PARADE mobil bunga, yang baru pertama kali diselenggarakan di Surabaya, Minggu pekan lalu, berubah menjadi aksi "pembantaian". Sejumlah mobil hias berantakan. Bunga-bunga berhamburan di jalan. Sejumlah mobil terpaksa tak melanjutkan pawai "Hopex '90" sejauh 8 km. Sekitar dua juta warga Surabaya memang tumplek bleg turun ke jalan. Mereka bukan sekadar berhura-hura menonton kegemerlapan puluhan ton bunga warna-warni yang menghiasi kendaraan. Massa tak terkendali. Mereka semula mencabuti bunga dan melempar-lemparkannya ke atas. Lantas ada yang lebih beringas, yakni berani mengobrak-abrik bunga yang dipawaikan itu atau melemparkan apa saja ke arah mobil hias. Beberapa artis dan cewek yang dipajang di atas mobil, tak terhindarkan lagi, menjadi sasaran tangan usil penonton. Warna indah berubah menjadi musibah. Itulah suasana pawai mobil bunga Hopex (Hotel Production Exhibition), dalam rangka menyambut HUT ke-697 Kota Surabaya. Mulanya, pawai yang dibuka Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman, dengan memotong kue tar raksasa di Jalan Pahlawan, berlangsung ingar-bingar. Iring-iringan 77 mobil hias berjalan perlahan mengikuti barisan drumb band meriah yang disuguhkan Sampoerna. Bangunan bunga di atas trailer berbentuk Menara Eiffel, Tajmahal, patung Liberty, dan sejumlah keajaiban dunia sempat memukau penonton. Tapi pemandangan asri itu berlangsung tak lama. Parade yang menyusuri jalan-jalan protokol Gemblongan, Tunjungan, Pemuda, Soedirman, Embong Malang, Blauran, Bubutan, hingga kembali ke Jalan Pahlawan berlangsung tersendat-sendat oleh hadangan lautan manusia. Penonton mulai panas ketika iring-iringan memasuki Jalan Tunjungan. Sembilan ratus enam puluh polisi yang dikerahkan tak mampu membendung tangan-tangan jail yang mencabuti bunga-bunga hias. Sebagian mobil menjadi bopeng, hiasan bunga berantakan dan ada yang tinggal kerangka saja. Penonton seakan kesal melihat pameran kemewahan bunga yang menelan biaya jutaan rupiah itu. Yang dituding sebagai kambing hitam, tentu saja, panitia. Panitia dianggap kurang profesional dan tak memperkirakan membludaknya penonton di pinggir jalan. Hasil kerja para seniman Surabaya selama hampir dua bulan itu dibiarkan diacak-acak tangan-tangan jail. Biaya yang dikeluarkan pengusaha sponsor memang tak sedikit. Untuk mencukupi kebutuhan bunga, mereka terpaksa mendatangkan tambahan dari berbagai kota di luar Jawa seperti Palembang dan Medan, serta Bali. Bahkan, bukan hanya bunga dan cewek penghias saja yang menjadi sasaran tangan jail. Ada sejumlah peralatan, seperti lampu hias, diambil penonton. Itu yang membuat Moerseto Moerdowo, yang mendapat order menghias 14 mobil, "Bikin sakit hati saja kalau menyebutkannya," katanya menahan napas. "Mau ngadu, ya, ngaduin sama siapa?" Sebab itu, untuk tahun-tahun mendatang, "Terus terang kami nggak mau kerja lagi kalau panitianya seperti ini." Pingky Evianti, mahasiswi Unair yang jadi gadis model di float rokok Djarum, juga sewot. Pokoknya, "Payah. Rusak. Nggak lagi, deh," katanya masygul. Ia mengaku tak sekadar dilempar penonton. Mobil hiasnya juga sempat mogok 20 menit. "Yah, siapa yang tahan." Untuk itulah, Dahlan Iskan, sekretaris panitia, meminta maaf kepada semua pihak. "Dan semua kritik kami terima dengan lapang dada," katanya. "Semuanya betul-betul di luar kemampuan panitia." Kendati begitu, "Kami puas, tidak kapok, dan tahun depan akan kami langsungkan lagi," kata Dahlan, pemimpin redaksi harian Jawa Pos Surabaya. Insya Allah. Agus Basri dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini