran Indonesia menjalankan politik luar negeri yang dianggap bagus. Ditambah lagi dengan pembangunan ekonomi yang dikategorikan berhasil sehingga punya bobot di dunia internasional. Ter- nyata, Indonesia menyambut baik ajakan ini walaupun Presiden Soeharto tak sepenuhnya menyetujui gagasan Garcia. Indonesia berkeberatan, misalnya, pembentukan forum Selatan itu digunakan untuk konfrontasi dengan Utara. Sejak itu Indonesia mengutus Wisber Louis yang menduduki pos perwakilan Tetap RI di PBB, Jenewa, sebagai wakil dalam kemungkinan pembentukan forum Selatan itu. Tapi, sampai September 1988 baru enam nagara yang bersedia ikut secara penuh, antara lain India, Indonesia, Peru, Argentina, dan Venezuela. Padahal, targetnya sekurang-kurangnya bisa menghim- pun sembilan negara. Ketika KTT itu ditargetkan akan diselenggarakan pada 1989, Indonesia meminta kepada Peru untuk mempertimbangkan adanya keseimbangan regional dalam menunjuk negara-negara yang akan hadir. "Indonesia meminta agar KTT itu jangan buru-buru diselenggarakan," kata sebuah sumber Indonesia. Dalam pertemuan yang kebetulan bersamaan waktunya dengan KTT Nonblok September 1989 diadakanlah rapat nonformal yang dihadiri 13 negara. Pada waktu itu pula Mesir dan Malaysia ikut bergabung. Maka, pada waktu itu pula diumumkanlah kelompok negara-negara Selatan yang bermaksud mengadakan KTT. Pada pertemuan berikutnya di Jenewa, 7-9 November 1989 Meksiko dan Brasil, walaupun bukan anggota kelompok nonblok bergabung sehingga genaplah jumlah itu menjadi 15. Ketika soal tempat KTT dibahas, ada sejumlah negara yang menginginkan itu diselenggarakan di Jenewa. Indonesia me- nolak usul itu. "Mengapa harus di negara ketiga, dan bukan di salah satu negara G-15?" begitu gagasan Indonesia. Pada pertemuan Maret 1990 Indonesia dan Malaysia kemudian menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah. Tapi, karena konsultasi tingkat tinggi, akhirnya Indonesia mengalah dan memberikan kesempatan kepada Kuala Lumpur untuk menjadi tuan rumah KTT G-15 yang pertama. Sayangnya, Presiden Garcia sebagai pencetus gagasan tak sempat hadir berhubung di negaranya sedang berlangsung pemilu. Tampil pula dalam pertemuan Kuala Lumpur itu bekas presiden Tanzania Julius Nyerere. Secara historis Nyerere, 68 tahun, yang duduk sebagai Ketua Komisi Selatan. Dialah yang mengumumkan adanya kelompok negara-negara Selatan di KTT Nonblok di Beograd. Walaupun demikian, dengen G-15 ini tak punya hubungan organisatoris dengan KTT Nonblok walaupun sebagian besar anggotanya -- kecuali Meksiko dan Brasil -- adalah negara-negara nonblok. Tak pelak lagi dalam KTT G-15 ini Presiden Soeharto adalah primadonanya. Ia tidak saja mendapat kawalan yang cukup ketat. Tapi wartawan Indonesia yang meliput pun tak kurang dari 30 orang. Ditambah pula dengan sejumlah wartawan asing yang biasanya mangkal di Jakarta ikut boyong ke Kuala Lumpur. Di hari pertama Pak Harto menjadi pembicara utama dalam sidang tertutup. Dalam pidato tersebut ia menceritakan pengalaman-pengalaman Indonesia dalam kerja sama Selatan-Selatan. Usul Indonesia adalah dalam soal pangan dan kependudukan. Ia memperhatikan kenyataan bagaimana masih banyaknya negara -- terutama di Afrika -- yang menderita kekurangan pangan. Indonesia punya pengalaman dan ingin membagi dengan negara lain bagaimana dari sebuah negara pengimpor beras berubah menjadi berswasembada. Begitu pula masalah kependudukan yang menurut Menlu Ali Alatas keberhasilan program KB Indonesia diakui oleh dunia internasional. Pak Harto menjelaskan KB bukan program mengurangi anak melulu, tapi juga melibatkan gagasan tantang keluarga sehat dan sejahtera. Usul Indonesia itu tak sepenuhnya diterima peserta lainnya. Misalnya saja Argentina yang lebih condong pada pendapat agar negara-negara G-15 yang kekurangan beras mengimpor dari Argentina yang surplus beras . Biarlah dana yang ada tak digunakan untuk membeli beras, tapi untuk membiayai berbagai proyek pembangunan lainnya. Tapi, negara-negara Afrika yang menginginkan swasembada pangan bisa mendapat bantuan dari Indonesia. Menko Ekuin Radius Prawiro mengatakan Indonesia punya pengalaman dalam penanaman padi gogo yang tak memerlukan irigasi, yang tentu saja cocok untuk tanah di Afrika. Menlu Alatas mengatakan, Indonesia cukup puas dengan hasil yang tertuang dalam pernyataan bersama. Memang dalam sidang-sidang kelihatan nyata sasaran pokok yang ingin dicapai KTT G-15 berbeda dengan G-77 yang konsep-konsepnya sering terlalu muluk, tapi sukar direalisasikan. Kelompok G-15 memperhatikan hal-hal yang lebih kongkret. Lebih kepada action," kata Alatas. Oleh karena itulah dalam pembahasan sidang-sidang banyak didiskusikan sejumlah proyek yang rea- listis. Seusai sidang-sidang penutupan diumumkan bahwa semuanya ada 13 proyek yang disepakati. Tiga di antaranya akan segera dilaksanakan. Ketiga proyek itu adalah: (1) pengembangan hubungan dagang di kalangan negara-negara Selatan lengkap dengan mekanisme pembayarannya, (2) pembentukan pusat pertukaran informasi, investasi, dan teknologi di negara-negara Selatan, dan (3) kesepakatan untuk membentuk sebuah komite pengarah yang akan bekerja untuk mewujudkan proyek-proyek itu. Komite Pengarah (SC) itu beranggotakan tiga menlu dari Malaysia, Senegal, dan Venezuela. Disepakati pula bahwa KTT akan diselenggarakan setiap tahun, dan yang berikut dijadwalkan akan diselenggarakan di Caracas, Venezuela. Komite Pengarah itulah yang akan mengkaji berapa besar staf yang akan diperlukan. SC itu merupakan istilah tersirat untuk sekretariat yang bentuknya dikehendaki oleh Malaysia. Dalam sidang penutupan pada Minggu petang. Presiden Soeharto menyatakan adanya empat masalah yang dihadapi dunia saat ini: masalah moneter dan keuangan, soal-soal yang berhubungan dengan utang luar negeri, soal sumber dana luar negeri untuk pembangunan, dan perdagangan internasional. Tentang bentuk sekretariat, delegasi Indonesia sebenarnya tak cenderung untuk menyetujui. Pembentukan badan permanen seperti itu pasti akan menyangkut beban keuangan, birokrasi, dan malah dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman. Khususnya, Indonesia mengkhawatirkan G-15 itu dicap sebagai "kelompok dalam kelompok" baik di kalangan negara-negara Selatan maupun non-blok. Dalam usulnya Indonesia sebenarnya lebih cenderung kepada pembentukan kelompok ahli/profesional yang akan mem- bantu SC. Komitmen Indonesia dalam soal pembangunan ekonomi Selatan-Selatan itu tak perlu diragukan lagi. Pemerintah RI tahun ini menyumbang US$ 100.000 untuk kas Komisi Selatan yang diketuai oleh bekas Presiden Tanzania, Julius Nyerere, 68 tahun. Tokoh perjuangan dari Afrika Timur ini memang punya segudang pengalaman mengurusi negeri berkembang. Kini, dalam kocek Komisi Selatan ada US$ 7 juta. Dan bantuan dana dari Indonesia kepada sejumlah negara Afrika sudah mencapai US$ 2,25 juta. Itu belum terhitung sumbangan para petani Indonesia dalam bentuk uang yang nilainya sama dengan 100.000 ton padi. Sumbangan tadi tidaklah mengikat, dan bisa digunakan untuk apapun oleh si pene-rima. Zambia, misalnya, telah membeli traktor, tapi Gambia lebih suka membeli pompa air. Bagusnya, Indonesia tak pernah mengaitkan pemberian batuan itu dengan ekspor komoditi dari sini. Ini yang agaknya membedakan Indonesia dengan sejumlah negara Utara yang tak jarang memberi sumbangan yang mengikat. Pertemuan di Bukit Carcosa di Kuala Lumpur itu memang tak banyak bicara soal politik. Tapi lebih menumpahkan perhatian kepada soal-soal kerja sama ekonomi yang praktis. Toh topik politik yang penting tanpa ada yang memberikan aba-aba, sempat mencuat. Itu terjadi selepas konperensi pers yang diberikan oleh PM Mahathir Mohammad. Dialah juru bicara para peserta pertemuan, Minggu petang lalu. Ketika berondongan pertanyaan sudah berakhir, seorang koresponden asing yang berdomisili di Singapura dan mewakili Daily Telegraph mengajukan pertanyaan. Ketika itu PM Mahathir dan kepala-kepala negara lainnya sudah berancang-ancang untuk meninggalkan ruang jumpa pers. Tiba-tiba si wartawan nyelonong maju dan bertanya, adakah Kelompok 15 itu mendukung upaya Indonesia sebagai tuan rumah dan ketua Konperensi Nonblok berikutnya. Entah mengapa, jawaban yang meluncur dari mulut Mahathir adalah "Yes", lalu dia berdiri dan melangkah bersama Soeharto di sampingnya. Tentu saja banyak wartawan, khususnya dari Indonesia, terperangah. Begitu juga delegasi Indonesia dan delegasi lainnya. Kubu delegasi Indonesia sempat berang. Lantaran soal pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah KTT Nonblok tak pernah dibicarakan sama sekali dalam pertemuan itu. Apalagi kalau Indonesia minta dukungan, yang tentu saja akan memburukkan citra Indonesia. "Indonesia tak ingin dice- ritakan orang seolah-olah dalam setiap kesempatan merengek minta dukungan agar jadi tuan rumah KTT Nonblok," kata seorang diplomat dari Jakarta. Pada hari Senin banyak koran yang memuat "jawaban" Mahathir atas pertanyaan wartawan asing itu. Belakangan PM Mahathir mengakui ia telah keseleo lidah. "Saya khilaf karena tak mendengar pertanyaannya dengan baik," kata Mahathir kepada Ekram Attamimi dari TEMPO. Yang juga menarik adalah keterangan Presiden RI pada para wartawan Indonesia mengenai proses pertemuan KTT G-15 itu. Dalam pertemuan yang diselenggarakan Senin pukul 8.00 pagi di lantai 28 Hotel Shangri-La, Soeharto menerangkan ketak- terikatan setiap peserta untuk melaksanakan keputusan bersama. Dahulu, kata Pak Harto, banyak program yang tidak terlaksana lantaran semua menunggu semua peserta setuju dahulu. Dalam KTT G-15, sesuai dengan analisa yang dibuat Komisi Selatan, negara mana saja yang sudah bisa melaksanakan kepu- tusan yang diambil dipersilakan melakukannya, tanpa harus menunggu selesainya keputusan dari para peserta lain. Maka, KTT G-15 yang oleh Alatas disebutkan berorientasi kepada action, mudah-mudahan saja akan menggelinding lebih kencang di Caracas, tahun depan. Ahmed K.S., Linda Djalil, Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur), dan A. Dahana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini