Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menembus kegelapan dan keheningan yang tak biasa, sayup-sayup musik Natal mengalun di pusat pinggiran kota Beirut, Hadath.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota ini masih terguncang akibat perang Israel selama dua bulan di Lebanon. Para pramuka setempat, yang berusaha membawa keceriaan liburan sebanyak yang mereka bisa, mengadakan pesta Natal kecil-kecilan di sebuah pusat kejuruan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak-anak dilukis wajahnya, para remaja membagikan makanan dan para pemuda berkompetisi di atas mesin tinju.
Dania Sabbagh, pemilik pusat pelatihan tersebut, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa mereka mengadakan acara ini "karena tidak ada dekorasi dan tidak ada kehidupan sama sekali".
"Saya bekerja di sini, dan biasanya ada parade dan [perayaan lainnya]," katanya.
Tahun ini, dekorasi hampir tidak ada, dan hanya beberapa meter dari pesta pramuka, satu-satunya suara yang terdengar adalah dering lonceng gereja di tengah hujan.
'Daerah bencana'
Hadath yang mayoritas penduduknya beragama Kristen terletak di sebelah pinggiran selatan Beirut, yang dikenal sebagai Dahiyeh, yang menjadi sasaran pengeboman Israel selama perang.
"Kami seperti daerah bencana tanpa seorang pun di sini," kata Viviane Karam, pemilik toko suvenir di kota ini yang mengkhususkan diri dalam menyiapkan hadiah untuk acara-acara besar, kepada MEE.
Perang Israel di Lebanon dimulai dengan bentrokan di perbatasan dengan kelompok bersenjata Hizbullah Lebanon pada 8 Oktober 2023, sehari setelah perang di Gaza dimulai.
Konflik meningkat secara signifikan ketika Israel melancarkan kampanye pengeboman yang meluas dan invasi darat ke Lebanon pada September yang akhirnya mereda setelah perjanjian gencatan senjata ditandatangani pada November.
Hadath jarang menjadi sasaran langsung, namun mengalami beberapa kerusakan akibat serangan-serangan di sekitarnya. Kaca-kaca rumah dan gereja pecah, sementara bangunan lain mengalami kerusakan yang lebih parah.
"Banyak keluarga yang kehilangan rumah mereka, atau setidaknya kaca-kacanya," kata Karam.
Banyak penduduk Hadath, termasuk Karam, meninggalkan rumah mereka untuk sementara waktu ke daerah yang lebih aman selama perang.
Berharap gencatan senjata akan membantunya pulih dari kesengsaraan finansial akibat perang, Karam hanya melihat sedikit bisnis yang kembali ke daerah yang dilanda perang.
"Tidak banyak pekerjaan," katanya sambil menyiapkan beberapa kotak hadiah. "Biasanya, pada masa-masa seperti ini, kami menyiapkan [hadiah] untuk pertunangan, pembaptisan, dan lain-lain. Sekarang, tidak ada acara kecuali untuk persalinan."
Wali kota Hadath, George Aoun, mengatakan kepada MEE bahwa pemerintah kota tidak mengadakan kegiatan liburan tahun ini, tetapi akan mendukung setiap inisiatif individu.
"Wali kota tidak fokus pada dekorasi. Saya pikir dia lebih fokus pada dukungan untuk keluarga yang paling terdampak [oleh perang]," kata Karam.
Sabbagh mencoba mendorong toko-toko lokal untuk memasang pohon Natal atau tetap buka di malam hari. Namun ketika permintaannya tidak ditanggapi, ia memutuskan untuk menggunakan tempatnya sendiri untuk merayakannya.
"Dapatkah Anda bayangkan bagaimana jadinya jika semua lampu dimatikan tanpa musik atau apa pun? Begitulah yang terjadi," katanya.
Sementara beberapa wilayah di Lebanon berhasil melaksanakan kegiatan liburan mereka dengan pohon-pohon Natal yang mewah, pasar yang ramai dan perayaan, banyak wilayah lain yang harus beradaptasi dengan tantangan situasi saat ini.
Di Dhour el-Choueir, sebuah kota di pegunungan Lebanon yang menjadi tuan rumah bagi ratusan pengungsi selama perang, acara penyalaan pohon Natal yang biasanya besar, kini diperkecil. Sebuah band lokal memainkan lagu-lagu saat pohon Natal dinyalakan, diiringi oleh pasar kecil di dekat pusat kota.
Di Derdghaya, sebuah kota Kristen di selatan dekat Tyre, sebuah pohon Natal didirikan di atas reruntuhan gereja Katolik abad ke-18, yang dihancurkan oleh serangan mematikan Israel pada Oktober.
Kembali ke Hadath, Mary Zaila, seorang anggota pramuka yang harus meninggalkan rumahnya selama perang, menjelaskan bahwa meskipun sebagian kehidupan telah kembali ke kota, timnya sekarang bekerja untuk mendukung masyarakat yang paling terdampak oleh serangan Israel dan membawa sukacita bagi anak-anak.
"Kadang-kadang, anak-anak akan mendengar suara-suara serangan di sekolah", yang memaksa sekolah-sekolah untuk tutup, katanya.
Zaila berharap upaya mereka dapat membantu menghibur warga kota.
"Anak-anak tidak boleh tertekan selama liburan," katanya.
Pilhan Editor: Setelah Serangan Maut di Pasar Natal, Jerman Masih Berduka