Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Otoritas Hong Kong menutup kantor-kantor pemerintahan di distrik pusat keuangan Hong Kong sampai akhir pekan. Keputusan ini diambil sehari setelah meletupnya unjuk rasa penolakan RUU ekstradisi yang memungkinkan mereka yang melakukan tindak kriminal dikirim ke Cina untuk menjalani persidangan di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberitahuan ini disampaikan lewat sebuah surat. Dengan penutupan kantor-kantor pemerintahan ini, maka rapat-rapat pemerintahan Hong Kong per Kamis, 13 Juni 2019 hingga akhir pekan nanti tidak bisa diselenggarakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Kamis pagi, 13 Juni 2019, belum terlihat pengunjuk rasa dalam jumlah yang besar, hanya segelintir pengunjuk rasa yang masih bertahan di jalan menyusul upaya pembersihan yang dilakukan oleh otoritas Hong Kong di penjuru wilayah. Sebelumnya pada Rabu, 12 Juni 2019, kepolisian Hong Kong menembakkan peluru karet, gas air mata dan semprotan merica untuk membubarkan para demonstran yang menentang RUU Ekstradisi.
Unjuk rasa pada Rabu itu adalah yang terburuk dalam sejarah Hong Kong sejak wilayah itu diserahkan Inggris ke Cina pada 1997. Dalam unjukrasa Rabu, 12 Juni 2019, hingga pukul 10 malam sebanyak 72 orang dirawat. Sekitar ribuan pengunjuk rasa ketika itu bertahan hingga dini hari di kantor kelautan Hong Kong dan distrik pusat bisnis Hong Kong.
Massa yang menyemut terlihat dari gedung-gedung pencakar langit di Hong Kong seperti menara HSBC dan AIA. Pada Kamis, 13 Juni 2019, bursa saham Hong Kong turun 1,5 persen setelah pada Rabu, 12 Juni 2019 juga mengalami penurunan.
“Kami siap maju dalam pertempuran dengan pemerintah. Saya masih muda karena itu saya harus berjuang demi Hong Kong,” kata Natalie Wong, salah seorang demonstran, seperti dikutip dari Reuters, Kamis, 13 Juni 2019.
RUU ekstradisi yang ditentang ini menyasar warga negara Hong Kong, warga negara asing dan warga negara Cina yang ada di Hong Kong. RUU itu dinilai bisa mengancam aturan hukum di Hong Kong karena setiap pelaku tindak kriminal kemungkinan bakal menjalani persidangan di Cina.