IRAN seperti tak pernah kehabisan amunisi. Segera setelah pangkalan minyaknya di ujung selatan, Senin pekan lalu, disambar roket AS, pasukan Khomeini kontan menerbangkan rudal-rudal Ulat Sutera alias Silkworm buatan RRC, sebagai balasannya. Kemudian dari pangkalannya di Faw -- wilayah Irak yang sudah dikuasai Iran -- Pengawal Revolusi menggenjot pangkalan minyak lepas pantai Kuwait, Kamis pekan lalu. Tak ada jalan lain bagi Kuwait kecuali mempersiapkan rudal Hawk, di Pulau Faylakah. Dan seperti biasa pada acara salat Jumat keesokannya, juru bicara parlemen Ali Akbar Hashemi Rafsanjani mengatakan, negerinya memiliki proyektil-proyektil tersembunyi yang bisa digunakan secara cepat. Sumber lain menyatakan bahwa rudal Silkworm tidak dibeli Iran dari RRC, dan bahwa negeri para mullah itu punya rudal Stinger dalam jumlah lebih banyak dari yang diperkirakan AS. Pernyataan itu seolah-olah hendak menegaskan bahwa negeri mana pun yang mendukung Irak, termasuk Kuwait, akan mereka hajar. Tetapi, sepak terjang Iran kali ini mengundang kecaman dari Dewan Kerja Sama Teluk (GCC). Bahkan Mesir telah mengirimkan bantuan pilot dan keperluan militer lainnya ke Kuwait, agar tangguh menghadapi Iran. Dalam belasan hari terakhir, negeri itu telah tiga kali dihantam roket -- termasuk yang terakhir, Kamis itu. Dewan Kerja Sama Teluk, yang mustahil menggunakan senjata dalam menghadapi Iran, berencana mengimbau PBB agar menjatuhkan sanksi terhadap Iran. Dalam pertemuan puncak negara-negara Arab 8 November nanti, masalah Iran tampaknya akan masuk agenda. Arab Saudi mengecam bahwa Iran telah bertindak di luar batas. Kabar terakhir dari Washington menyebutkan bahwa pemerintahan Reagan juga akan membekukan hubungan dagang dengan Iran. Semua ekspor ke sana akan dihentikan, kecuali barang-barang berkaitan dengan kemanusiaan -- misalnya obat-obatan. Kongres sudah mendesak Reagan untuk segera melaksanakan rencana itu. Jika benar-benar efektif, maka impor dari Iran juga akan dihentikan. Ini yang tampaknya harus diperhitungkan kembali. Iran adalah salah satu pemasok minyak terpenting bagi AS. Pada Juli lalu, harga minyak yang masuk ke AS tak kurang dari US$ 359 juta. Di lain pihak, Iran kini tengah memerlukan perkakas pengolahan minyak seharga US$ 40 juta dari AS, untuk menggantikan perkakas lama yang dilantakkan bom Irak. Alasan pemerintah ASuntuk mengambil langkah tersebut adalah karena Iran, menurut pertimbangan Kongres, telah merugikan kepentingan AS di Teluk dan menyerang kapal-kapal lain di kawasan itu -- terutama yang berlayar dengan bendera AS. Tampaknya Iran akan terpojok. Belakangan, Uni Soviet pun sudah mulai menghitung-hitung untuk ikut menentukan suasana. Supremo Soviet Mikhail Gorbachev sangat mencemaskan kalau-kalau Iran akan merajalela, atau memenangkan perang Teluk. Bahkan Israel, yang pernah memiliki kontak-kontak rahasia dengan Iran -- termasuk ketika Irangate dulu itu berlangsung -- juga mulai membuat perhitungan baru. "Perkembangan Islam fundamentalis di sekitar kita telah mencapai titik yang bisa mempengaruhi para pengambil keputusan di negara-negara tetangganya," kata seorang pejabat keamanan Israel. "Itulah kenapa semua orang sekarang mulai menengok ke Iran." Sementara itu, Tel Aviv sudah mulai menunjukkan tanda-tanda condong ke Irak. Wakil Emirat Arab di PBB, Mohammed Abdul Hassan, Kamis pekan lalu sudah menemui Perez de Cuellar di New York, membicarakan langkah-langkah PBB dalam menghadapi Iran. "Iran tak akan bisa menahan diri untuk menyerang Kuwait, kalau kekuatan internasional tidak bersatu mencegahnya," kata Abdul Hassan. Yang dikecam tenang-tenang saja. Rafsanjani, seperti yang diberitakan oleh kantor berita Irna, mengatakan, "Sejauh ini, Republik Islam Iran telah melakukan bela diri dan tindakan-tindakan berikutnya adalah dalam rangka membalas saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini