Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Angin dari Indonesia

13 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Slamet A. Sjukur
  • Komponis

    Kamis dua pekan lalu, malam lebih cepat turun. Toko-toko di Utrecht (Belanda) buka sampai malam dan jalanan masih banyak orang kala terdengar bunyi-bunyian dari jauh yang sedang bergerak. Bangunan-bangunan yang tidak terlalu tinggi dan jalan-jalan sempit yang dilaluinya menjadi resonator alami Balaganjur (musik arak-arakan Bali) yang dipikul dan ditabuh oleh orang-orang Belanda. Bukan main, gairah kasmaran mereka bisa menggetarkan siapa saja yang melihatnya atau yang hanya mendengarnya di kejauhan.

    Esok harinya akan dimulai Oversteek Festival (festival lintas batas) Indonesia-Belanda. Inilah festival yang menggelar 16 acara di 7 tempat selama 13-15 Oktober lalu. Pemrakarsanya Stichting Raras-Budaya, dengan dukungan dari banyak pihak.

    Tiga komunitas gamelan Belanda tampil. Ada ?Ensemble Gending?, yang mengkhususkan diri hanya pada karya-karya baru, baik oleh para komponis Belanda sendiri maupun asing (termasuk tiga komponis Indonesia yang mendapat pesanan khusus: Dedy Hernawan, Dody Satya Ekagustidiman, dan Slamet A. Sjukur). Lalu ?Gamelan Ensemble Widosari? dengan repertoar tradisional. Terakhir, ?Ensemble Multifoon? yang menggunakan instrumentasi gamelan yang ditala kromatis persis seperti instrumentasi Barat.

    ?Basho Ensemble? pun tampil, salah satu spesialis musik kontemporer di sana. Instrumentasinya bukan gamelan, namun untuk acara festival ini dipilihlah karya-karya yang berinspirasikan Indonesia, seperti Three Dawn Rituals (1983) karya James MacMillan (1959), Jagat (2006, perdana) karya Philemon Mukarno (lahir di Jakarta 1968), O Bali (1989) karya Jose Evangelista (1943), Balinese Ceremonial Music (1940) karya Colin McPhee (1900-64), dan Pulau Dewata (1977) oleh Claude Vivier (1948-83). Kedua karya terakhir diolah kembali orkestrasinya oleh Barbara Woof sesuai dengan instrumentasi yang tersedia pada Basho Ensemble.

    Bahwa gamelan itu asosiasinya Indonesia, tidak demikian halnya dengan karya-karya yang diilhami Indonesia tapi dengan instrumentasi non-gamelan. Debussy, Poulenc, Britten, Peter Schaat, Ton de Leeuw dll pada karya-karyanya tertentu sering membingungkan mereka yang suka mengais-ngais, mencari sumbernya. Karena itu, sikap tegas Jurrien Sligter yang memimpin Basho Ensemble (yang juga memimpin Ensemble Gending) sangat penting artinya dalam Festival Antar-Batas ini.

    Ensemble Multifoon pimpinan Ruud van Eaten menerapkan gagasan Peter Schaat membuat gamelan kromatis. Interval-intervalnya tentu saja lebih halus dari pentatonik dan sangat praktis untuk digunakan siapa saja yang tidak terikat pada budaya pentatonik. Tapi kalau hanya masalah jumlah nada dalam satu oktaf, Haba dan Wyschnegradsky pada awal abad ke-20 sudah membaginya dalam 24 nada, bahkan pada abad ke-16 Vincentino, dalam upayanya menghidupkan kembali sistem enharmonik musik Yunani, telah mengisi oktaf dengan 31 nada. Tanpa sengaja, gamelan terlibat dalam mempertanyakan kembali hakikat pemilihan nada-nada dalam kontinuum. Masalah pluralisme atau ke-bhineka-an yang menyediakan tempat bagi setiap identitas.

    Mau tahu gamelan lebih akrab? Elsje Plantema, pemimpin Ensemble Gamelan Widosari, memberikan workshop dalam festival. Workshop pencak silat Hanoman, diasuh oleh Charles Renoult. Juga ada workshop tari saputangan Maluku untuk anak-anak berusia enam tahun ke atas. Tidak ketinggalan pergelaran musik keroncong, lagu-lagu Maluku, dan khusus musik Haruku. Pameran foto-foto Peter Johan dari Jakarta, enam karya video art dari Galeri Cemeti Yogyakarta, dan acara pemutaran film-film Leonard Retel Helmrich.

    Pementasan Kerto dan Nyi Roro Kidul oleh Theatergroep Delta dan sajian tiga angkatan juru dongeng: Dick Rompas, Titia Tarenskeen, dan David Cohen beserta Sonny. Sesuatu yang sangat menyedihkan terjadi. Ketika Dick Rompas bercerita sebagai pendayung perahu yang akan menyeberang ke dunia sana, suaranya berubah semakin sulit dimengerti, gerak tubuhnya menjadi aneh, terhuyung lantas jatuh. Cepat orang-orang melarikannya ke rumah sakit.

    Dick Rompas meninggalkan yang fana untuk memasuki dunia dongeng, dari mana angin datang. Semoga beliau mendapat kedamaian di sana sebagaimana Festival Antar-Batas ini dimaksudkan sebagai upaya meniadakan batas-batas yang membelenggu.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus