Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMANG tak mengherankan bila para pemburu harta karun bersusah payah mengubek-ubek lau tan Nu-santara. Di wilayah ini, pada abad ke-16 terletak jalur perdagangan paling panas di seantero Asia Tenggara. Selat Malaka dan Selat Bangka adalah jantung lalu-lintas kapal dari berbagai penjuru dunia. Muatan yang diangkut kapal yang lalu-lalang di perairan ini sangat beragam, dari sutra, keramik, uang emas, batu permata, rempah-rempah, sampai persenjataan.
Sementara itu, kondisi teknologi pelayaran zaman itu belum cukup nyaman. Berbekal peta yang jauh dari akurat, para nakhoda harus merintis jalur pelayaran yang sarat jebakan batu karang. Teknologi komunikasi yang ala kadarnya juga menghambat kecepatan pertolongan untuk kapal yang membutuhkan. Sejarah mencatat, tak sedikit kapal yang menabrak karang dan akhirnya tenggelam. Bangkai kapal pun terkubur di dasar laut bersama seluruh muatan berharga.
Menurut Andy Asmara, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga Indonesia (Aspibbi), ada 487 titik di dasar laut Nusantara yang diperkirakan merupakan lokasi kapal terkubur. Setiap titik diduga mengandung muatan bernilai US$ 125 juta atau Rp 1 triliun (dengan kurs Rp 7.000 per dolar AS). Angka ini makin membengkak bila benda bersejarah—tak ternilai secara nominal—turut dihitung. ”Sekitar 30 persen muatan kapal adalah benda bersejarah,” katanya. Menurut Andy, angka perkiraannya bersumber dari Mahkamah Pelayaran Internasional, yang berpusat di Eropa.
Taksiran yang lebih moderat datang dari Tony Wells dalam bukunya, Shipwrecks & Sunken Treasure in Southeast Asia, terbitan 1995. Peneliti yang anggota American Society for Amateur Archaeology (ASAA) ini memang tidak menyebut nilai materi harta yang terserak di dasar laut. Namun, ia menyebutkan sedikitnya ada 185 kapal yang karam di perairan Nusantara, atau 41 persen dari total kapal yang karam di seluruh perairan Asia Tenggara.
Wells merekam, kapal berbagai tipe—dagang, penumpang, militer, kerajaan—yang datang ke Nusantara berasal dari berbagai negara, semisal Cina, Portugis, Belanda, Jerman, Amerika, dan Inggris. Mereka melayari jalur utama seperti Selat Bangka, Selat Gaspar, Laut Jawa, perairan Ambon, Bali, Sumatra, Flores, Sulawesi, dan Irian.
Dan tak sedikit kapal yang menemui nasib nahas. Dari tahun 1600 sampai 1875, 45 kapal ditelan keganasan Laut Jawa. Selat Bangka dan Selat Gaspar juga menenggelamkan 43 kapal pada pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-19. Prins Willem Hendrick adalah contoh kapal yang tenggelam setelah menabrak karang di Selat Bangka. Kapal Belanda ini bertolak dari Siam, September 1686, dengan membawa 400 penumpang dan 400 ribu koin emas. Dalam musibah ini, hanya enam awak yang selamat, termasuk Captain Adriaan van Kreningen. Belakangan, sang Kapten dihukum gantung di Batavia atas kecerobohannya mengemudikan kapal.
Dari tahun 1502 sampai 1852, di perairan Sumatra tenggelam 27 kapal. Salah satunya masih menjadi legenda di kalangan pemburu harta karun: Flor de la Mar (berarti bunga dari laut), yang karam pada akhir tahun 1511. Kapal Portugis yang berlayar menuju Lisabon ini dinakhodai Admiral Alfonso de Albuquerque. Setelah berlayar beberapa hari, Flor tak sanggup bertarung melawan badai topan. Akhirnya, kapal berbobot 700 ton ini menabrak karang dan tenggelam di perairan antara Riau dan Sabang. Bersama lima awak kapal, Albuquerque berhasil menyelamatkan diri. Namun, 400 penumpang lainnya tenggelam bersama kapal Flor.
Yang membuat para pemburu harta tergiur plus penasaran, Flor memuat hasil pampasan perang tentara Portugis. Harta pedagang kaya raya dan keluarga kerajaan Malaka dikuras masuk ke kapal. Tak kurang dari 60 ton perhiasan emas dan permata—dalam berbagai ukuran dan bentuk—berada di lambung Flor. Termasuk dalam muatan yang spektakuler ini adalah seperangkat mebel dan perabotan rumah tangga bersepuh emas milik Sultan Malaka.
Menurut taksiran kasar, emas muatan Flor bernilai sekitar US$ 8 miliar. Emas kinclong setara Rp 56 triliun (pada kurs Rp 7.000) inilah yang membuat pemburu harta kesengsem. Pengusaha Sudwikatmono dan Salim, misalnya, telah menanam US$ 3,5 juta untuk berburu emas Flor, tapi gagal meraihnya. Sampai kini, bangkai Flor—juga ratusan kapal lainnya di perairan Nusantara—masih terkubur di dasar laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo