PRESIDEN AS Jimmy Carter datang tidak dengan membawa damai.
Sebab siapa pun tahu bahwa perdamaian di Timur Tengah tak berada
dalam tasnya, ketika ia turun dari pesawat "Air Force One" di
permadani merah di Kairo atau Yerussalem. Perdamaian bahkan
mungkin tak berpusat di kedua kota kuno itu.
Jalanan ibukota Mesir penuh manusia. Ratusan ribu, menurut
perhitungan sang tamu. Sepanjang jalan, seraya menaiki Cadillac
terbuka tapi dijaga ketat oleh pengawal, Carter yang didampingi
Presiden Sadat terkesan akan sambutan hangat itu -- seraya
pandangnya memungut satu kalimat dalam spanduk selamat datang:
"Kita Percaya Kepada Tuhan." Di wilayah yang sarat dengan
sejarah agama-agama besar itu, seorang presiden Amerika yang
Kristen salih, kini hendak mempertemukan sebuah bangsa Yahudi
dengan bangsa Muslimin. Nama Tuhan layak disebut-sebut dalam
perkara yang sulit itu.
"Anda dan, saya, tuan Presiden," kata Carter kepada Sadat
dalam pidato di Istana Kubbe hari Kamis, "percaya kepada
Tuhan. Marilah kita berdoa kepada Tuhan, agar membimbing
kaki-kaki kita ke dalam jalan perdamaian."
Tapi jalan perdamaian itu dengan segera nampak punya rintangan
besar. Beberapa jam sebelum Carter tiba di Kairo, Sadat dan
kabinet Mesir mendiskusikan gagasan kompromi yang dirumuskan AS,
yang sudah diterima Israel hari Senin. Tak ayal lagi Mesir pun
mengajukan usul tandingan. "Akan ada perubahan sedikit," kata PM
Mesir Mustafa Khalil tentang usul AS.
Adakah "perubahan sedikit" dari Mesir terhadap usul AS itu akan
diterima Israel? Carter pun terbang ke Yerussalem -- disambut
oleh bandar udara yang penuh angin kencang, dan juga pelukan
hangat Manachem Begin. Tapi beberapa jam kemudian jadi jelas:
usul Mesir yang dibawa Carter tidak bisa diterima oleh kabinet
Israel. PM Begin sudah melakukan sidang marathon untuk
mendiskusikannya, tapi Senin pagi pekan ini pemimpin Israel itu
mengumumkan satu sikap terakhir. "Sekarang tergantung pada
jawaban Kairo," kata Begin.
Hari Minggu Yang Tanpa Hasil
Setelah hari Minggu yang tanpa hasil itu, Presiden Carter
mungkin akan memperpanjang tinggalnya di Israel, setidaknya satu
hari lagi. Ia sudah diberitahu: Israel nampak sangat tidak puas
terhadap usul Mesir. Dalam jamuan makan yang diadakan para
pemimpin Israel, Carter mengatakan masih adanya
"perbedaan-perbedaan yang tajam." Kemudian katanya kepada para
wartawan: sebenarnya "dari sudut pandangan saya perbedaan itu
tak begitu serius."
Tentu saja Carter tak ingin memberi kesan lebih jauh, bahwa ia
menyepelekan keberatan Israel. Tempo hari ia pernah menunjukkan
kecenderungannya mengritik PM Begin yang kurang luwes dalam
berunding. Tapi Begin yang baru pulang dari AS di hari yang sama
Carter tiba di Kairo, rupanya sudah dapat berbaik kembali dengan
sang presiden AS. "Tak benar bahwa Presiden (Carter) datang ke
mari untuk menekan kita," katanya engan agak marah.
Tapi bagi sebagian orang Israel, Carter memang tak amat
menyenangkan. Ketika ia datang, sejumlah demonstran mencoba
memasang rintangan di jalan yang dilalui rombongan tamu.
Kelompok "Gush Emunin," yang mendukung pemukiman Yahudi di
wilayah Arab yang diduduki Israel, mengirim 400 anggotanya ke
Yerussalem. Mereka mencoba memacetkan lalu-lintas.
Dalam kabinet Begin sendiri -- sebuah koalisi -- terdapat sikap
yang tak begitu bersedia untuk mencapai kesefakatan dengan
Mesir, apabila Carter mendesak Israel untuk memberi konsesi
lagi. Bahkan partai oposisi, Buruh, hanya sebagian yang setuju
perjanjian damai dengan Mesir dengan merelakan kembalinya
jazirah Sinai. Sebagian bahkan menolak gagasan otonomi untuk
wilayah Tepi Barat sungai Yordan yang berpenduduk Arab itu. Itu
akan memungkinkan berdirinya sebuah negara Palestina kata tokoh
Partai Buruh Shimon Peres.
Waktu Berubah dari Teheran
Padahal justru suatu jadwal waktu yang jelas, untuk terbentuknya
pemerintah Palestina yang otonom, itulah yang diarah Mesir.
"Kami bertekad," kata Sadat kepada Carter waktu masih di Kairo
"untuk memungkinkan saudara-saudara kami orang Palestina
merealisasikan hak-hak nasional mereka dan mendapatkan kembali
kemerdekaan mereka." Artinya, kurang-lebih Mesir hanya bersedia
teken perjanjian damai, bila tujuan ke arah kemerdekaan
Palestina itu diperjelas.
Sadat dan Begin dengan demikian belum banyak merubah posisi
masing-masing sejak pertemuan puncak Camp David tahun lalu. Tapi
waktu toh telah berubah. Jam telah berdetak lain dari Teheran
setelah Shah Iran jatuh. Di Iran kini tegak pemerintah yang
anti-lsrael. Pemimpin gerilyawan PLO Yasser Arafat sendiri
datang ke Teheran bulan lalu. Ia disambut hangat -- dan ia
mencium pipi Ayatullah Khomeini.
AS melihat semua itu dengan cemas. Bagi Washington, Mesir dan
Israel kian tersisih. Dua negara itulah yang diharapkannya jadi
tempat berpijak bagi melawan pengaruh Soviet. Tapi bagi Israel,
justru setelah Iran kini jadi musuhnya, apa gunanya suatu
perdamaian dengan Mesir yang tak amat meyakinkan? Ia kian
terkepung. Ia tak hendak melihat sebuah wilayah baru -- di
Palestina di dekatnya, jadi tambahan ancaman.
Bagi Mesir, kejatuhan Shah juga membawa pesan. Apalagi para
pemimpin Iran yang baru terang-terangan tak menyukai Sadat.
Mereka pernah meramalkan, bahwa golongan Ikhwanul Muslimin di
Mesir suatu ketika akan menjatuhkan sang presiden -- setelah
saudara mereka di Iran menjatuhkan Shah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini