Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

investigasi

Mengapa Food Estate Humbang Hasundutan Gagal

Food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tak mencapai target produksi. Masyarakat tak familier dengan komoditasnya. 

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, tak mencapai target produksi.

  • Tanah tak cocok untuk hortikultura.

  • Petani menganggap proyek terlalu dipaksakan.

HARI hampir tengah malam pada 13 April 2020 ketika Dosmar Banjarnahor mendengar Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mengumumkan Indonesia bakal menghadapi krisis pangan akibat pandemi Covid-19 sehingga pemerintah berencana membangun food estate. “Saya langsung menghubungi Pak Luhut,” kata Bupati Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, ini pada 17 September lalu, menyebut nama Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di telepon, Luhut Pandjaitan mengatakan problem lumbung pangan adalah keterbatasan lahan. Dosmar mengatakan di wilayahnya ada lokasi yang cocok untuk food estate. “Di konsesi PT Toba Pulp Lestari yang sudah lama tidak digarap,” ucapnya. Menurut Dosmar, area tersebut sudah lama tak diurus PT Toba karena konflik dengan masyarakat adat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama Luhut, Dosmar menjelaskan konsep food estate di depan Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 20 Juni 2020. Dua bulan kemudian, Jokowi mengumumkan program food estate di Humbang Hasundutan. Penanaman pertama bawang merah dan bawang putih dilakukan pada 22 Oktober 2020 di Desa Ria-Ria, lalu kentang, meskipun kajian tim terpadu mengenai kualitas lahan baru terbit pada Desember 2020.

Dosmar mengajukan permohonan lahan seluas 31.015 hektare untuk program food estate di daerahnya. Pengajuan ini terekam dalam dokumen “Ringkasan Pemulihan Ekonomi Nasional Food Estate” yang dibuat Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan dan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Pada tahap pertama, food estate dibuka di lahan seluas 215 hektare, terdiri atas 105 hektare untuk bawang merah, 55 hektare bawang putih, dan 55 hektare kentang. Ada empat kementerian yang terlibat: Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Jokowi menunjuk Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi sebagai komandannya.

Panen perdana digelar pada 23 Maret 2021. Luhut datang ke Ria-Ria bersama Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dan Menteri Pekerjaan Umum Basuki Hadimuljono. Pada hari itu juga, mereka meresmikan lahan food estate baru seluas 785 hektare yang melibatkan tujuh perusahaan swasta. “Mereka menjadi off taker yang menampung hasil panen petani,” tutur Luhut melalui Nani Hendiarti, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan.

Tak seperti para menteri, penduduk tak antusias mengikuti seremoni panen perdana. Menurut para petani, dari 215 hektare, hanya 15 hektare di lahan yang dikelola Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berhasil. "Lainnya boleh dibilang gagal," ujar Josua Lumban Batu, tokoh masyarakat Humbang Hasundutan. 

Josua mengatakan pembangunan food estate buru-buru. Para petugas mengukur elevasi dan pemetaan untuk irigasi ketika petani sudah selesai menanam. Melihat tahap pembangunan food estate yang terbalik-balik, Aslin Simamora, tokoh masyarakat dan petani setempat, pesimistis proyek ini berhasil. “Idealnya waktu persiapan lahan dari diolah sampai siap tanam sekitar enam bulan,” kata Aslin. “Ini begitu selesai dibuka, dibajak, langsung tanam.”

Aslin juga menilai kualitas benih menurun karena terlalu lama teronggok di lumbung dan sebagian membusuk. “Benihnya pun kurus-kurus,” dia menambahkan. Akibatnya, target panen kentang 20 ton per hektare hanya tercapai 15 ton.

Persoalan lain ada pada kualitas lahan. Menurut Aslin, tanah di area PT Toba terkenal sebagai “sobu-sobu”. Artinya, tanah terbang seperti debu pada musim kemarau dan berlumpur saat terkena air hujan. Secara kasatmata, tanah di sana berpasir. “Tidak cocok untuk hortikultura," tuturnya.

Penelitian Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian pada 2009 menunjukkan karakteristik tanah di Humbang Hasundutan umumnya berupa tanah spodosol yang terbentuk dari bahan pasir atau lempung kasar dan masam. Tekstur dan konsistensi tanah jenis ini berpasir, pejal, dan tidak lekat. Kemampuan tanah ini dalam mengikat hara pun sangat rendah.

Pengujian Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Jawa Barat, pada 2012 mengonfirmasinya. Lahan terbuka bekas area reboisasi pinus di Kecamatan Pollung memiliki kandungan hara yang rendah dibanding area hutan. Tanahnya juga cenderung lebih masam. Mulsa yang ditaburkan di atasnya pun membutuhkan waktu lama untuk merangsang hara tanah.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengakui hasil panen food estate di Humbang Hasundutan belum 100 persen akibat kualitas tanah yang buruk. “Tanah yang baru dibongkar tidak mungkin 100 persen langsung bagus,” ucapnya. Faktor lain, kata dia, kultur masyarakat Humbang belum siap menggarap food estate.

Bukan hanya Syahrul, para pejabat daerah juga menyalahkan petani Humbang Hasundutan yang tak siap menjalankan program lumbung pangan. Menurut Pandiangan, seorang petani, Bupati Dosmar mengatakan petani kurang serius. “Kenapa jadi kita yang salah? Kurang serius apa aku ini?" ujarnya.

Menurut Josua Lumban Batu, masyarakat tak bisa disalahkan karena mereka lebih familier dengan kopi arabika, andaliman, pinus, kemenyan, dan cabai. “Bawang itu hal baru bagi kami,” katanya. “Kultur masyarakat itu menyadap kemenyan dan damar.” Dari kemenyan, masyarakat bisa memperoleh Rp 400-500 ribu per kilogram.

Bagi masyarakat Humbang, pohon kemenyan (Boswellia serrata) bukan hanya komoditas. Mereka menaruh hormat karena pohon ini mengorbankan “darahnya”, yakni getah, untuk hidup masyarakat. Penduduk di sini mengharamkan perusakan pohon kemenyan. 

Komoditas bawang merah dan bawang putih di kawasan lumbung pangan (food estate) Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, 27 Oktober 2020. BPMI Setpres/Laily Rachev

Selain persoalan di hulu, tak terserapnya hasil panen petani memperkeruh food estate di Sumatera Utara. Meskipun petani sudah menggunakan benih yang dibagikan perusahaan, mereka tak lantas membeli semua hasil panen tersebut. Kentang tak laku untuk konsumsi rumah tangga.

Ketiadaan kontrak antara off taker dan petani mengakibatkan tak terserapnya semua hasil panen kentang di lahan yang dikerjasamakan dengan off taker. Apalagi industri memiliki standar tertentu untuk tiap komoditas. Padahal petani kerap mengeluarkan modal pribadi untuk membeli pupuk dan membayar buruh harian. Sebab, tak jarang jumlah pupuk yang dibagikan kepada petani tak sesuai dengan yang dijanjikan.

Karena berbagai soal itu dan adanya konflik lahan, masyarakat Humbang berdemonstrasi ketika Presiden Jokowi meninjau lahan food estate pada 27 Oktober 2020. "Kami meminta Presiden mengkaji dulu dan transparan kepada masyarakat mengenai rencana pembangunan food estate ini," tutur Josua.

Ketua Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat Sudin juga meminta pemerintah mengkaji ulang food estate di Humbang Hasundutan yang berbiaya tinggi. Anggaran Kementerian Pertanian untuk membangun food estate pada 2020-2021 sebesar Rp 268,35 miliar. Sudin mengatakan pemerintah harus lebih cermat untuk menjamin keberlangsungan food estate. "Jangan ada manipulasi data dan kaji ulang semua permasalahan di lapangan," ucapnya.

Problem lain ada pada batas area food estate. Kepala Desa Ria-Ria, Jon Lumban Gaol, mengatakan luas desa adat berkurang setelah petugas food estate datang memasang patok. Menurut Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat Delima Silalahi, yang mengadvokasi masyarakat adat dalam soal food estate, beberapa wilayah adat dimasukkan sebagai area proyek ini tanpa komunikasi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Buru-buru di Sobu-sobu". Artikel ini diproduksi Tempo bersama The Gecko Project didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center, Internews Earth Journalism Network, dan Greenpeace Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus