Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Brutal

Haiti dipimpin orang brutal, francois duvalier. suka membunuh siapa saja yang menentangnya. jean-berttrand aristide seorang padri yang terpilih jadi presiden. militer tak menyukainya.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG bertubuh kecil dan berkaca mata lembek itu (ia dididik sebagai padri) mencoba mengubah sejarah di sekitarnya. Sejarah itu busuk dengan bau orang yang bantai-membantai. Tapi bisakah Haiti diubah? Jean-Bertrand Aristide yakin. Ia percaya kepada Tuhan dan ia percaya kepada kebaikan. Tapi dunia, ternyata, tak selamanya akrab dengan pengharapan seorang yang tak punya bedil. Pada tahun 1957, ketika Aristide berumur empat tahun, rakyat Haiti memilih seorang tabib desa yang penggumam dan berkaca mata tebal. Dan Dokter Francois Duvalier pun jadi presiden. Orang ini cukup populer mula-mula: ia mendapat dua dari setiap tiga suara. Tapi tanpa dukungan angkatan bersenjata Haiti, ia tak akan punya wibawa mungkin juga tak akan punya tangan dan kaki. Duvalier segera sadar: ia harus punya kekuatan sendiri. Ia tak ingin selalu didikte oleh mereka yang berseragam dan bersenjata di markas besar. Maka, sang Presiden pun membentuk satu kekuatan saingan, sebuah milisia yang direkrut dari kancah pemuda miskin dan para penganggur yang banyak tergolek di daerah kumuh. Mereka diberi seragam dan sehelai skarf merah di leher, dan mereka dipersenjatai. Mereka inilah ''Tonton Macoutes'', pasukan yang setia dengan keras dan ganas kepada pak tua yang kemudian disebut dengan julukan ''Papa Doc'' itu. Mereka dengan segera menjadi para panjaga dan pembunuh, yang bisa dikirim untuk menghabisi siapa saja yang tak berkenan di hati Presiden. Mula- mula yang jadi sasaran adalah perwira militer yang dicurigai. Kemudian: siapa saja bisa dihabisi, tanpa dakwaan, tanpa peradilan. Kekerasan dengan cepat memang bisa jadi kebiasaan. Sejak Haiti merdeka dari Prancis tahun 1804, 40 pria dan seorang wanita berhasil mendapatkan kursi di Istana dan kemudian meninggalkannya dengan pelbagai cara: satu orang dengan eksekusi, satu orang bunuh diri, dua dibunuh, seorang lagi mati karena Istana meledak, kurang-lebih lima orang mati wajar, dan kira-kira 20 orang dimakzulkan dengan kekerasan. Pada tahun 1915 bahkan Jenderal Vibrum Guillaume Sam, yang jadi presiden cuma lima bulan, mati dikeroyok rakyat. Tubuhnya dicincang oleh kelimun orang yang berteriak marah: tangannya dipotong, kepalanya disulah. Papa Doc sendiri, dengan teror dan ''Tonton Macoute''-nya, punya nasib lebih baik. Ia berhasil bertahta selama hampir seperempat abad, sampai ia mangkat pada tahun 1971. Tapi dengan biaya yang mengerikan: selama ia berkuasa, sekitar 40 ribu manusia dihabisi nyawanya, sering di siang hari bolong di depan khalayak. Tentu harus dicatat bahwa pada tahun 70-an semacam suasana ''normal'' mulai terasa. Terutama ketika Papa Doc digantikan anaknya, Jean-Claude, yang gendut, suka cewek dan mobil mewah, dan tak bisa memerintah itu. Suatu proses dechoukaj (''pembongkaran''), istilah untuk gerakan yang menentang Duvalier, pun mulai. Manusia memang tak selamanya bisa diteror. Ada batas ketakutan dan batas kekuasaan yang menebarkan ketakutan itu. Pada tahun 1970-an, para penulis, dramawan, komentator radio, juga rohaniwan, mulai menyuarakan kecaman mereka, dengan hati- hati tapi pasti. Jean-Bertrand Aristide waktu itu adalah seorang padri muda yang berbicara mengutip Injil di Radio Cacique. Tapi kutipan Injilnya dengan segera menjadi ilustrasi yang menggambarkan kejinya kehidupan di Haiti. ''Injil itu dalam bentuknya yang mentah dapat bertindak bagaikan setangkai dinamit,'' tulis Aristide kemudian. Namun Gereja Haiti tak begitu berkenan dengan permainan dinamit itu. Sejak 1966, Vatikan lebih memilih bersahabat dengan rezim Duvalier. Maka, para petinggi Gereja di Haiti mengambil satu cara untuk menyingkirkan pastor muda yang baru lulus dalam ilmu psikologi itu: Aristide dikirim ke Yerusalem untuk belajar bahasa Ibrani dan menguasai studi Injil. Januari 1985, setelah hampir enam tahun di luar negeri, Aristide pulang. Khotbahnya kian mengguntur, dan orang berduyun datang atau merekam, terutama ketika ia kembali di Port-au-Prince dan bersuara dari Gereja Santo Jean Bosco di tepi daerah kumuh La Saline. Rohaniwan itu akhirnya menjadi seorang pemimpin politik, semacam Khomeini kecil di negeri kecil yang menderita itu. Tapi ia tak seberhasil Khomeini. Ia terpilih menjadi presiden, dan dijamin oleh konstitusi, tapi angkatan bersenjata Haiti tak menghendakinya. Ia terusir, sebab di Haiti orang berkata, ''Konstitusi dibuat dari kertas, bayonet dibuat dari besi.'' Di Haiti, dengan kata lain, orang masih harus mencari jalan bagaimana cara hidup dengan bersandar pada bayonet yang tiap saat bisa menusuk siapa saja itu. Sudah 189 tahun: yang brutal itu sekali dimulai tampaknya tak mudah bisa diakhiri.Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus