Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Salah Parkir Dana Jamsostek

Sekitar 23 juta pekerja dari seantero Indonesia menghimpun ?tabungan? dalam pundi raksasa bernama Jaminan Sosial Tenaga Kerja?disingkat Jamsostek. Dari jumlah total tabungan, kini sekitar Rp 30 triliun, perseroan terbatas milik negara ini menyisihkan sebagian keuntungannya ke kotak Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP). Dana itu, pada paruh pertama tahun ini, mencapai Rp 500 miliar dan ditujukan untuk ?meningkatkan kualitas dan kesejahteraan pekerja?. Namun, Tim Investigasi Tempo menemukan bahwa sebagian dana kesejahteraan pekerja ini diselewengkan pemakaiannya dengan menerjang rambu-rambu Jamsostek sendiri. Berikut ini laporannya.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Transparansi dan kesejahteraan peserta. Achmad Djunaidi tak sedang berseloroh ketika menyebutkan kata-kata ?emas? ini. Direktur Utama PT Jamsostek itu justru tengah berpidato di depan Rapat Kerja Nasional Jamsostek 2004 di Jakarta, 16 September lalu, tatkala mengucapkannya. Dan kalimat pertama di atas adalah janji sang Direktur Utama kepada para buruh atau pekerja peserta program Jamsostek.

Djunaidi sejatinya menyentuh filosofi paling dasar dari perseroan terbatas milik negara itu ketika menyampaikan janji tersebut: kesejahteraan, peningkatan kualitas hidup setiap peserta Jamsostek, dan transparansi. Djunaidi tahu betapa pentingnya suasana terang-benderang dalam memimpin sebuah perusahaan dengan kekayaan raksasa seperti Jamsostek. ?Dana yang dikelola sekarang sekitar Rp 30 triliun,? ujarnya kepada Tempo pekan lalu.

Bagi PT Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), sebagai perseroan terbatas milik negara yang dananya ditopang ?peluh? jutaan buruh dan pekerja, janji Djunaidi di atas mestinya cukup melegakan bagi sekitar 23 juta lebih pesertanya. Uang besar. Jutaan pekerja. Dan cita-cita sejahtera. Maka, Jamsostek pun menyisihkan sebagian dari keuntungan untuk dimasukkan ke Biro Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta, populer dengan sebutan DPKP.

Keputusan Menteri Keuangan pada tahun 2000 mengukuhkan biro ini (lihat, Hikayat ?Pundi Amal?). Dibandingkan dengan pundi-pundi utama Jamsostek yang dipadati Rp 30 triliun, dana kesejahteraan ?hanya? Rp 500 miliar?ini angka sampai semester pertama 2004. Dana ini, mengutip Kepala Biro DPKP Bambang Darmawan, ?hanya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan peserta Jamsostek.? Umpama, membantu uang muka peserta Jamsostek serta memberikan beasiswa. Aturannya begitu.

Prakteknya? Tunggu dulu! Masih ingat kasus pembobolan dana Rp 93,5 miliar dari BRI cabang pembantu Surya Kencana di Bogor tahun silam? Kasus ini bukan saja berakhir dengan vonis bui 19,5 tahun bagi Asep Tarwan, Kepala BRI cabang pembantu Surya Kencana, Bogor (lihat ?Saya Tidak Tahu Jual-Beli Hukum?), tapi juga ?melambungkan? nama Jamsostek. Sebab, Rp 75 miliar dari uang di atas datang dari kas DPKP. Sisanya, dari Yayasan Kesejahteraan Karyawan (YKK) Jamsostek.

Tidak ada satu pun petinggi atau pegawai rendah Jamsostek yang menyusul Asep ke penjara. Semua menolak terlibat. Direktur Jamsostek, A. Djunaidi, dengan tegas menyatakan kepada Tempo pekan lalu: ?Saya tidak kenal (Asep).? Namun, investigasi Tempo menemukan sejumlah kejanggalan yang layak dipertanyakan dari seluruh proses tersebut (lihat Deposito Misterius dan Bankir nan Malang). Dan mungkin sebagian dari kita masih ingat betapa penempatan dana Jamsostek di Bank BRI Surya Kencana, Bogor, Juli 2003, mengundang berbagai reaksi publik: dari rasa heran, curiga, hingga tudingan berkolusi.

Jadi, mengapa Achmad Djunaidi berani mengambil risiko menempatkan deposito Rp 100 miliar uang Jamsostek di bank kecil itu? Begini jawaban Dirut Jamsostek itu kepada Tempo: ?Bank pemerintah kan sama saja di mana-mana.? Tapi, Asep Tarwan-lah yang benar-benar jadi lebai malang ketika kasus pembobolan itu diramaikan media massa.

Pengadilan memutusnya sebagai ?pemain solo?, sementara semua pejabat Jamsostek yang disebutnya mengetahui kasus ini menggeleng-gelengkan kepala. Djunaidi menekankan kepada tim investigasi mingguan ini bahwa surat-surat yang dipakai untuk persetujuan pencairan dana adalah palsu belaka. ?Surat-surat itu palsu semua. Dan perkara ini sudah selesai.?

Pengadilan boleh selesai. Tapi kasus di Bogor itu kian mencerminkan satu hal: mudahnya orang luar turut mencicipi DPKP. Dalam kasus BRI Surya Kencana itu (Rp 75 miliar berasal dari DPKP), yang menikmati investasi deposito adalah pemilik PT Delta Makmur Ekspresindo dan PT Panca Prakarsa.

Akan halnya kaum buruh dan pekerja sebagai pemilik DPKP, alih-alih menikmatinya secara merata, sebagian yang dihubungi Tempo malah belum pernah mendengar ihwal DPKP. ?Emang ada dana begitu? Kagak pernah denger tuh,? ujar Saenan, seorang pekerja pabrik furnitur di Tambun, Bekasi, kepada Tempo, dengan melongo (lihat, Dana Ada, Tangan Tak Sampai).

Sial kian bertambah bagi para peserta Jamsostek karena pengelolaan dana DPKP itu juga tak sepenuhnya terang-benderang. Hasil pemeriksaan sementara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester I 2004, misalnya, mencatat Biro DPKP Jamsostek belum sepenuhnya tertib aturan. Pemberian pinjaman kepada beberapa koperasi karyawan dinilai tidak sesuai dengan ketentuan dan melenceng dari tujuan semula.

Beberapa kasus temuan BPK kian menguatkan hal itu (lihat tabel, Ke Mana Dana Mengalir?). Dari contoh-contoh kecil saja. Agustus 2003, ada Rp 400 juta dana DPKP melalui program bina lingkungan mengalir ke Panitia Nasional Kemerdekaan RI ke-58. Lalu, dalam rangka hari raya Idul Fitri, dana DPKP digelontorkan Rp 250 juta ke Komando Daerah Militer dan Komando Rayon Militer sewilayah DKI Jakarta. Penyaluran ini, menurut BPK, sebagai bentuk bantuan yang tak diperbolehkan oleh ketentuan yang berlaku. Ini sebagian contoh bagaimana DPKP mengalir ke ?tempat-tempat? yang jauh dari urusan kesejahteraan buruh.

Penggunaan sebagian dana juga tampak serampangan. Entah karena bingung harus diputarkan di mana, para pengelola DPKP menempatkan dana miliaran rupiah dalam bank yang tak jelas ?kesehatan?-nya. Hasil audit BPK menyebut Rp 58 miliar dana DPKP didepositokan di Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali?kedua bank ini usahanya dibekukan oleh Bank Indonesia, April lalu. Lagi-lagi, hal ini bertabrakan dengan filosofi DPKP seperti yang diungkapkan Bambang, ?Deposito DPKP itu yang penting disimpan di bank pemerintah dan aman.? Penempatan dana seperti itu, kesimpulan BPK, rawan terhadap penyalahgunaan atau menguap alias macet. Tapi Djunaidi menyodorkan alasan kepada Tempo: ?Waktu itu bank-bank tersebut dinyatakan sehat oleh BI.?

Kerawanan lain adalah campur tangan kekuasaan dalam mekanisme penyaluran investasi DPKP. Kasus pinjaman kepada Induk Koperasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (RTMM) bisa menjadi contoh. Dengan alasan untuk menarik kembali para pekerja pabrik rokok sebagai peserta Jamsostek, Direktur Utama PT Jamsostek, A. Djunaidi, menyetujui pengucuran dana Rp 11 miliar ke induk koperasi itu melalui Ketua Umum RTMM, Tosari Widjaja. Dari jumlah itu, Rp 3 miliar bersifat hibah.

Jika mengacu pada aturan, proses pinjaman ke induk koperasi RTMM itu tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan Biro DPKP sendiri. Dalam salah satu syarat disebutkan hanya koperasi yang berumur lebih dari satu tahun yang berhak menerima kucuran dana. Padahal, induk koperasi RTMM itu baru dua minggu berdiri dan belum jelas kepiawaiannya dalam mengelola bisnis bernilai miliaran. Kok bisa?

Menurut Bambang, pemberian kredit kepada RTMM adalah cara untuk menarik kembali keanggotaan RTMM yang keluar dari Jamsostek pada tahun 1995 lalu. Selain itu, ?Perjanjian kerja sama saat itu ditandatangani di Istana Negara dan disaksikan Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Koperasi,? kata Bambang. Astaga! Padahal duit yang ada di Jamsostek kan bukan duit Pak Menteri.

Kasus lain yang jelas menabrak rambu-rambu aturan Jamsostek sendiri adalah penggunaan uang DPKP dalam kasus pemutusan hubungan kerja di PT Havilah Citra Footwear, Karawang. Oktober 2001 silam, ribuan pekerja PT Havilah dipecat dan pemiliknya kabur tidak mau membayar pesangon yang seharusnya dibayar. Kasus ini menarik perhatian Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea. Jacob membuat memo bernomor 165.HI.03.33.2001 tertanggal 22 Oktober 2001 untuk meminta bantuan. ?Memo itu saya berikan karena mereka anggota Jamsostek. Jadi, sifatnya hanya membantu,? kata Jacob ketika itu.

Isinya, meminta PT Jamsostek meminjamkan Rp 1,7 miliar untuk menyelesaikan kasus itu. Djunaidi lantas memerintahkan Biro DPKP mengeluarkan dana tersebut. Pinjaman itu masuk mata anggaran ?pinjaman koperasi pekerja?. Surat perjanjian utang pun dibuat antara PT Jamsostek dan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang selaku tim ?penyelamat? nasib karyawan itu. Sebagai jaminan, ?Ada tanah yang dikuasai perusahaan itu seluas lima hektare di Karawang,? kata Bambang.

Entah karena harus buru-buru atau karena alasan lain, pemberian pinjaman itu dilakukan Djunaidi tanpa meminta izin Komisaris PT Jamsostek, prosedur yang seharusnya dilalui seorang direktur utama. ?Ini keberanian dirut. Kalau jaminannya Menteri Jacob Nuwa Wea, apa berani menolak?? kata Bambang Darmawan. Namun, langkah berani itu di mata Dewan Komisaris PT Jamsostek menjadi lain.

Melalui surat bernomor R/09/DK/112001, mereka ?menegur? Djunaidi. Mereka mempertanyakan persetujuan pinjaman, yang menurut mereka pengembaliannya masih diragukan. ?Kami amat menyesalkan tindakan direksi yang telah berulang-ulang mengeluarkan dana dengan jumlah yang besar dan dilakukan tanpa sepengetahuan Dewan Komisaris,? begitu sebagian isi surat yang ditandatangani oleh empat dari lima Komisaris PT Jamsostek.

Singkat kata, kasus demi kasus ?salah parkir? melanda DPKP. Dan kehebohan di tahun 2003 lewat kasus BRI Surya Kencana membuat sejumlah pejabat Jamsostek datang ke pengadilan?sebagai saksi, tentu saja. Sebab, yang akhirnya masuk bui?selama 19,5 tahun?ya, cuma Asep Tarwan, mantan Kepala BRI cabang pembantu Surya Kencana. Direktur dan Komisaris PT Delta Makmur Ekspresindo, masing-masing Hartono dan Yudi Kartolo, baru berada pada level tersangka (lihat, Deposito Misterius dan Bankir nan Malang).

Vonis 19,5 tahun boleh jadi wajar bila melihat patgulipat ?ala Asep? yang menyikat habis seluruh aturan dan kaidah normal di dunia perbankan, demi memuluskan pengucuran kredit DPKP. Di pihak Jamsostek, mereka mengaku sudah tutup buku untuk kasus BRI Surya Kencana. Dalam wawancara dengan Tempo pekan lalu, Djunaidi mengaku duit itu telah kembali lengkap dengan bunganya. Dan pihaknya tidak dirugikan sama sekali. Apa iya? Boleh jadi Djunaidi benar. Tapi, boleh jadi juga terlalu naif kalau bebas-tidaknya ?oknum? Jamsostek dari jeratan hukum melulu dikaitkan dengan untung-rugi kantong Jamsostek.

Ibaratnya begini: jika ada si Polan mencuri duit dari pundi-pundi tetangga, lalu sebulan kemudian duitnya kembali utuh, hal itu tidak menghapus fakta bahwa Polan nyolong. Ingat, pengadilan memang tak akan menghukum Jamsostek, tapi oknum di Jamsostek. Jamsostek?dalam hal ini ribuan buruh/karyawan yang menitipkan duitnya di Jamsostek?bisa jadi tidak mengalami yang namanya direct loss (kerugian langsung), tapi indirect loss.

Keuntungan dari ?penempatan? deposito DPKP yang semestinya mengalir ke mereka?para peserta Jamsostek?malah nyelonong ke kantong dua perusahaan perantara: PT Delta Makmur Ekspresindo dan PT Panca Prakarsa, yang disebut-sebut punya hubungan dengan sejumlah petinggi Jamsostek.

Seorang sumber Tempo di Jamsostek membisikkan, para direktur lainnya ?mempermasalahkan? keputusan A. Djunaidi menempatkan dana di BRI cabang Surya Kencana, Bogor. ?Dana sebesar itu mengapa ditempatkan di cabang pembantu Bogor dan tanpa sepengetahuan direktur lainnya?? kata sumber itu. Ketidakwajaran itu mengundang kecurigaan ?ada udang di balik batu?. Malah sampai ada tuduhan sebagian petinggi BUMN itu mendapat ?angpau? dari penempatan dana itu di Surya Kencana.

Tapi, baik Djunaidi maupun Bambang menepis tudingan itu. ?Demi Allah, tidak ada. Itu murni urusan bisnis,? kata Bambang. Soal izin direktur lain? ?Enggak usah (sepengetahuan dan izin direktur lain), karena urusan DPKP ini hanya saya dan Biro DPKP,? kata Djunaidi. ?Selain itu, jika harus selalu berdiskusi dengan direktur lainnya, akan memakan waktu karena di Jamsostek,? kata Djunaidi, ?ada ribuan deposito.?

Bagi pihak Jamsostek, urusan ini sudah kelar. ?Kenapa Anda mengungkit kasus yang sudah basi begitu?? Djunaidi bertanya kepada Tempo. Tapi, bagi Asep Tarwan, justru babak baru akan dimulai: pertarungan di tingkat banding. Cerita baru bisa saja mencuat. Bukti baru bisa muncul. Dan siapa tahu, aktor baru bisa naik ke kursi pengadilan dalam lakon ini.


Ke Mana Dana Mengalir? Sumber: Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan penelusuran Tempo.

Sebagian Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta Jamsostek disalurkan untuk keperluan yang tidak relevan dengan peningkatan kesejahteraan pekerja. Antara lain:

2001 Keperluan: DPKP memberi pinjaman dan hibah kepada Induk Koperasi Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman (Kudus). Hibah Rp 3 miliar. Dan pinjaman Rp 8 miliar, baru dibayar Rp 1,3 miliar. Sisanya macet. Jumlah: Rp 6,7 miliar

Keperluan: Berdasar memo Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea, DPKP memberi pinjaman kepada PT Havilah Citra Foot Wear (Karawang) Rp 1,7 miliar untuk membayar uang pesangon karyawannya. Pesangon yang diberikan baru Rp 300 juta. Agunan pinjaman ini berupa pabrik, namun tidak bisa dicairkan. Jumlah: Rp 1,7 miliar

2003 Keperluan: Koperasi Karyawan Jamsostek menerima pinjaman melebihi asetnya dan akhirnya macet. Pinjaman itu pada kenyataannya tidak turun ke anggota koperasi. Jumlah: Rp 380 juta

Keperluan: Jamsostek membentuk Trauma Center untuk karyawan melalui penunjukan langsung kepada perusahaan penyedia fasilitas medis. Dana yang dipakai melebihi yang disetujui. Jumlah: Rp 400 juta

Keperluan: Atas permintaan Menteri Negara BUMN, Jamsostek menyumbang dana untuk panitia Hari Kemerdekaan RI ke-58. Jumlah: Rp 150 juta

Keperluan: Dana untuk Kodim dan Koramil se-DKI Jakarta dalam rangka Idul Fitri sesuai dengan keputusan direksi Jamsostek dalam rangka kegiatan keagamaan dan pekerja yang mudik Lebaran. Jumlah: Rp 250 juta

2004 Keperluan: BPK tidak menemukan bilyet (sertifikat) deposito senilai Rp 48 miliar. Bilyet baru disusulkan kemudian. Jumlah: Rp 48 miliar

Keperluan: Deposito dana Jamsostek sempat nyangkut di Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali?dua bank yang dibekukan pada awal 2004. Jamsostek dinilai tidak hati-hati memilih bank penyimpan. Jumlah: Rp 58 miliar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus