Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karier cemerlang Achmad Djunaidi lahir dari lapangan golf. Dalam satu kesempatan main golf, Ketua BPK Umar Wirahadikusumah (almarhum) bertanding melawan Moes Joenoes, Direktur Utama Perum Astek. Mereka bertaruh, siapa pun yang memenangi pertandingan itu berhak menentukan di mana Djunaidi harus berkantor. Dan Joenoes menang.
Ceritanya, Joenoes naksir berat Djunaidi, yang saat itu masih pegawai BPK. Pasalnya, Djunaidi sering ikut menyusun organisasi dan anggaran dasar Yayasan Jaminan Sosial. Belakangan, yayasan ini bermetamorfosis menjadi Perum Astek, kemudian PT Astek, dan kini PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja).
Walhasil, sejak 1979, anak pasangan A. Lamsyari dan Halimah Kartodimedjo ini pindah kantor. Pria kelahiran 12 Juni 1943 itu dipercaya menempati posisi Kepala Divisi Investasi Perum Astek. Tiga tahun berselang, kariernya makin mencorong dengan menduduki jabatan direktur keuangan dan investasi. Tugasnya sangat berat. Alumni Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas) ini tak cuma harus memutar otak menyediakan uang guna membayar seluruh kewajiban Astek, tapi juga dituntut mengembangkan dana publik yang terkumpul.
Lulusan Institut Ilmu Keuangan, Jakarta, Jurusan Akuntansi itu mengambil kebijakan berani dengan ?memutar? uang di Bursa Efek Jakarta. Kepiawaiannya benar-benar diuji. Pada 1989, pria yang punya hobi tenis ini berhasil meraih keuntungan bersih Rp 58 miliar. Angka ini meningkat seratus persen dari sebelumnya, yang hanya Rp 24,5 miliar. Berikutnya, Astek menjadi salah satu lembaga keuangan bukan bank yang mendapatkan kepercayaan dari pemerintah. Astek diberi izin memutar uangnya di lantai bursa sampai Rp 250 miliar. Prestasi ini membuat dirinya bertakhta cukup lama di posisi yang sama.
Pengangkatan Abdul Latief sebagai Menteri Tenaga Kerja ketika itu berdampak kurang baik bagi perjalanan kariernya. Karena menolak intervensi penggunaan dana Jamsostek, Djunaidi harus keluar dari habitat yang selama ini ditekuni. Kendati demikian, akuntan yang pernah mengikuti kursus Privatization on State-Owned Enterprises di Washington, DC (1990), itu justru dipercaya menjadi Direktur PT Kliring dan Jaminan Bursa Komoditi hingga pertengahan 2000.
Di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Djunaidi diminta menjadi Direktur Utama PT Jamsostek, sebuah BUMN yang kini mengelola dana Rp 30 triliun dari 13 juta peserta?para pegawai perusahaan di seluruh Indonesia. Dengan segala pasang-surutnya, bekas anggota Kelompok Kerja Ekonomi DPP Golkar ini menakhodai Jamsostek sejak Juni 2000.
Diterpa isu tidak sedap adalah hal biasa bagi Djunaidi, termasuk soal penggunaan Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) secara serampangan dan penempatan dana secara tidak transparan. Penempatan dana DPKP Jamsostek di Bank Rakyat Indonesia pada pertengahan 2003 telah memicu skandal keuangan yang harus di bawa ke meja hijau. Pengadilan menyatakan Jamsostek bersih dari kemungkinan kongkalikong memakai dana publik sebagai jaminan kredit perusahaan swasta. Tapi, detail kasus ini lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang jawaban, terutama tentang sepak terjang para pemimpin Jamsostek.
Pekan lalu, dia bersedia menerima wartawan Tempo untuk sebuah wawancara. Perbincangan dilakukan dua kali, di Medan dan Jakarta. Berikut ini petikannya.
Apa pertimbangan menempatkan dana deposito DPKP ke sebuah bank?
Selain soal bunga (yang tinggi), kami juga mempertimbangkan soal keamanan dana yang disimpan dalam bank itu. Bisa di bank pemerintah, bisa juga ditempatkan di bank swasta asalkan aman.
Dalam audit sementara BPK semester I 2004, Rp 58 miliar dana DPKP disimpan di Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali. Kedua bank itu kemudian dibekukan operasinya oleh Bank Indonesia. Bukankah tidak aman?
Dana itu sudah kembali. Ketika kami menempatkan dana itu, kedua bank dinilai sehat oleh BI. Mana tahu kami kalau tiba-tiba bank itu bangkrut. Masa, saya harus periksa bank itu sendiri sebelum memasukkan dana ke sana. Kan sudah ada laporan keuangan dan penilaian dari BI.
BPK juga menemukan ada dana DPKP yang mengalir ke Panitia Nasional Kemerdekaan RI ke-58 sebesar Rp 400 juta. Bukankah ini menyalahi filosofi dibentuknya DPKP?
Itu diambil dari dana bina lingkungan. Semua BUMN melakukan itu. Biasanya diambil satu-dua persen dari laba yang ada.
Bagaimana akhirnya Anda memutuskan menempatkan deposito DPKP di BRI cabang pembantu Surya Kencana, Bogor? Bukankah itu cabang kecil?
Menempatkan deposito itu di mana pun bisa, asal banknya sehat. Apalagi kalau bank pemerintah. Bank swasta saja boleh. Lagi pula waktu itu kan ada penawaran dari pihak sana.
Anda kenal dengan Asep Tarwan, Kepala BRI cabang pembantu Surya Kencana?
Sama sekali tidak kenal. Kenal mukanya Asep saja saya tidak. Kalau setingkat kepala cabang, yang mengurus di Jamsostek biasanya setingkat kepala biro atau kepala bagian.
Bagaimana perkembangan dana DPKP Jamsostek dalam kasus pembobolan Bank BRI Surya Kencana tersebut?
Kasus itu sudah basi dan sudah diputus oleh pengadilan. Kenapa Anda tanyakan lagi. Ada maksud apa? Begini, dana yang ada di Jamsostek itu titipan masyarakat. Jadi, jangan sampai muncul rasa tidak percaya. Uangnya sudah kembali dan tidak hilang. (Pembobolan di BRI Bogor) itu tanggung jawab bank. Kita menaruh deposito di bank. Jadi, tanggung jawab bank soal mau dikemanakan duit itu.
Nah, ternyata terjadi kecurangan di bank yang dilakukan oleh yang bersangkutan. (Modusnya) seolah-olah kita menjaminkan (deposito). Padahal itu tidak boleh dilakukan. Kita menaruh uang deposito di bank tidak untuk dijaminkan atau untuk dipinjamkan ke mana-mana. Tapi kemudian muncul surat-surat yang seolah-olah datang dari kita.
Anda tidak tahu soal surat itu?
Tidak. Itu semua palsu. Di Bogor, ternyata sertifikatnya lebih dari satu. Jadi, dibikin lagi oleh oknum bank itu, kerja sama dengan pihak luar. Itu perkara sudah selesai.
Benarkah Asep Tarwan pernah datang dan memberi uang kepada Anda?
Saya tidak senang atas tuduhan itu. Kenal dia saja tidak. Itu urusan bawahan saya. Di kejaksaan sudah kita jelaskan semua. Kalau memang ada keterlibatan saya, tentu saya akan terbawa juga.
Menurut BAP Asep Tarwan, Anda dikatakan menerima komisi beberapa kali dalam setiap pencairan, di antaranya Rp 800 juta melalui bawahan Anda. Benarkah?
Tidak benar.
Benarkah penempatan deposito itu tanpa sepengetahuan direksi Jamsostek yang lain?
Tidak usah izin direktur lain. Cukup Kepala Biro DPKP dengan saya. Tahu tidak, surat deposito Jamsostek itu ribuan jumlahnya. Dana deposito ada sekitar Rp 12 triliun.
Asep Tarwan mengaku pencairan dana untuk PT Delta Makmur Ekspresindo sudah atas persetujuan Anda. Di persidangan juga muncul copy dokumen surat permintaan pencairan dana itu yang Anda tanda tangani. Apakah Anda mengetahui proses pinjam-meminjam itu?
Saya tidak pernah membuat surat persetujuan itu. Itu tidak benar. Mereka yang memalsukan suratnya. Kan pengadilan sudah mengatakan surat itu palsu.
Surat itu belum dipastikan palsu karena belum diperiksa oleh Laboratorium Forensik dan Kriminal. Kenapa Anda yakin itu palsu?
Lho, itu urusan mereka. Toh, kasusnya sudah selesai di pengadilan.
Kenapa seorang kepala cabang pembantu bisa mencairkan dana dalam jumlah besar? Bukankah ini agak aneh?
Saya tidak tahu. Cek ke BRI, dong, kenapa bisa begitu.
Nomor bilyet deposito Jamsostek ada yang berkode DB 77, artinya diterbitkan di Pasar Minggu, sementara semua bilyet deposito yang dikeluarkan BRI cabang pembantu Surya Kencana, Bogor, berkode DB 56. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini?
Lho, mereka yang palsukan, kok. Kami tidak tahu apa-apa. Buktinya, duitnya sudah cair semua dan tidak ada masalah.
Soal lain. Pada 2003, Anda memutuskan memberi talangan kepada perusahaan swasta, PT Havilah, untuk membayar pesangon karyawan mereka. Apakah ini tidak melanggar aturan yang berlaku?
Itu memang kasus khusus. Menteri Tenaga Kerja minta bantuan Jamsostek untuk menalangi buruh-buruh yang ditinggal lari pengusahanya. Lagi pula, ini sudah disetujui komisaris dan pemilik saham (Menteri Negara BUMN).
Tapi komisaris menyatakan tidak pernah dimintai persetujuan, dan mengirim surat teguran kepada Anda?
Sama sekali tidak. Yang penting, dananya sudah kembali.
Bukankah pembayaran kembali dana talangan itu kini masih seret?
Ah, tidak. Rabu (20/10) ini sudah siap dikembalikan.
Soal Rp 11 miliar dana DPKP yang disalurkan ke Induk Koperasi Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman, yang diurus politisi Tosari Wijaya. Ada keanehan: koperasi itu baru terbentuk seminggu. Bukankah sesuai dengan aturan mereka tak berhak menerimanya?
Yang baru itu induk koperasinya. Anggota koperasinya sudah berusia puluhan tahun. Lagi pula mereka sudah berhubungan dengan kami sangat lama. Sebelumnya, masing-masing bagian sudah memiliki koperasi sendiri. Tapi kemudian mereka bergabung dalam induk koperasi demi memudahkan koordinasi. Jadi, tidak benar itu koperasi baru.
Bukankah ada maksud untuk melobi koperasi itu agar para buruhnya menjadi peserta Jamsostek kembali?
Memang dulu mereka sempat keluar, dan kita perlu merangkul mereka kembali. Yang penting, setelah itu mereka tidak keluar-keluar lagi dari Jamsostek. Lagi pula dana hibahnya dihitung sebagai biaya promosi.
Kenapa macet dan baru dikembalikan Rp 1,3 miliar?
Memang agak seret. Tapi mereka membuat surat yang isinya siap mengembalikan pinjaman. Kita sedang menjadwal ulang waktu pembayarannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo