Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelar magister hukum yang diraihnya dengan predikat cum laude tidak menolong. Asep Tarwan, seorang bankir, kini mendekam di sebuah sel Penjara Paledang, Bogor. Bobot tubuhnya melorot delapan kilogram hanya dalam tempo tiga bulan di situ. Penyakit gula menggerogotinya. ?Sudah tiga minggu ini saya sakit dan tidak bisa keluar dari sel,? katanya kepada Tempo pekan lalu.
Sebelumnya, hidup Asep lumayan. Dia seorang bankir, tepatnya Kepala Kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI) di cabang pembantu Surya Kencana, Bogor. Tapi, Juli lalu, pengadilan setempat menjatuhkan hukuman kurungan 17 tahun penjara dan hukuman denda Rp 40 miliar kepadanya. Menurut para hakim yang menyidangkan kasusnya, dia terbukti telah mencairkan kredit Rp 93,5 miliar secara tidak sah kepada dua perusahaan swasta. Asep dipersalahkan telah mencairkan kredit itu dengan jaminan sertifikat deposito Jamsostek.
Di samping Asep, pengadilan juga menyeret dua pengusaha penerima kredit, yakni Hartono Tjahjadjaja (PT Delta Makmur Ekspresindo) dan Yudi Kartolo (PT Panca Prakarsa). Keduanya masih menjalani proses persidangan. ?Mereka kini ditahan di Rumah Tahanan Salemba,? ujar Ferry Juan, pengacara mereka.
Asep sendiri berkeras dirinya tak bersalah. Bersama pengacaranya, Kuswara Taryono, dia kini mengajukan banding ke pengadilan lebih tinggi. Asep berkeras dia mengucurkan kredit itu secara aman, yakni atas permintaan Jamsostek sendiri?sebuah perusahaan besar milik pemerintah?serta dengan jaminan sertifikat deposito milik dua lembaga Jamsostek: Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP) dan Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKK).
Bagaimana sertifikat deposito Jamsostek bisa dijadikan agunan kredit perusahaan swasta? Ceritanya panjang, dan misterius. Para pejabat Jamsostek memang mengakui ada deposito mereka yang disimpan di kantor BRI tempat Asep bekerja. Namun, mereka berkeras tidak pernah menjaminkan deposito itu untuk pencairan kredit kepada pihak ketiga. Dan para hakim mempercayai kesaksian mereka.
Tapi, jika tidak ada agunan, bagaimana mungkin seorang kepala kantor cabang pembantu, yang umumnya hanya bisa mencairkan kredit tak lebih dari Rp 150 jutaan, bisa memberikan kredit puluhan miliar? Para hakim juga percaya kepada pejabat BRI yang menyatakan bahwa Asep adalah ?pemain solo? dalam manipulasi ini dan menimpakan semua kesalahan kepadanya.
Asep yang malang. Dia kini harus puas hidup dalam sel ukuran 2 meter persegi. Puas dengan makan seadanya. ?Saya tidak bisa beli jajan karena tak punya duit,? ujarnya.
Asep mungkin bukan malaikat. Bagi seorang bankir, mendatangkan deposan dan memberikan kredit adalah prestasi. Dia tahu benar ada beberapa prosedur pencairan kredit yang dilanggarnya demi mengukir prestasi. ?Dia melanggar itu semua demi promosi jabatan, yakni menjadi kepala salah satu kantor cabang BRI di Jakarta,? kata Else Susan, pengacara Asep dalam peradilan tahap pertama.
Bagaimanapun, pengadilan Asep memang menyisakan banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Benarkah para pejabat Jamsostek tidak terlibat dan tidak tahu-menahu urusan ini? Bagaimana pula dengan atasan Asep di BRI?
?Saya tidak tahu kenapa bisa jadi begini,? kata Asep dengan nada geram. Dia merasa menjadi korban permainan hukum. ?Saya ini sarjana hukum niaga, tapi saya tidak belajar jual-beli hukum!?
Semua cerita berawal ketika Asep mulai menjabat Kepala BRI Surya Kencana. Dia mengaku kesulitan menarik nasabah untuk menyimpan deposito. Hal ini membuat dia tertantang dan akhirnya bergerilya ke Jakarta mencari dana segar. Pucuk dicinta, deposito tiba. Pada Mei 2003, dia bertemu dengan Ferdinand Dumais, yang mengaku sebagai Fund Manager Maya Pada Bank, sebuah bank swasta di Jakarta. Ferdinand berjanji bisa mendatangkan deposito dalam jumlah besar dari Jamsostek.
Ferdinand-lah?seperti dituturkan Asep dalam berita acara pemeriksaan?yang membawa dia ke kantor pusat Jamsostek. Asep mengaku diperkenalkan dengan beberapa pejabat teras di situ. Antara lain Odang Mochtar, Ketua Yayasan Kesejahteraan Karyawan, serta dua pejabat DPKP: Sudrajat (Kepala Urusan Administrasi Keuangan) dan Bambang Darmawan (saat itu staf biro DPKP). ?Selain yayasan, DPKP Jamsostek juga menawarkan dananya untuk disimpan di BRI yang saya pimpin,? kata Asep. Dalam kesempatan lain, Ferdinand memperkenalkan Asep dengan Harris Setiawan, yang disebut sebagai ?orang kepercayaan? Direktur Utama Jamsostek, Djunaidi.
Para pejabat Jamsostek membantah pernah ada pertemuan seperti itu. ?Semua itu hanya karangan Asep saja,? kata Odang Muchtar kepada Tempo. Bersama Sudrajat, Odang adalah saksi yang memberatkan Asep di persidangan. Mereka juga mengaku tidak mengenal nama Ferdinand Dumais dan Harris Setiawan, yang kini raib entah ke mana.
Anehnya, satu bulan kemudian, memang terjadi pengalihan dana deposito Jamsostek dari Bank Mandiri ke BRI Surya Kencana yang dipimpin Asep. Transfer deposito terjadi empat kali dari Juni hingga Agustus 2004, dengan nilai total (DPKP) Rp 75 miliar (lihat, Pola yang Jelas Terlalu Singkat Kurun Penempatan Deposito dan Pencairan Kredit).
?Kami memindahkan deposito karena adanya penawaran dari Asep lewat surat,? kata Bambang Darmawan, yang kini telah dipromosikan menjadi Ketua DPKP. Tawaran itu menarik. ?Dalam surat, suku bunga deposito yang ditawarkan lebih tinggi dari bank lain, yakni 7,5 persen setahun.?
Ada tiga kejanggalan di sini. Pertama, benarkah Jamsostek memindahkan deposito hanya berdasar penawaran lewat surat dari seorang kepala cabang pembantu? ?Ini memang aneh dan jarang terjadi,? kata pengamat perbankan Masyhud Ali. ?Dari mana Asep tahu bahwa Jamsostek mau menempatkan uang begitu banyak??
Kejanggalan kedua, ada jarak waktu yang terlalu pendek antara penawaran Asep dan realisasi pengalihan deposito. Dari empat pengalihan, salah satunya dilakukan persis pada hari penawaran, yakni 23 Juli 2003. Alangkah cepatnya pengambilan keputusan di Jamsostek untuk urusan uang puluhan miliar!
Kejanggalan ketiga, alasan Bambang Darmawan, bahwa deposito dialihkan untuk memperoleh bunga lebih besar, juga tidak masuk akal. Suku bunga untuk deposito satu tahun di Bank Mandiri sendiri pada waktu itu 12,25 persen.
Bagaimanapun, Asep tidak banyak berpikir karena merasa menadah durian runtuh, dan mengaku mentoleransi beberapa penyimpangan prosedur. Asep menerbitkan sertifikat (bilyet) deposito seperti lazimnya. Namun, yang tidak lazim, dua sertifikat di antaranya bukan diambil oleh pejabat Jamsostek sendiri, melainkan oleh Harris Setiawan, ?sang utusan? Direktur Utama Jamsostek?menurut penuturan Asep.
Dalam aturan standar BRI, setiap sertifikat deposito diberi nomor. Dua nomor di depan menunjukkan cabang BRI tempat sertifikat itu diterbitkan. Asep menerbitkan empat sertifikat dengan nomor depan DB 56, yang menunjukkan cabang Surya Kencana, Bogor. Dalam persidangan, Asep mengatakan bahwa, atas permintaan Jamsostek, Harris menggandakan sertifikat itu seperti aslinya, namun berbeda nomor.
Setahun kemudian, ketika depositonya dicairkan, Jamsostek memiliki empat sertifikat: dua sesuai dengan nomor yang dibuat Asep, namun dua lainnya bernomor depan DB 77, yang menunjukkan kantor BRI cabang Pasar Minggu, Jakarta.
Kejanggalan Jamsostek menyimpan deposito di Bogor tapi memperoleh sertifikat dari Pasar Minggu tidak pernah dipersoalkan di pengadilan. Para hakim juga mengabaikan pembelaan Asep: bukankah pemilikan dua deposito bernomor Pasar Minggu itu merupakan indikasi bahwa para pejabat Jamsostek sebenarnya mengenal Harris Setiawan?
Peran Harris sangat penting dalam kasus ini. Harris-lah, menurut Asep, yang menjadi jembatan antara dia dan Jamsostek. Harris pula yang belakangan membawa surat permohonan kredit dari Jamsostek kepada BRI Surya Kencana atas jaminan sertifikat deposito tersebut: kuasa pada BRI untuk mencairkan depositonya bila kredit tak terbayar. Baik surat permohonan kredit maupun surat kuasa jaminan memakai kop surat Jamsostek dan ditandatangani Direktur Utama Djunaidi bersama Sudrajat.
Masih ada surat penting lainnya: surat dari Jamsostek agar kredit yang cair ditransfer kepada rekening PT Delta Makmur Ekspresindo milik Hartono Tjahjadjaja dan PT Panca Prakarsa milik Yudi Kartolo. ?Surat-surat itu semua langsung diantar oleh Harris ke meja saya,? ujar Asep.
Berdasarkan surat-surat itu, BRI mengucurkan dana kepada dua pengusaha swasta. Total kreditnya mencapai Rp 93,5 miliar. Namun, baik Sudrajat maupun Djunaidi membantah keras pernah membuat atau menekennya. ?Saya tidak kenal (Asep). Jika ada keterlibatan, tentu saya terbawa juga, kan?? ujar Direktur Utama Jamsostek, Djunaidi, kepada Tempo (lihat, ?Dana Jamsostek Aman?). Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kinerja BRI Tahun 2003 memperkuat pengakuan pihak Jamsostek: ?Tanda tangan pejabat Jamsostek tidak identik dengan tanda tangan di fotokopi KTP mereka.? Namun, para hakim menolak permintaan pembela Asep agar surat-surat itu diperiksa di laboratorium forensik dan kriminal untuk diuji keautentikannya.
Parahnya, dalam berita acara pemeriksaan, Asep juga mengaku tidak melakukan konfirmasi sama sekali ke jajaran pimpinan Jamsostek perihal surat-surat tersebut. Setelah proses itu, sesuai dengan prosedur, Asep menandatangani ?surat persetujuan pinjam uang? tapi tanpa duduk bersama dengan Jamsostek sebagai peminjam. Sesuai dengan prosedur pencairan kredit cash collateral alias agunan kas (BRI), surat itu seharusnya ditandatangani bersama dengan peminjam di depan notaris. Dia percaya begitu saja pada Harris. ?Surat-surat itu memang datang pada saya dalam keadaan sudah ditandatangani dan diantar oleh Harris Setiawan,? tuturnya.
Asep membela diri bahwa pengucuran kredit itu tidak diputuskan sendirian. ?Saya mencairkan dana pinjaman itu setelah memorandum analisis kredit dari petugas kredit (account officer) saya keluar,? katanya. Namun, dua petugas kredit yang dimaksud, yakni Jaka Triana dan Iskandar Astryady, justru menandatangani pernyataan (11 November 2003) yang mengatakan bahwa semua rekomendasi dibuat atas perintah Asep.
Asep mungkin saja berbohong. Tapi, bukankah sesuai dengan ketentuan BRI, sebagai kepala kantor cabang pembantu, wewenangnya memberi kredit tak lebih dari Rp 150 juta? Bagaimana ini bisa terjadi tanpa sepengetahuan atasannya?
Dalam pengakuan di persidangan, Asep mengatakan telah meminta izin kepada atasannya, Agus Triatno, Kepala Cabang BRI Bogor. Namun, dalam persidangan, Agus membantahnya. Agus mengaku justru menemukan pelanggaran prosedur itu dalam laporan BRI secara online. ?Saya shocked ketika mengkonfirmasikan ke Jamsostek dan ternyata mereka tidak pernah menjaminkan deposito,? kata Agus di persidangan.
Agus mungkin tidak tahu-menahu. Tapi atasan yang lebih tinggi, Prajogo Sedjati, yang tak lain adalah Kepala Kantor Wilayah BRI Jabotabek, setidaknya tahu tentang rencana pencairan kredit untuk dua perusahaan swasta itu. Yudi Kartolo dan Hartono Tjahjadjaja mengaku bertemu Prajogo Sedjati beberapa kali. ?Kami membahas pinjaman kredit cash collateral Jamsostek yang kami dapat,? kata Hartono. Dalam persidangan, Prajogo tidak membantah hal ini, tapi dia mengaku tidak tahu bahwa jaminan tersebut adalah deposito Jamsostek.
Menurut Hartono, tidak hanya petinggi BRI yang tahu tentang hal ini, tapi juga petinggi Jamsostek. ?Kamilah yang meminta Jamsostek menyimpan uang di BRI. Lalu, atas seizin mereka, deposito itu dijadikan jaminan,? kata Hartono kepada Tempo, Desember 2003 lalu. Dalam persidangan, Hartono dan Yudi Kartolo mengaku menyisihkan 20 persen dari kredit yang cair kepada Ferdinand Dumais, yang katanya akan diberikan kepada pejabat-pejabat Jamsostek.
Beberapa bukti menguatkan kesaksian Hartono. Ada pola yang mencurigakan: hanya ada waktu yang pendek antara penempatan deposito di BRI dan pencairan kredit, yakni sekitar dua pekan (lihat, Ada Jejak dalam Nomor). Bahkan ada yang cuma terpaut satu hari?deposito Jamsostek ditransfer ke BRI pada 23 Juli 2003, dan kredit untuk Hartono dicairkan pada 24 Juli 2003.
Namun, para petinggi Jamsostek berkukuh dengan kesaksiannya: tidak tahu-menahu tentang pencairan kredit itu dan tidak menerima uang jasa dari Hartono. ?Kami tidak pernah menjaminkan deposito kami,? kata Djunaidi, Direktur Utama Jamsostek. Dan yang lebih penting, pihak Jamsostek tidak dirugikan. Dana yang didepositokan aman. ?Dalam kasus ini kita tidak dirugikan karena kita pegang bilyet (sertifikat) yang asli, dan bilyet-bilyet itu sudah dicairkan semua sekarang,? ujar Bambang Darmawan.
Kerugian memang ada pada BRI. Dari kredit yang sudah dikucurkan, kata Direktur Utama BRI, Rudjito, pihaknya baru dapat mengembalikan Rp 31 miliar. ?Uang itu diperoleh dari pembekuan tiga rekening milik pelaku pembobolan di BRI,? katanya. BRI, menurut Sekretaris Perusahaan Yadi Supriyanto, juga terpaksa mencadangkan dana untuk membayar deposito Jamsostek yang jatuh tempo tahun ini.
Tapi, benarkah itu sertifikat deposito Jamsostek asli? Jika benar Jamsostek mengaku membuka deposito di BRI Surya Kencana, Bogor, bagaimana mungkin mereka memegang sertifikat yang diterbitkan BRI cabang Pasar Minggu? Para hakim mengabaikan detail ini. Persidangan banding Asep akan seru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo