CITRA polisi Jepang sedang anjlok. Selasa pekan lalu, untuk pertama kalinya dalam sejarah negeri itu, Perdana Menteri Yasuhiro Nakasone berdiri di depan Parlemen meminta maaf kepada rakyat. Dua hari sebelumnya, seorang bekas polisi merampok Bank Mitsubishi di Yokohama, Provinsi Kanagawa, sekitar 25 km dari pusat Kota Tokyo. Hiroshi Ozawa, sersan purnawirawan itu, berseragam lengkap, berpistol, dan menggenggam handie-talkie mendatangi bank itu menjelang pukul 5 petang. Ozawa disertai seorang temannya, sesama pedagang mobil bekas, juga dalam pakaian seragam polisi. Kepada pegawai bank, yang sedang berbenah hendak pulang, Ozawa mengaku sedang bertugas mengantar uang, yang sebentar lagi akan disusulkan. Tak lama kemudian, mobil yang ditunggu memang datang, bahkan betul-betul membawa uang 460 juta yen sekitar Rp 2,06 milyar. Ketika memasukkan uang itu ke peti besi, kedua perampok berseragam polisi tersebut meringkus empat karyawan bank, dan mengisi tiga tas yang mereka bawa sebanyak 220 juta yen. Malang, pada saat bersamaan, dua mobil dengan sembilan polisi sungguhan tiba di tempat. Mencium sesuatu yang tidak beres, patroli ini, yang kemudian ditambah dengan 500 polisi lagi, mengepung bank sepanjang malam. Esoknya, pukul 5 pagi, sebuah tembakan terdengar dari dalam bank yang terkepung rapat ltU. Polisi menyerbu masuk. Ozawa, 40, ternyata menembak kepalanya sendiri dengan pistol kaliber 38, buatan Filipina. Temannya, yang berusia 43 tahun, tertangkap hidup. Dan keempat sandera dibebaskan tanpa cedera. Tindak kejahatan yang melibatkan polisi Jepang, tampaknya, menunjukkan gejala gawat. Tahun lalu, tercatat empat kejahatan dengan pelaku polisi atau bekas polisi. Menurut catatan Badan Kepolisian NasionalJepang, Keisatsucho, 49 polisi dipecat sehubungan dengan pelbagai perkara kriminal dalam tahun itu. Tetapi, tahun ini, dalam tiga bulan pertama saja, sudah tiga perkara kejahatan yang melibatkan polisi dan bekas polisi. April tahun lalu, di Provinsi Hyogo, seorang polisi merampok sekitar 1,2 juta yen pada jam kerja. Dua bulan kemudian, seorang sersan menikam atasannya di Provinsi Ehime. Pada September 1984, seorang bekas sersan polisi membunuh seorang polisi muda di Kyoto untuk mendapatkan pistol, kemudian merampok dan membunuh di Osaka. Sebulan kemudian, seorang pensiunan inspektur polisi, bersama dua sekutunya, membunuh dan merampok pedagang permata. Yang cukup pelik, Januari tahun ini, seorang polisi di Kota Ibaraki, Provinsi Osaka, mencuri 100 ribu yen dari pencuri yang sedang berada di bawah pengawasannya. Awal Maret, seorang polisi muda, yang pernah belajar di Universitas California, AS, ditangkap karena menyimpan dan mengisap ganja. Yuichi Kida, sang polisi, lulusan Universitas Kansai, menduduki peringkat kedua ketika lulus sekolah polisi, dan anak seorang bekas kepala polisi setempat. Ada pula polisi yang diciduk rekannya karena dituduh terlibat jaringan Yakuza - mafia Jepang yang kesohor itu. Setelah kematian Masahisa Takenaka, 51, gembong serikat Yamaguchigumi yang ditakuti, Januari silam, perang antar-Yakuza yang berlatarkan balas dendam berkobar di seantero Jepang. Di Kota Kochi, Pulau Shikoku, seorang bekas polisi terdapat di antara anggota Yamaguchigumi yang tertangkap. Begitu parahkah citra hamba hukum di Negeri Matahari Terbit ini? "Menurut Buku Putih Kepolisian Jepang edisi 1984, prestasi polisi negeri ini sebetulnya lumayan bagus," tulis pembantu TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Pada 1983, misalnya, Keisatsucho menggulung 930 ribu kasus dari 1,54 juta tindak pidana yang tercatat. Khusus di bidang pembunuhan, polisi Jepang menangkap 97,1% pelaku dari 1.745 kasus. Ini lebih tinggi daripada prestasi polisi AS dan Inggris dalam periode yang sama, masingmasing dengan 73,5% dan 77,8%. Tetapi, "Jumlah kejahatan yang dilakukan polisi sebenarnya lebih besar dari angka yang diumumkan," kata seorang wartawan senior Mainichi Shimbun, yang khusus meliput berita kejahatan selama 20 tahun terakhir, kepada TEMPO. Kasus paling bejat tercatat pada Januari 1978, ketika seorang polisi berseragam memasuki rumah seorang mahasiswi di Distrik Setayaga, Tokyo, kemudian memperkosa dan membunuhnya. Kini jumlah polisi Jepang tercatat 253 ribu orang - seorang polisi untuk sekitar 550 penduduk. Bila dibandingkan dengan negara maju, angka ini termasuk rendah. Menurut data Organisasi Polisi Kriminal Internasional (ICPO), setiap polisi AS mengawasi hanya 394 penduduk, dan setiap polisi Inggris mengawasi 398 penduduk. Sementara itu, dunia kejahatan Jepang semakin canggih. Osaka, misalnya, secara tidak resmi sudah dipadankan dengan Chicago, dan sejak dulu merupakan "suaka tradisional" para bandit. Di kota itulah Masahisa Takenaka, dan dua pengawal, disikat siraman peluru. Dan peristiwa ini, menurut beberapa penguasa Jepang, merupakan awal perang berdarah yang akan melibatkan 100 ribu anggota sindikat kejahatan. Betapa tidak. Saat ini paling tidak terdapat tujuh kelompok besar Yakusa yang menguasai bisnis obat bius, judi, dan pelacuran di seluruh Jepang. Mereka ini bahkan sudah melebarkan sayap ke Hong Kong, Australia, Hawaii, California, Prancis, sampai Timur Tengah. Tidak salah bila Teiji Morishage dari Biro Pengusutan Kejahatan Kepolisian Jepang mengatakan, "Perang antar-Yakusa ini bisa berkembang ke seluruh dunia." Karena itu, biro ini sudah meminta bantuan FBI dan Interpol untuk menyelidiki pembunuhan misterius yang menimpa setiap turis dan tokoh bisnis Jepang di Eropa dan AS. Yakusa sendiri berakar sejak abad ke-17, ketika Jepang dikuasai para samurai dan raja perang. Serikat ini menuntut kesetiaan luar biasa dari para anggotanya. Ikrar menjadi anggota biasanya disertai perajahan tubuh dengan lambang-lambang tertentu, bahkan tidak jarang sambil memotong sebuah jari tangan. Kini, dengan angka kejahatan yang makin tinggi di kalangan kepolisian, makin sulit dibayangkan usaha efektif menekan angka kejahatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini