Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gereja Inggris mengakui telah berinvestasi dalam perdagangan budak transatlantik selama abad ke-18. Untuk menebus kesalahan memalukan di masa lalu itu, Gereja berkomitmen membelanjakan 100 juta pound atau Rp1,8 triliun untuk komunitas yang terdampak perbudakan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisaris Gereja Inggris, yang mengelola portofolio investasi gereja senilai 10 miliar pound, akan menggunakan uang itu untuk dana yang akan diinvestasikan di komunitas yang terkena dampak perbudakan di masa lalu, serta penelitian dan keterlibatan terkait hubungannya dengan perbudakan.
Sebuah penelitian, yang dilakukan atas perintah gereja Juni lalu menemukan bahwa pengelola dana investasinya di masa lalu, yang disebut Queen Anne's Bounty, menginvestasikan jumlah yang signifikan di South Sea Company sebuah perusahaan perdagangan budak di abad ke-18.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak ada keraguan bahwa mereka yang melakukan investasi tahu bahwa perusahaan itu memperdagangkan budak, dan itu sekarang menjadi sumber rasa malu yang nyata bagi kami, dan untuk itu kami meminta maaf," kata Gareth Mostyn, Kepala Eksekutif Komisaris Gereja, kepada radio BBC, Rabu, 11 Januari 2023.
Laporan tersebut mengandalkan penelitian dari akuntan forensik dan akademisi untuk menganalisis buku besar dan dokumen lain dari Queen Anne's Bounty — yang digabungkan dengan badan lain untuk membentuk Komisaris Gereja pada 1948.
Perusahaan itu juga menerima banyak sumbangan dari orang-orang yang mungkin mendapat untung dari perbudakan transatlantik, di mana warga Afrika yang diperbudak diangkut untuk bekerja di perkebunan terutama di Amerika, kata laporan itu.
Uskup Agung Canterbury Justin Welby mengatakan pada hari Selasa bahwa sekarang saatnya gereja mengambil tindakan untuk mengatasi "masa lalu kita yang memalukan".
Welby, pemimpin spiritual Komuni Anglikan sedunia yang mempunyai 85 juta jemaat Kristiani dan juga ketua Komisioner Gereja, mengatakan perlunya membahas masa lalu gereja secara transparan untuk menghadapi "masa kini dan masa depan kita dengan integritas".
Dibantah selama 200 Tahun
Hubungan masa lalu dan sejarah kolonial Inggris dengan perbudakan telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir, dengan penggulingan patung pedagang budak Inggris abad ke-17 di Bristol pada 2020 yang memicu debat nasional.
Amerika Serikat dan Inggris menghadapi seruan untuk perbaikan perbudakan selama bertahun-tahun, dengan tuntutan dan kompensasi berkisar antara miliaran dan triliunan dolar.
"Ini adalah langkah maju yang sangat besar," kata penyiar dan sejarawan David Olusoga kepada Radio BBC pada hari Rabu, tentang komitmen gereja.
"Selama 200 tahun kita telah menyangkal, menyembunyikan sejarah ini di bawah karpet. Dan gagasan bahwa jika Anda mewarisi kekayaan dari sejarah ini, bersama dengan kekayaan itu Anda juga mewarisi beberapa tanggung jawab - gagasan itu telah diabaikan selama beberapa dekade."
Gereja Inggris mengatakan akan menampilkan catatan di arsip yang terkait dengan perbudakan di sebuah pameran di London, termasuk petisi yang ditulis oleh seorang yang diperbudak pada tahun 1723 kepada kepala gereja.
REUTERS